TASAWUF KUMAI:
MENGENAL TASAWUF PANGLIMA UTAR
Oleh: Sulaiman Al-Kumayi
Dosen Fak. Ushuluddin dan Kandidat Doktor
Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang
MENGENAL TASAWUF PANGLIMA UTAR
Oleh: Sulaiman Al-Kumayi
Dosen Fak. Ushuluddin dan Kandidat Doktor
Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang
Pendahuluan
Kumai adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, berdiri sebuah pelabuhan yang bernama Pelabuhan Panglima Utar. Mungkin banyak orang yang tidak mengetahui bahwa Panglima Utar yang bernama asli Muhtar ibn Abdul-Rahim sesungguhnya tidak hanya sebagai seorang pahlawan, tetapi juga seorang sufi diantara sufi-sufi yang ada di Kotawaringin Barat (dulu: Kotawaringin). Panglima Utar meninggalkan sebuah manuskrip (tulisan tangan) yang berisi ajaran tasawuf. Manuskrip ini ditulis menggunakan huruf Arab pegon berbahasa Melayu. Dalam tulisan ini, saya akan membagi dalam beberapa tema penting.
Ajaran Tasawuf Panglima Utar
1. Ma`rifah Allah: Fanâ’ dan Baqâ’
Mencermati dua corak tasawuf yang berkembang di Kalimantan pada umumnya, yaitu tasawuf sunni dan tasawuf falsafi. Ajaran ma`rifah menjadi sebuah doktrin dan bahkan menjadi tujuan utama bagi kalangan ahli sufi. Ma`rifat Allah adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan Ma`rifah tidak diperoleh begitu saja oleh seseorang, tetapi adalah pemberian dari Tuhan (a direct knowledge of God based on revelation). Ma`rifah bukanlah hasil pemikiran manusia tetapi bergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan. Ia adalah pemberian Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya(Nasution, 1992: 75-77).
Dalam ma`rifah yang paling ditekankan adalah pada pengenalan diri, karena lewat pengenalan diri inilah manusia akan mengenal Tuhan. Sebaliknya, siapa yang jahil(bodoh) terhadap dirinya, berarti jahil pula terhadap Tuhannya. Mengingat pentingnya ma`rifah ini, Syekh Muhammad Amîn al-Kurdî dalam Tanwîr al-Qulûb mengatakan:
“Ketahuilah, bahwa pengenalan diri adalah suatu urusan yang penting untuk setiap pribadi. Karena sesungguhnya siapa yang mengenal dirinya, niscaya ia dapat mengenal Tuhannya. Yaitu mengenal dirinya yang hina, lemah serta fana. Dengan itu dia dapat mengenal Tuhannya yang bersifat mulia, kuasa dan kekal abadi. Siapa yang jahil terhadap dirinya berarti jahil pula terhadap Tuhannya” (Al-Kurdi, 1985: 483).
Pengenalan diri di kalangan penganut tasawuf di Kalimantan pada umumnya, dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting. Ada ungkapan yang sangat populer, ”Uluh ji jida maku mangatawani kungaie, sama beh dengan lanjung huang “ (Orang yang tidak mau mengetahui dirinya, sama saja dengan sebuah karung kosong melompong). Dan ilmu pengenalan diri ini dianggap sebagai “ilmu rahasia”, “ilmu jaya sampurna dunia-akhirat” atau “ilmu tuha”. Seseorang yang belum pernah mempelajari ilmu pengenalan diri dianggap belum sempurna imannya. Didorong semangat pengenalan diri ini, di kalangan penganut mistik dikenal dua tipologi penafsiran. Tipologi pertama yang menitikberatkan pada mencari nama Tuhan yang satu; dan tipologi kedua, yang menekankan pada asal usul kejadian manusia.
Kedua tipologi di atas hingga saat ini masih ditemukan di Kalimantan. Dalam penelitian ini yang menjadi fokus penelitian kami adalah penganut mistik tipologi kedua. Secara akademis, tipologi kedua ini bisa dipertanggugnjawabkan dan ajaran-ajarannya masih bisa ditelusuri dalam literatur-literatur tasawuf. Di samping itu, tipologi ini muncul sebagai respons terhadap hadis Nabi: “man `arafa nafsah faqad `arafa rabbah.” Fenomena seperti ini dapat dibaca dalam sebuah manuskrip yang ditulis oleh al-Haj Sulaiman Tarif bin al-Haj Tarif yang menjelaskan ma`rifatullah yang bertumpu pada asal usul kejadian manusia.
“….Maka kemudian daripada itu, ketahuilah olehmu hai talib bahwasanya barangsiapa ia mengenal akan dirinya bahwasanya terkenallah ia akan Tuhannya. Dan lagi tiada sempurna seorang itu mengenal akan dirinya kalau tiada tahu akan asal kejadian dirinya dan yang mula-mula dijadikan AllahTa`ala” (Tarif, 1994: 1).
Dalam penelitian Nurbini (1999: 20) disebutkan adanya beberapa kasus di kalangan penganut tasawuf, suatu pandangan bahwa nama Allah itu bukanlah 99 (al-asmâ’ al-husnâ), tetapi sebenarnya berjumlah 100. Yang keseratus itu tersembunyi dan harus dicari. Siapa saja yang berhasil menemukan nama yang satu itu ia akan masuk sorga tanpa hisab. Sedangkan mengenai nama yang satu ini, para penganutnya memberikan nama yang tidak seragam. Seorang informan menyebutnya “Nur al-Haq”, dan ini mereka sebut sebagai ilmu sejati (Haderani, tth: 16-17). Ada lagi yang menyebutnya dengan nama-nama: Tik-Kullah, Kun Kunung-kunung kumasalah, dan Sari Marang. Di pihak lain ada juga yang mengajarkan pengenalan diri ini sebagai berikut:
“Uluh ji jida maku mangatawani kungaie, sama beh dengan lanjung buang. Itah tuh harus mangatawani, narai asal kunge, narai aran asli kungetuh, kueh andakaie petak asal Nabi Adam si huang kunge, dan narai aran petak jite. Alam semesta tuh ada si huang kunge ada matan andau huang kunge, matan andau ji bagerek dan ji jida bagerek, ada angin, ada danum, sungai, petak, wasi, wasi kuning, naraka, sorga uras ada si huang kunge itah kabuat. Yaweh ji jida katawan sorga huang kunge dan aran sorga te, ela harap ie mengkeme ji aran sorga. Jibril, Mikail, Izrail, Israfil ataupun Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, samandeah-e ada si huang kunge dan ada arai-e masing-masing. Yaweh ji handak jagao, harus katawan narai aran asli Izrail pencabut nyawa, dan aran Saidina Ali ji asli-e. Harus katawan si kueh andakai-e si kungan itah. Ka’bah ada si huang kunge, yaweh katawan andakai-e dan aran asli-e, biar jida usah mandai Haji kan Makah, sama beh dengan mandai haji…” (Haderani, tth: 14-15).
(“Orang yang tidak mau mengetahui dirinya, sama saja dengan sebuah karung kosong melompong. Kita ini harus tahu, apa asal diri dan apa nama asli diri ini. Di mana letaknya tanah asal Nabi Adam yang ada di dalam diri dan apa nama tanah itu. Alam semesta semuanya ada di dalam diri, ada matahari pada diri, matahari yang bergerak dan tidak bergerak, ada angin, ada air, ada sungai, tanah, besi, besi kuning, neraka, sorga, semuanya ada di dalam diri kita sendiri. Siapa yang tidak mengetahui sorga di dalam diri dan nama sorga itu, janganlah dia berharap untuk dapat merasakan sorga. Jibril, Mikail, Izrail, Israfil ataupun Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, semuanya berada di dalam diri dan ada pula nama asli masing-masing. Siapa yang ingin jagoan, haruslah mengetahui apa nama asli Izrail Pencabut nyawa dan nama asli Saidina Ali, dan harus tahu di mana letaknya pada diri. Ka’bah juga ada di dalam diri kita sendiri. Siapa yang mengetahui letaknya pada diri dan nama asli Ka`bah itu, meskipun tidak pergi haji ke Makkah, sama saja nilainya dengan naik haji..”)
Ilustrasi di atas merupakan sebuah potret pemahaman sebagian masyarakat Muslim Kalimantan mengenai ma`rifah Allah. Mengkaji konsep pengenalan diri yang ada dalam manuskrip Muhtar, tampak bahwa ia lebih mengarah pada pemahaman asal-usul kejadian diri yang berujung pada insân kâmil. Dalam manuskrip Muhtar indikasi ini terlihat dalam kalimat-kalimat sebagai berikut:
“Pasal pada menyatakan usul Imam kita Syafi`i kepada sekalian ma’mun. Wa qâla Imam Syafi`i r.a., “Dan jikalau kamu hendak berdiri sembahyang berimam, maka engkau tanyai imam engkau itu dahulu daripada masalah yang empat perkara ini. Dan yang pertama usul kita kepada imam, dan sembahyang aku mengikuti imam dan imam itu siapa yang diikuti. Dan yang kedua, masalah adapun sembahyang aku ini imam diimamkan dan ikam siapa [yang] diolah imam. Dan ketiga, masalah aku ini sembahyang seperti imam lagi kusebut syarat imam jua, dan imam siapa yang disyaratkan disebut. Masalah keempat, sembahyang ini sah dan imam itu siapa yang me[nge]sahkan (Muhtar: 29).
(“Pasal ini mengemukakan tentang pendapat Imam Syafi`i kepada sekalian makmum. Imam Syafi`i berkata, “Dan jika kamu akan mengerjakan salat berimam [berjamaah], maka kamu tanyai terlebih dahulu kepada imam tersebut mengenai empat masalah. Pertama, pertanyaan yang kita ajukan kepada imam adalah aku salat mengikuti imam dan imam itu sendiri siapa yang diikutinya. Kedua, aku salat bersama imam, tetapi imam itu sendiri siapa yang ia jadikan imam. Ketiga, aku [makmum] salat seperti yang dilakukan imam disertai dengan syaratnya, lalu siapa yang mensyaratkan kepada imam tersebut. Dan keempat, salat ini sah dan imam itu siapa yang mengesahkannya).
Keempat permasalahan ini dijadikan sebagai awal dalam memasuki ajaran ma`rifah Allah. Karenanya merupakan sine qua non (syarat mutlak) yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dan boleh jadi ini merupakan syariat yang harus dipahami secara benar bagi mereka yang ingin mengenal Tuhannya lebih lanjut. Mengingat pentingnya pengetahuan dasar ini, Muhtar memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas.
“Adalah jawab ini imam, yang kuikuti itu amar Allah Ta`ala, dan imamku itu Qur’an yang sah. Dan yang kusyaratkan itu dengan izin Allah Ta`ala, dan kusebut itu nama Allah. Dan [yang] mengesahkan diriku ini [karena] karunia Allah jua adalah seperti lâ haula wa lâ quwwata illâ bi Allâh al-`aliy al-`azîm, serta pun tiada mempunyai daya upaya kuat kuasa dengan qudrat, iradat Allah jua (Muhtar: 29).
(“Inilah jawaban imam. [Pertama] yang ikuti itu adalah amar Allah. [Kedua], imamku adalah al-Qur’an. [Ketiga] yang kusyaratkan itu dengan izin Allah. [Keempat] yang mengesahkan diriku semata-mata karena karunia Allah. Hal ini sesuai dengan “lâ haula wa lâ quwwata illâ bi Allâh al-`aliy al-`azîm”, artinya “tiada daya dan upayaku kecuali dengan pertolongan Allah yang Maha Agung.”)
Kemudian dilanjutkan lagi dengan permasalahan-permasalahan lain yang masih berkaitan erat dengan awal pengenalan diri.
“Dan lagi usul ma’mum kepada imam. Adapun kiblatku ini bait Allah dan imam itu apa yang diolah kiblat? Dan jawab imam, kiblat itu dada, tiada aku sembahyang membelakang. Dan usul ma’mum, apa dada itu diolah aku kiblat? Dan disahut imam, karena tersebut di dalam Qur’an: fa ainamâ tuwallû fa śamma wajh Allâh (QS. al-Baqarah/2:115), sebarang-barang menghadap dadaku di situ tempat Tuhanku. Dan lagi tanya imam kepada ma’mum yang engkau kata Bait Allah artinya apa? Dan engkau kata Allah itu apa artinya? Dan jawab ma’mum artinya Bait Allah yaitu Rumah Allah, dan izin Allah itu Allah jua. Maka yang disebut Bait Allah itulah dikatakan Rumah Allah, istana-Nya, adalah seperti firman Allah: wa huwa ma`akum ainamâ kuntum wa Allâh bimâ ta`malûna başîr (QS. al-Hadîd/57: 4), artinya mengapakah tiada kamu lihat Aku di dalam keadaan diri kamu” (Muhtar: 30).
(“Dan tanyakan lagi oleh makmum kepada imam. Adapun kiblatku ini adalah bayt Allah, dan imam itu apa yang ia jadikan kiblat? Maka inilah jawaban imam, “kiblatku itu dada, tiadalah aku salat membelakang. Tanyakan lagi kepada imam, “mengapa dada dijadikan kiblat?” Jawaban imam, “karena hal tersebut sesuai dengan firman Allah: fa ainamâ tuwallû fa śamma wajh Allâh (QS. al-Baqarah/2:115). Artinya, ke manapun dadaku menghadap di situ tempat [tajalli] Tuhanku. Kemudian imam bertanya balik kepada makmum. Apa yang anda maksud dengan bayt Allah? Apa pula yang kamu maksud dengan Allah? Maka inilah jawaban makmum. Bayt Allah artinya Rumah Allah, Istana-Nya; hal ini sesuai dengan firman Allah, wa huwa ma`akum ainamâ kuntum wa Allâh bimâ ta`malûna bashîr (QS. al-Hadîd/57: 4). [Firman ini mengisyaratkan] “di mana saja kamu berada Aku [Allah] bersamamu, mengapa tiada kamu lihat Aku di dalam keadaan diri kamu.”)
Jadi, menurut Muhtar bahwa untuk mengetahui Allah, jalan satu-satunya adalah menilik pada diri sendiri. Karena pada dasarnya di dalam diri inilah Allah itu berada. Muhtar merujuk firman Allah dalam al-Qur’an Surah al-Żâriyât [51]: 21: “di dalam diri kamu jua Aku[Allah].”(Muhtar: 30).
Di sini, Muhtar sangat menekankan pada “keserba-Tuhan-an” dalam diri hamba. Hal ini sesuai dengan doktrin wahdah al-wujûd yang memposisikan manusia sebagai “şûratih”(citra-Nya). Sehingga pada hakikatnya manusia itu adalah tempat tajalli zat, sifat dan af`al Allah. Karena itu dapat ditegaskan di sini bahwa tiada “bercerai” hamba dan Tuhan, keduanya adalah satu. Relasi hamba (`abd) dan Tuhan (Rabb) ditegaskan Muhtar:
Tiada bercerai hamba dengan Tuhannya seperti firman Allah Ta`ala, wa Allah al-ganiyyu wa antum al-fuqarâ’ [QS. Muhammad: 38] artinya, tiada Allah Ta`ala jua yang ada bagi-Nya Wujud (Muhtar: 31).
(Tidak bercerai antara hamba dan Tuhan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT., wa Allâh al-ganiyyu wa antum al-fuqarâ’ [QS. Muhammad: 38]. [Ayat ini mengisyaratkan bahwa] yang ada hanya Allah Ta`ala jua yang ada bagi-Nya Wujud).
Ungkapan seperti di atas memang sudah lazim di kalangan penganut wahdah al-wujûd. Penganut paham ini mengatakan bahwa “Tiada Aku kecuali Aku”, sehingga tidak ada dua realitas di dunia ini. Karena itu, menurut Rûmî, manusia adalah “kafir” dan “musyrik,” selama ia masih memiliki nafs dan kedirian, karena hal itu akan berarti penegasan konstan – dalam praktik, bukan dalam teori – bahwa ada dua eksisten, dua “aku.” Lebih jauh Rûmî mengatakan:
“Bersama Tuhan, dua aku tak dapat menemukan ruang. Engkau katakan “aku” dan Dia berkata “Aku.” Engkau harus mati di hadapan-Nya, atau Dia; maka tiada lagi dualitas. Tapi, tidak mungkin Dia mati, baik secara subyektif maupun obyektif, karena Dia adalah Tuhan Yang Hidup, Tidak Mati (QS. 25: 58). Dia-lah yang memiliki Luţf yang tidak mungkin bagi-Nya mati, maka kamulah yang mati. Lalu, Dia menyatakan Diri padamu dan tiadalah dualitas itu” (Chittick, 1989: 233).
Dengan mengenal diri secara mendalam sebagaimana sabda Nabi SAW.: “man `arafa nafsah faqad `arafa rabbah” artinya “barang siapa mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya (Nasution, 1992: 61). Menurut Muhtar, dengan mengenal diri sendiri, maka manusia pada hakikatnya akan mengenal Tuhannya (Muhtar: 65).
Untuk mengenal diri ini, Muhtar membagi dua perkara. Pertama, mengetahui asal diri. Kedua, dia mematikan dirinya sebelum mati, hal ini sesuai firman Allah Ta`ala dalam Hadis qudsi, “mutû qabla an tamutû”1), artinya matikan dirimu itu dahulu sebelum engkau mati yang sebenarnya (Muhtar: 65). Hadis ini dianggap oleh Muhtar sebagai landasan normatif akan adanya fanâ’ dan baqâ’. 2)
Secara historis, Abû Yazîd al-Busthâmîlah (w. 874 M) sufi pertama yang membawa konsep fanâ’dan baqâ’. Pandangannya menyangkut hal tersebut tersimpul dalam kata-katanya, “A`rifhu bî hattâ fanaitu śumma `araftuh bih fa-hayaitu.” (Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun hidup) (Nasution, 1992: 81).
Dari ungkapan al-Busthâmî tersebut, kita memahami bahwa fanâ’ dan baqâ’ dicapai setelah melewati ma`rifah, yaitu suatu tahap di mana sufi melihat Tuhan dengan mata yang ada dalam hati sanubarinya. Setelah melewati ma’rifah ia merasa dirinya “hancur” dalam Tuhan. Pengalaman sufi inilah yang disebut, dalam istilah tasawuf, dengan fanâ’. Setelah merasa hancur dalam Tuhan, ia merasa terus hidup dan tinggal “bersama” dengan Tuhan. Pengalaman “terus hidup” dan tinggal “bersama” ini disebut dalam tasawuf dengan istilah baqâ’.(Al-Qusyairi, 1959: 39). Sehingga yang tersisa hidup di dalam dirinya hanyalah Tuhan semat (Nasr, 1972: 47).
Dalam naskah Muhtar, penulis menemukan konsep fanâ’ dan baqâ’ yang berujung pada “penyatuan” Tuhan (Rabb) dan hamba (`abd). Proses pemfanâ’-an ini dijelaskan oleh Muhtar sebagai berikut:
“Di dalam tubuh itu [ada] jantung [rohani], dan di dalam hati itu `aql di dalam `aql itu fu’ad di dalam fu’ad itu ruh di dalam ruh itu sirr di dalam sirr itu anâ; yang bernama anâ itu maka tiliklah pada kita, itulah diri yang tilik. Maka satukanlah diri kita yang kasar itu kepada diri kita yang halus. Jadilah fana’ diri kita yang kasar itu kepada diri kita yang halus, maka sampailah fana’ al-fana kepada Zat yang sebenar-benarnya”(Muhtar: 49-50).
(“Di dalam tubuh terdapat ‘jantung’, dan di dalam hati itu `aql, di dalam `aql itu fu’ad, di dalam fu’`ad itu ruh, di dalam ruh itu sirr, di dalam sirr itu anâ; yang bernama anâ itu, maka itu yang kita pandang, karena di situlah pandang kita. Maka satukanlah diri kita yang “kasar” ini kepada diri kita yang “halus”, sehingga sampailah fanâ’ al-fanâ’ kepada Zat yang sebenar-benarnya”).
Dalam pernyataan di atas disebutkan fanâ’ al-fanâ’ (puncak segala pemusnahan). Menurut Glasse, fanâ’ al-fanâ’ merupakan puncak dari segala “pemusnahan”. Karena pada saat ini diri sama sekali musnah di hadapan keagungan Tuhan, sehingga akan lahirlah baqâ’ yang benar-benar terlepas dari segala keterikatan dan seluruh kepribadiannya hilang. Maka sampailah seseorang pada al-fanâ’ fî Allâh, pemusnahan diri menuju Allah (Glasse, 1996: 85). Sebagai puncak “pemusnahan”, maka akan tampak suatu Wujûd tanpa kualifikasi dan gambaran, di luar persepsi, pikiran dan pemahaman (Nasr, 1994: 122). Dalam naskah Muhtar keadaan ini digambarkan:
“Tiadalah wujud berwujud, dan tiada sifat bersifat, dan tiada nama bernama, dan tiadalah buat berbuat dan tiadalah syak, dan tiadalah zhân. Dan jadi esa tauhid kita. Esa ma’rifat kita dan esa [itu berarti] tiada dua [tiada bandingannya]” (Muhtar: 33).
Dalam perjalanan selanjutnya, sâlik akan sampai pada baqâ’, maqâm di mana sâlik telah melenyapkan dirinya dan yang tinggal hanyalah Allah semata-mata. Dalam kalimat Muhtar maqâm ini dijelaskan sebagai berikut:
“Bermula setengah mematikan diri itu seperti katanya lâ hayyun wa lâ `alimun wa lâ qadîrun wa lâ murîdun wa lâ sami`un wa lâ başîrun wa lâ mutakallimun fi al-haqîqah illâ Allâh. Artinya hidup tiada yang tahu, tiada yang kuasa dan tiada yang berkehendak dan tiada yang mendengar dan tiada yang melihat dan tiada yang berkata-kata hanya Allah. Dan yang esa dan yang maujud [hanya] Allah[semata-mata]” (Muhtar: 65-66).
(“Ketahuilah, setengah mematikan diri itu sebagaimana dikatakan, lâ hayyun wa lâ `alimun wa lâ qadîrun wa lâ murîdun wa lâ sami`un wa lâ başîrun wa lâ mutakallimun fi al-haqîqah illâ Allâh Artinya, hidup tidak ada yang mengetahui, tidak ada yang berkuasa, tidak ada yang berkehendak, dan tidak ada yang mendengar, tidak ada yang melihat dan tidak ada yang berkata-kata, pada hakikatnya, melainkan Allah. Dia-lah yang Esa dan yang maujud hanya Allah [semata-mata]”).
Di bagian lain Muhtar menambahkan:
“Hakikat orang ahl Allah yang `ârif billah kamu di dalam zikrullah senantiasa nafi’ af`âl kita iśbat af`âl Allâh dan baqâ’ bi Allâh karena mereka itu tiadalah lagi yang lain di dalam hatinya[kecuali]Allah Ta`âla semata-mata. [Karena itu] pendengaran dan penglihatan barang baginya demikian rupanya yang dihakikatkan dengan yakin dan tiada lupa dan lalai[hanya ditujukan pada-Nya]” (Muhtar: 66).
(“Para ahl Allah yang `ârif billah menegaskan bahwa ketika mereka tenggelam dalam zikrullah, maka senantiasa mereka nafi’ af`âl kita iśbat af`âl Allâh dan baqâ’ bi Allâh. Pada saat itu tidak ada lagi yang lain di dalam hatinya melainkan Allah Ta`âla semata-mata. [Karena itu] pendengaran dan penglihatan dihakikatkan dengan yakin dan tidak lupa serta lalai, hanya ditujukan pada-Nya”).
Ketika sampai ke-baqâ’-an, sampailah pada fase musyâdah dan murarabah.3) Pada maqâm musyahadah tidak sekedar menghilangkan semua obyek termasuk dirinya sendiri dan menemukan Tuhan yang ada dan hadir, tetapi lebih jauh dan mendalam lagi. Menurut Muhtar,
“Dan inilah jalan musyahadah kepada Allah Ta’ala, artinya hidup tiada bermasa dan berketika, tiada lalai dan tiada lupa senantiasa siang dan malam tiada berkeputusan dan ber[ke]sudahan tiap-tiap waktu[senantiasa bersama Allah]. Dan demikianlah jalan yang sebenar-benarnya pandang ma’rifat. Tiada lalai dan me[ng]hilangkan jalan pekerjaan dunia dan mengaramkan ilmu dan menghancurkan daripada pandangnya” (Muhtar: 43).
(“Sampailah pada fase musyahâdah kepada Allah Ta’ala; pada fase ini hidup tidak terikat situasi dan kondisi, tidak ada lagi kelalaian dan tidak lagi lupa, senantiasa siang dan malam tiada berkeputusan dan berkesudahan. Setiap waktu [senantiasa bersama Allah]. Maka inilah hakikat ma’rifat. Tiada lalai dan terputuslah sudah dari persoalan dunia dan mengaramkan ilmu dan menghancurkan daripada pandangnya”).
Sedangkan pada fase muraqabah dijelaskan oleh Muhtar:
“Dan artinya muraqabah yaitu ma’ani. Adapun ma’ani artinya yaitu tiada yang lain dilihat dan cinta, tiada lain dirasanya hanya Żât Wâjib al-Wujûd semata-mata. Maka di sanalah engkau mengaramkan [dirimu ke dalam] wujud [dan] mencair kepada haqîqat yaitulah yang bernama maqab Allah kepada Allah Ta’ala, maka baharu-baharu engkau merasa wujud Allah dan merasa mempunyai zat yang lain daripada [hanya semata-mata] zat Allah, merasa mempunyai şifat yang lain daripada [hanya semata-mata] sifat Allah, dan merasa mempunyai asmâ’ yang lain daripada [hanya semata-mata] asmâ’ Allah, dan merasa mempunyai af`âl Allah yang lain daripada af`âl Allah” (Muhtar: 43-45).4)
(“Dan artinya muraqabah yaitu ma’ani. Yang dimaksud ma’ani adalah bahwa tidak ada lain yang dilihat dan cinta, tidak ada yang lain dirasanya hanya Żât Wâjib al-Wujûd semata-mata. Maka di sanalah engkau mengaramkan [dirimu ke dalam] wujud [dan] mencair kepada haqîqat. Yaitulah yang bernama maqab Allah kepada Allah Ta’ala, maka kemudiam engkau merasakan wujûd Allah. Di samping itu akan merasa mempunyai zat yang lain daripada [hanya semata-mata] zat Allah, merasa mempunyai şifat yang lain daripada [hanya semata-mata] sifat Allah, dan merasa mempunyai asmâ’ yang lain daripada [hanya semata-mata] asma Allah, dan merasa mempunyai af`al Allah yang lain daripada af`âl Allah”).
Untuk mencapai ke-baqâ’-an ini, sebagaimana juga dalam ajaran tasawuf lainnya, Muhtar mengenalkan zikir-zikir yang harus dibaca agar seseorang sampai pada maqâm tersebut. Tentu saja, tingkatan zikir ini berjenjang sesuai dengan tingkat intelektualitas dan kualitas spiritualitas seseorang. Mengenai tingkatan zikir ini dijelaskan Muhtar berikut ini:
“Pasal diketahui pula olehmu daripada zikir lidah tatkala sehat badan lâ ilâha illâ Allâh artinya tiada Tuhan hanya Allah, atau tiada yang lain yang disembah sebenar-benarnya hanya Allah; dan jikalau lidah kelu tiada dapat mengata demikian itu [dapat dilakukan dengan] membilangkan ingat akan maknanya akan yang ada yang disembah hanya Allah. Dan zikir tatkala diam Hû Allah. Artinya aku dijadikan Allah, adapun zikir hati tatkala sunyi Allâh Allâh Allâh, artinya aku serta Allah. Adapun zikir sirr itu ah5) artinya aku adapun artinya maka tiadalah engkau rahasiakan Daku selama belum engkau lenyap di dalam-Ku dan tiada engkau lenyap selama engkau belum melihat rupa-Ku seperti firman Allah “wa mâ khalaqtu al-jinn wa al-ins illâ li ya`budûni,6) artinya telah Kujadikan jin dan manusia akan menyembah Daku dan mengenal Daku. Dan kata Abu Bakar: “mâ raitu syai’an illâ raitu Allâh qablahu”artinya tiada aku lihat sesuatu hal [melainkan] aku lihat Allah sebelumnya. Dan kata Umar bin Khaţţab, “mâ raitu syai’an illâ raitu Allâh ba`dahu“, artinya tiada aku lihat sesuatu hal[melainkan]aku lihat Allah kemudiannya. Dan kata Usman bin Affan: “mâ raitu syai’an illâ raitu Allâh ma`ahu” artinya tiada aku lihat akan suatu melainkan padahal aku lihat Allah besertanya. Dan kata Ali bin Abi Thalib, “mâ raitu syai’an illâ raitu Allâh fîh, artinya tiada aku lihat akan sesuatu padahal aku lihat Allah di dalamnya (Muhtar: 67).7)
(“Pasal diketahui pula olehmu mengenai zikir lidah ketika badan sehat lâ ilâha illâ Allâh artinya tidak ada Tuhan selain Allah, atau tidak ada yang lain yang disembah sebenar-benarnya hanya Allah; dan jikalau lidah kelu (tidak sanggup mengucap) yang demikian [lâ ilâha illâ Allâh] cukup dengan berisyarat saja mengenai maknanya, yakni yang disembah hanya Allah. Sedangkan zikir tatkala diam Hû Allâh. Hakikatnya, aku dijadikan Alah. Adapun zikir hati tatkala sunyi Allâh Allâh Allâh, hakikatnya aku bersama Allah. Adapun zikir sirr [rahasia] itu ah, hakikatnya “Aku” [Allah]. Oleh karena itu, tidak ada rahasia antara engkau dan Aku ketika engkau lenyap di dalam-Ku dan tiada engkau lenyap selama engkau belum melihat “rupa”-Ku, hal ini sesuai dengan firman Allah, “wa mâ khalaqtu al-jinn wa al-ins illâ li ya`budûni” artinya “telah Kujadikan jin dan manusia akan menyembah Daku dan mengenal Daku. [Para sahabat Nabi berkata]; Abu Bakar: “mâ raitu syai’an illâ raitu Allâh qablahu”artinya tiada aku lihat sesuatu [melainkan] aku lihat Allah sebelumnya. Dan kata Umar bin Khaţţab, “mâ raitu syai’an illâ raitu Allâh ba`dahu“, artinya tiada aku lihat sesuatu hal [melainkan]aku lihat Allah kemudiannya. Dan kata Uśman bin `Affan: “mâ raitu syai’an illâ raitu Allâh ma`ahu” artinya tiada aku lihat akan suatu melainkan padahal aku lihat Allah besertanya. Dan kata `Ali bin Abi Ţalib, “mâ raitu syai’an illâ raitu Allâh fîh, artinya tiada aku lihat akan sesuatu padahal aku lihat Allah di dalamnya”).
Di kalangan `ârif billah dikemukakan beberapa ungkapan sebagai ekspresi bahwa segala sesuatunya bersumber dari Allah. Dalam naskahnya ini, Muhtar menyebutkan beberapa ungkapan yang diidentifikasi sebagai ungkapan kaum sufi, arif billah. Hanya saja, Muhtar tidak menyebutkan nama-nama yang mengungkapkannya. Di antara ungkapan-ungkapan itu adalah: (1) lâ ya`rif Allâh illâ Allâh artinya tiada yang mengenal Allah kecuali hanya Allah; (2) lâ yażkur Allâh illâ Allâh artinya tiada yang menyebut Allah kecuali hanya Allah; (3) lâ ya`bud Allâh illâ Allâh artinya tiada yang menyembah Allah kecuali hanya Allah; dan (4) Lâ yarâ Allâh illâ Allâh artinya tiada yang melihat Allah kecuali hanya Allah (Muhtar: 68).8) Ungkapan-ungkapan di atas menunjukkan bahwa Allah adalah Wujûd Mutlâq, sehingga untuk mengenal, menyebut, menyembah dan melihat Allah haruslah dengan Allah sendiri.9) Ungkapan-ungkapan Muhtar ini sesuai dengan ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam Misykâh al-Anwâr karya al-Gazâlî. Dalam Misykâh-nya, al-Gazâlî mengemukakan adanya dua kelompok manusia dalam memahami eksistensi Allah.
Kelompok pertama disebut oleh al-Gazâlî dengan şâhib al-musyâhadah (orang-orang yang diberi kesaksian oleh Allah). Kelompok ini adalah Darajah al-Şiddiqîn (orang-orang yang ikhlas dan sempurna keyakinannya) yang menyaksikan Allah dengan mata hatinya (arbâb al-başâir) sehingga ada sebagian dari kelompok ini mengucapkan, “mâ raitu syai’an illâ raitu Allâh qablah” (Tidak ada satu pun yang aku lihat, kecuali sebelumnya aku telah melihat Allah) (Al-Ghazali, 1986: 147). Ungkapan kelompok ini sesuai dengan isyarat yang terdapat dalam al-Qur’an: “Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu”(QS. Fushshilat [41]: 53).
Kelompok kedua disebut oleh al-Ghazâlî dengan shâhib al-istidlâl (orang yang memiliki kemampuan untuk mengambil dalil). Kelompok ini adalah darajah al-`ulamâ’ al-râsikhîn (tingkatan orang-orang yang mendalam akar ilmunya) yang melihat Allah ada di segala sesuatu yang dilihatnya. Kelompok ini, menurut al-Gazâlî, mengucapkan, “mâ raaû syai’an illâ raaû Allâh ma`ah” (Tidak ada satu pun yang mereka lihat, kecuali sesudahnya mereka telah melihat Allah). Ungkapan kelompok ini sesuai dengan isyarat yang terdapat dalam al-Qur’an: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar”(QS. Fushshilat [41]: 53) (Al-Ghazali, 1986: 147).
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa Allah bersama segala sesuatu. Karena itulah, al-Gazâlî menegaskan, ﺊﺸ ﻝﻛﺭﻬﻇﻴ ﻡﺛ ﻪﻘﺭﺎﻔﻴﻻ ﻲﺸ ﻝﻛ ﻊﻣ ﻭﻬﻔ (Dia bersama dengan segala sesuatu, tidak pernah terpisah dengannya, dan hanya dengan Dia-lah segala sesuatu kelihatan) (Al-Ghazali, 1986: 148). Jadi, ungkapan yang terdapat dalam naskah mistik Muhtar di atas: tiada mengenal, tiada menyebut, tiada menyembah dan tiada melihat kecuali hanya Allah, telah diungkapkan oleh para sufi sebelumnya. Karena itulah, kalau tidak waspada menjelaskan persoalan ini bisa menimbulkan salah persepsi terhadap ungkapan-ungkapan tersebut. Muhtar menyarankan perlunya mencari seorang guru (mursyid, darwisy, pir). Lebih lanjut Muhtar menyarankan:
“…Kiblat rahasia kamu, maka pikirkan dengan nyata supaya terang di dalam hatimu.[Oleh karena itu hendaklah] engkau cari guru yang nyata sempurna [dan telah tergolong] ahl al-haqîqah (Muhtar: 35).10)
(“…Perjalanan spiritual yang tengah dialami itu adalah rahasia, maka pikirkanlah dengan benar supaya jelasdi dalam hatimu.[Oleh karena itu hendaklah] anda mencari guru yang benar-benar sempurna ilmu hakikatnya dan telah tergolong ahl al-haqîqah.”).
Kembali kepada ungkapan-ungkapan yang dikemukakan Muhtar, memang bisa menimbulkan kesan adanya “persamaan” antara hamba (khalq) dan Tuhan (al-Haqq). Tetapi sebenarnya, Muhtar tetap membedakan antara Tuhan dan makhluk-Nya. Ini terungkap dari pernyataan Muhtar di bawah ini, “Allah Ta`ala mendindingi diri-Nya, hanya sesungguhnya yang didindingi menilik hadrat-Nya dan karena Allah Ta`ala mendindingi diri-Nya yang demikian itu supaya bersungguh-sungguh tuntut segala talib.” (Muhtar: 84). ( Allah Ta`ala menghijab diri-Nya, sehingga yang dihijabi harus berusaha sungguh-sungguh untuk membuka hijab tersebut ).
2. al-Insân al-Kâmil
Sepeninggal Ibn al-`Arabî dan al-Jîlî, al-insân al-kâmil tela menjadi kajian yang menarik di kalangan kaum sufi di seantero dunia Islam, termasuk para sufi Nusantara. Dengan memperhatikan data sejarah – terutama naskah-naskah Melayu dan Jawa klasik, yang ditulis sekitar abad XVI dan XVII – terlihat bahwa pada masa itu ajaran kesufian telah menapaki puncak kejayaannya di Nusantara. Salah satu ajaran kesufian yang banyak menarik perhatian adalah al-insân al-kâmil. Dalam naskah Muhtar kita menemukan juga doktrin al-insân al-kâmil. Bagaimana konsep al-insân al-kâmil Muhtar akan penulis uraikan lebih lanjut di bawah ini.
Di atas telah penulis uraikan mengenai fanâ’ dan baqâ’ . Lewat proses fanâ’ dan baqâ’, kita bisa melihat bahwa antara manusia dan Tuhan “bersatu”. Menurut al-Hallâj ( 858-922 M ) persatuan antara manusia dan Tuhan bisa terjadi karena di dalam diri Tuhan terdapat sifat nâsût (humanity, kemanusiaan), sehingga dalam satu titik tertentu manusia bisa berada dalam posisi keberadaan Tuhan. Pandangan ini tersirat dalam sebuah puisi al-Hallâj yang terjemahannya sebagai berikut:
Roh kamu bercampur dalam Roh-Ku sebagaimana bercampurnya anggur dengan air murni.
Bila sesuatu menyentuh-Mu, ia menyentuhku juga
Ketahuilah segala sesuatu menyentuh-Mu dan menyentuhku.
Kemudian lagi:
Aku adalah Dia yang kucinta, dan Dia yang kucinta adalah aku;
Kami adalah dua jiwa yang bersatu badan
Dan jika kau melihat-Nya, kau melihat kita berdua (Nicholson, 1966: 151).
Dengan demikian, apa yang diucapkan oleh al-Hallâj pada hakikatnya adalah ucapan Tuhan. Tetapi harus digarisbawahi bahwa ucapan al-Hallâj itu terjadi dalam konteks bahwa ia sepenuhnya dalam kondisi fanâ’ dan bukan dalam keadaan sadar. Kasus al-Hallâj ini bisa dipahami sebagai “bukanlah roh dirinya yang mengucapkan kata-kata itu, melainkan roh Tuhan yang mengambil tempat pada dirinya, sebagaimana peristiwa dialog antara Musa dan Tuhan yang mengambil medium api yang menyala (Hidayat, 1998: 287). Dengan demikian, adanya “potensi ketuhanan” dalam diri manusia menyebabkan manusia berpeluang untuk menjadi “manusia sempurna”.
Potensi menjadi “manusia sempurna” telah terancang sejak awal, karena manusia diciptakan oleh Allah dalam citra-Nya ( şûratih ). Menurut Muhtar, manusia sebagai “citra” Ilahi merujuk pada hadis Nabi: (1) khalaqa Âdam `alâ şûrah al-Rahmân ( Dia telah menciptakan Adam atas rupa al-Rahmân ) dan (2) Inna Allâh khalaqa Âdam `alâ şûratih ( Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan citra-Nya )(Muhtar: 59).11)
Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa insân kâmil itu ialah manusia yang telah dapat mencerminkan nama-nama dan sifat-sifat Tuhan secara sempurna. Karena itu, lewat penciptaan manusia maka Tuhan dapat melihat citra diri-Nya secara utuh. Peringkat demikian dapat dicapai oleh seorang insan setelah dirinya menjadi manifestasi sempurna dari hakikat Muhammad sebagai wadah tajalli Tuhan yang paripurna(Ali, 1997: 58-59).
Al-insân al-kâmil dalam tasawuf Islam pada umumnya adalah manusia yang telah memiliki dalam dirinya hakikat Muhammad arau ruh Muhammad, atau juga disebut nûr Muhammad yang merupakan makhluk yang mula-mula dijadikan Allah, dan juga sebagai sebab bagi dijadikan alam ini (Daudy, 1983: 184). Ini mengacu pada beberapa hadis di antaranya: “Pertama-pertama dijadikan Allah Ta`ala itu cahayaku [Muhammad], dan pada riwayat lain, ruhku.”(al-Raniri, 1961: 147); Aku [Muhammad] dari Allah dan alam semesta dariku ;“Jikalau tiada engkau, ya Muhammad, niscaya tiada kujadikan segala alam ini” ”(al-Ghazali, 1934: 115).
Berdasarkan Hadis-hadis di atas jelaslah bahwa Nabi Muhammad atau nûr Muhammad memegang peranan sentral dijadikannya alam semesta ini, sebelum adanya dalam bentuk seorang Nabi insani. Nûr tersebut kadim lagi azali. Nûr Muhammad inilah yang selalu berpindah dari generasi berikutnya dalam bentuk para anbiya: Adam, Nuh, Ibrahim, Musa dan lain-lain, kemudian dalam bentuk Nabi penutup, Muhammad SAW. Dalam kalangan para sufi, nur tersebut berpindah kepada para awliya dan berakhir pada para wali penutup(khatam awliya) (al-Ghazali, 1934: 115).
Ide nur Muhammad ini tampaknya telah masuk juga ke Nusantara, termasuk dalam naskah Muhtar. Menurut Muhtar, manusia sekali-kali tidak akan bisa mengenal Allah kecuali dengan nûr Muhammad(Muhtar: 60). Karena itu, “Manusia Sempurna” terrefleksi pada nûr Muhammad ini. Mengenai nûr Muhammad, Muhtar mengatakan:
“Karena tubuh kita yang kasar ini sekali-kali tiada dapat akan mengenal Allah Ta`ala melainkan dengan nur Muhammad SAW. Maka jangan engkau menduakan perbuatan yang lain daripada nur tiap-tiap yang datang kepada kamu seperti firman Allah Ta`ala di dalam al-Qur’an, “qad jâakum min Allah nûr [QS.al-Mâidah/5: 15] artinya barang yang datang kepada kamu yaitu hak daripada Tuhan yaitu nur, dan lagi firman Allah Ta`ala qad jâakum al-haqq min rabbikum[QS. Yûsuf/12: 108] artinya barang yang datang kepada kamu yaitu hak daripada Tuhan kamu maka yaitu nur dan kepada nur yaitulah perhentian. Dan perjalanan segala awliya dan segala anbiya mursalin mengenal Allah Ta`ala dan mula-mula sampai pendapat arif billah pada martabat itu mula-mula tajalli pada martabat itu maka hendaklah engkau ingatkan bahwasanya nur itu telah nyata daripada Allah Ta`ala dan ilmu ini sekalian nyata jadi daripada nur Muhammad SAW. seperti firman Allah Ta`ala di dalam hadis[qudsi] khalaqtuka liajlika wa khalaqtu illa saya’i ajlika, artinya Aku jadikan engkau dengan karena-Ku. Aku jadikan semesta sekalian alam ini karenamu ya Muhammad. Maka sembah Nabi SAW: ana min Allâh wa al-`âlam minnî, artinya aku daripada Allah dan sekalian alam daripada-ku adanya” (Muhtar: 60).
(“Tubuh kita yang kasar ini sekali-kali tidak akan dapat mengenal Allah Ta`ala kecuali dengan nûr Muhammad SAW. Oleh karena itu janganlah anda menduakan perbuatan selain nûr[Muhammad]. Dalam al-Qur’an ditegaskan, “qad jâakum al-haqq min rabbikum”[QS. Yûsuf/12: 108]. [Ini mengisyaratkan bahwa] apa pun yang datang kepadamu dari Tuhan itu adalah nur. Oleh karena itu, nur dan kepada nur itulah perhentian. Dan ini sekaligus merupakan perjalanan para awliya dan para Nabi dan Rasul dalam mengenal Allah. Sebagian arif billah berpendapat bahwa ia adalah tajalli dan karenanya pengetahuan itu bersumber dari nur Muhammad. Dalam hadis qudsi, Nabi SAW.bersabda, “khalaqtuka liajlika wa khalaqtu illa saya’i ajlika, artinya Aku jadikan engkau dengan karena-Ku. Aku jadikan semesta sekalian alam ini karenamu ya Muhammad. Maka sembah Nabi SAW: ana min Allâh wa al-`âlam minnî, artinya aku daripada Allah dan sekalian alam daripada-ku adanya”).
Di samping mengacu pada teori nûr Muhammad, Muhtar juga mengemukakan bahwa manusia itu adalah ﻞﻅ zill (bayang-bayang) Tuhan. Sebagai zill Tuhan, dalam diri manusia itu terdapat zat, sifat, asma dan af`al Tuhan (Muhtar: 44). Maka, tegas Muhtar, manusia beserta Tuhan yang Żât Wâjib al-Wujûd (Muhtar: 42-43). Tampaknya konsep zill Muhtar ini sama dengan konsep şûrah dalam ajaran Ibn al-`Arabî.
Untuk memudahkan pemahaman, Muhtar mengumpamakan zill dengan hati manusia. Menurutnya, hati manusia itu umpama cermin, jika dipandang di dalam cermin maka “tampaklah” Tuhan(Muhtar: 43).12) Tentu saja cermin yang dimaksud di sini adalah cermin yang telah mendapatkan anugerah dari Allah. Karena tanpa anugerah-Nya, cermin tadi tidak akan berfungsi apa-apa.
Pandangan Muhtar ini sejalan dengan pernyataan dalam al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah mendinding antara manusia dan hatinya. Ini mengindikasikan bahwa Allah-lah yang menguasai hati manusia. “Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah mendinding antara manusia dan hatinya.”( QS. al-Anfâl [8]: 24).
Menurut Javad Nurbakhsy, hati disebut qalb karena merupakan bagian perwujudan dari aspek-aspek Allah yang berbeda-beda, yang menggambarkan suatu aspek yang berbeda pada setiap saat, yang beralih ( munqalib ) dari sifat ke sifat. Hati ini juga beralih antara aspek hati yang berhubungan dengan Alah dan aspek hati yang berhubungan dengan makhluk. Yaitu, dia menerima anugerah dari Allah dan menyampaikannya kepada makhluk(Nurbakhsy, 2000: 143). Guru Sufi Nurud-Din Isfârâyini dalam bait-bait syairnya bersenandung:
Hati adalah tempat
Perwujudan Tuhan;
Bagaimana orang dapat menyebut
Sebuah hati sebagai rumah setan?
Pergi dan buanglah
Benda-benda jasmani itu
Yang kausebut sebagai hati
Kepada anjing-anjing!
Hati yang sebenarnya sedemikian rupa sehingga
Bahkan dalam keadaan malapetaka sekalipun
Engkau benar-benar tidak akan menemukan apa-apa
Di dalamnya selain Allah. (Nurbkahsy, 2000: 143-144).
Tokoh sufi Nusantara Syekh Yusuf al-Makassari dalam Zubdah al-Asrâr fî Tahqîq ba’d Musyarib al-Akhyâr, mengemukakan bahwa Allah senantiasa berada dalam hati manusia. Karena itu hatinya dinamakan `Arsy Allâh sesuai dengan hadis Rasulullah SAW.,”qalb al-mu’min ‘arsy Allâh” ( hati seorang mukmin adalah ‘Arsy Allah ). Syekh Yusuf menambahkan, “ya Dâwûd farig qalbaka askun fîh” ( Wahai Dawud Kosongkanlah hatimu, Aku akan bertempat di dalamnya)(Lubis, 1996: 103).13) Al-Raniri dalam Asrâr al-Insân, menyebutkan bahwa Nabi Musa datang ke hadirat Allah dan bertanya, “ Di mana Engkau?”. Dijawab oleh Allah, ”Aku ada dalam kalbu hamba-Ku yang mu’min”(al-Raniri, 1961: 226).
Muncul pertanyaan: bagaimana proses terjadinya insân kâmil? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mengikuti pandangan Muhtar mengenai salat (dalam bahasa Melayu, sembahyang). Karena, menurut Muhtar, salat itu merupakan manifestasi hubungan antara hamba dan Tuhan. Di lain pihak, salat merupakan simbolosasi martabat tajjali Tuhan.
3. Martabat Tajalli: Simbolisasi Sembahyang (Salat)
Dalam naskah Muhtar dibahas juga tentang proses terjadinya insân kâmil dengan melalui berbagai martabat tajalli. Dalam mengemukakan martabat tajalli Muhtar menggunakan simbolisasi sembahyang. Karena dengan sembahyang manusia dan Tuhan bisa saling mengenal. Pandangan ini bertolak dari sebuah Hadis Qudsi: “Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang terpendam. Aku ingin supaya dikenal, maka Aku jadikan alam ini, sehingga dengan itu mereka mengenal Aku” (Muhtar: 97).
Berdasarkan Hadis di atas, Tuhan menciptakan makhluk dengan tujuan supaya diri-Nya dikenal. Untuk mengenal Tuhan, Muhtar menggunakan martabat tajalli. Tajalli dalam ajaran mistik Muhtar ini disimbolisasikan dengan sembahyang (salat).
Menurut Ibn al-`Arabî, perintah salat mengandung aspek Haqq dan aspek al-khalq. Aspek Haqq ialah kandungan dari tahmid, tasbih, takbir, dan perkenan Tuhan terhadap ucapan-ucapan hamba-Nya. Sedangkan aspek khalq ialah permohonan seorang Muslim di dalam salat dan segala tindakan yang menjadi bagian dari salat itu sendiri. Untuk menguatkan pandangannya itu, Ibn al-`Arabi mengambil dalil dari Kitab Suci al-Qur’an, yang artinya,”Maka ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu.”(QS. al-Baqarah/2: 152)(Ali, 1997: 97).
Di bagian lain ditegaskan oleh Ibn al-`Arabî bahwa syariat (salat) merupakan aturan formal keagamaan yang harus dipatuhi oleh setiap Muslim, karena ia merupakan aktualisasi dari kandungan Kitab Suci. Sementara Kitab Suci itu sendiri merupakan tajalli dari nama-nama Ilahi)(Ali, 1997: 97). Menurut Yunasril Ali, pandangan Ibn al-`Arabi ini bertolak dari asumsi bahwa Tuhan – pada aspek ontologis – merupakan Wujud Mutlak. Ia ingin melihat citra diri-Nya di luar diri-Nya, sehingga Ia ber-tajalli pada alam semesta. Sementara itu, pada aspek aksiologis, Tuhan merupakan Wujud Yang Maha Baik, yang mempunyai kebaikan, dan ingin menyebarkan kebaikan. Karena itu, Ia memanifestasikan diri-Nya dengan norma, hukum atau wahyu. Jadi, wahyu juga merupakan salah satu dari wadah tajalli-Nya )(Ali, 1997: 97). Sedangkan salat itu sendiri merupakan bagian dari syariat yang paling fundamental dalam Islam, karena menduduki urutan kedua dalam rukun Islam setelah syahadat.
Bertolak dari pandangan Ibn al-`Arabî di atas, kita dapat memahami pandangan Muhtar mengenai salat sebagai simbolisasi tajalli Tuhan. Dalam sebuah pernyataannya, Muhtar menegaskan:
“Adapun sembahyang tubuh itu senantiasa kepada Allah. Adapun sembahyang nyawa itu senantiasa tauhid kepada Allah, dan sembahyang rahasia itu senantiasa menyebut mutlak kepada Allah Ta`ala tiada suqûţ [gugur].” (Muhtar: 90).
(“Adapun sembahyang jasmani itu senantiasa kepada Allah. Sedangkan sembahyang nyawa itu senantiasa tauhid kepada Allah, dan sembahyang rahasia itu senantiasa menyebut mutlak kepada Allah Ta`ala tiada suqûţ [gugur]”).
Ditegaskan oleh Muhtar, bahwasanya Allah Ta`ala menjadikan manusia itu atas rupa sembahyang. Karena sembahyang memanifestasikan “sebaik-baiknya kejadian” dan “seelok-elok rupa” (Muhtar: 97). Pandangan Muhtar ini dapat kita cermati dari postur salat yang berhubungan dengan kata Adam. Postur qauma ( berdiri tegak ) berhubungan dengan huruf alif ( ﺍ ). Postur ruku’ berkaitan dengan huruf dâl ( ﺩ ) dan postur sujud berkaitan dengan huruf mîm ( ﻢ ) (Moinuddin, 1985). Keterkaitan ini mengingatkan kita pada sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan citra-Nya”(Ibn al-`Arabi, tth: 134).
Menurut Muhtar, difardukannya salat lima waktu oleh Allah Ta`ala kepada hamba-Nya saling keterkaitan antara postur salat dengan kata Adam. Hal ini juga sesuai dengan firman Allah mengatakan, “wa mâ khalaqtu al-jinn wa al-ins illâ liya`budûni” (Muhtar: 97).
Dari firman Allah ini secara tegas dikatakan bahwa penciptaan jin dan manusia itu semata-mata untuk menyembah-Nya. Dan sembahyang adalah cara penyembahan yang terbaik yang dianugerahkan Tuhan kepada hamba-Nya (Muhtar: 97).
“Adapun makna menyembahkan diri itu yaitu menghadap ke hadirat Tuhan yang menjadikan diri dengan sebaik-baik kejadiannya seperti firman Allah Ta`ala mengatakan, “laqad khalaqa al-insana fî ahsan taqwîm. Artinya kemudian kamu dijadikan insan itu dengan sebaik-baiknya kejadian.”(Muhtar: 102).
Dalam sembahyang itu terjadi puji memuji antara hamba dan Tuhan. Karena di dalam hadis sendiri dikatakan bahwa Tuhan membagi salat itu dalam dua bagian, satu bagian untuk-Nya dan satu bagian lagi untuk hamba-Nya. Nabi SAW. bersabda:
“Aku membagi salat antara-Ku dan hamba-Ku menjadi dua bagian: satu bagian untuk-Ku dan satu bagian lagi untuk hamba-Ku; dan untuk hamba-Ku apa yang dimintanya. Hamba itu berkata, “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Yang Maha Penyayang.” Allah menjawab, “Hamba-Ku telah mengingat-Ku.” Hamba itu berkata, ”Segala puji bagi Allah Tuhan sekalian alam.” Allah menjawab,”Hamba-Ku telah memuji-Ku.” Hamba itu berkata, “Yang Maha Pengasih, Yang Maha Penyayang.” Allah menjawab, “Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.” Hamba itu berkata, “Yang Menguasai hari pembalasan.” Allah menjawab, “Hamba-Ku telah memuliakan-Ku, ia telah menyerah pada-Ku.” Bagian ini semua adalah untuk Allah. Kemudian sang hamba berkata ( pula ), “Hanya Engkau yang kami sembah dan hanya kepada Engkau kami mohon pertolongan.” Allah menjawab, “Ini adalah antara-Ku dan hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku ialah apa yang dimohonkannya.” Maka Ia membuat kebersamaan dalam ayat ini. Hamba itu berkata, “Tunjukilah kami jalan yang lurus, jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat dan bukan (jalan) orang-orang yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat.” Allah menjawab, “Semuanya ini adalah untuk hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang dimintanya.”
Menurut Muhtar, ketika salat harus dicamkan dalam diri bahwa “engkau menyembah akan Tuhanmu itu seperti engkau lihat kepada-Nya dan apabila anda tidak melihat akan Dia. Sadarilah bahwa Ia lebih melihat kepada anda”(Muhtar: 103). Lebih lanjut Muhtar menyatakan:
“Bahwasanya patuh bagi orang yang memuji itu dia hadirkan-Nya dahulu yang dipuji itu hadir berhadapan dengan Dia. Maka nyatalah akan Dia karena firman Allah Ta`ala menyatakan wa nahnu aqrabu ilaih min habl al-warîd. Artinya Aku terlebih hampir kepada kamu itu daripada urat lehernya. Kedua pihak memandang bagi kedampingan”(Muhtar: 104).
(“Bahwasanya wajiblah bagi orang yang memuji [Tuhan] itu dia menghadirkan-Nya dahulu yang dipuji itu hadir berhadapan dengannya.Hal ini sesuai firman Allah Ta`ala yang menyatakan,”wa nahnu aqrabu ilaihi min habl al-warîd”.Artinya “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qâf [50]: 16). Kedua pihak saling memandang berhadapan.”).
Di bagian lain dikatakan oleh Muhtar bahwa dalam sembahyang itu pada hakikatnya adalah yang menyembahyangkan Dia dan yang disembahyangkan pun Dia pula.
“…Dikehendakinya kita ini yang sembahyangkan pun Ia, dan yang sembahyangkan pun Ia….. sembahyang lebih kepadaku itu yaitu mereka memuji Daku. Tiada sesuatu di dalamnya yakni tiada takut neraka dan tiada mau akan surga. Ingat akan dirinya itu artinya sesuatu di dalamnya dan jikalau demikian kehendaki yang menyembahpun Haq dan disembah Haq… Tiada yang mawjud hanya Allah….Karena zâhir af`al Allah, dan batin af`al Allah kita yaitulah af`al Allah. Dan zâhir sebenarnya Allah kita yaitu Allah af`al Allah dan zâhir Sifat Allah, yaitu sifat kita dan yang batin sifat kita yaitu sifat Allah. Dan zâhir Zat Allah yaitu zat kita dan kita yaitu Zat Allah (Muhtar: 50-53).
(“…Di dalam sembahyang pada hakikatnya yang sembahyang Dia, dan yang menyembahyangkan pun Dia juga….. Sembahyang bagi hamba adalah mereka memuji Daku. Karenanya mereka tidak merasa takut kepada neraka dan tidak menginginkan surga. Ia semata-mata menyembah-Nya tanpa imbalan apa pun. Karenanya, yang menyembah Haqq dan disembah Haqq… Tidak ada yang mawjud hanya Allah….Karena zâhir af`al Allah, dan batin af`al Allah, maka kita pun demikian. Sehingga zâhir adalah Allah, Allah af`al Allah dan zâhir Sifat Allah. Maka kita berada dalam sifat Allah. Demikian pula, zâhirnya Zat Allah, tetapi pada hakikatnya itu adalah zat kita.”).
Pernyataan Muhtar ini sejalan dengan pandangan Ibn al-`Arabî yang memposisikan salat sebagai puji memuji, sembah menyembah, kenal mengenal. Hubungan itu saling timbal balik. Satu pihak tidak bisa menafikan pihak lain. Dalam Fuşûş al-Hikam, Ibn al-`Arabî menyatakan:
Maka Ia (Tuhan) memujiku dan aku memuji-Nya
dan Ia menyembahku dan aku pun menyembah-Nya
dan dalam hal (lahir) aku mengakui-Nya
dan dalam (hal) hakiki aku menolak-Nya
Maka Ia mengenalku dan aku tak mengenal-Nya
lalu aku mengenal-Nya, maka aku pun menyaksikan-Nya
Maka bagaimana mungkin Ia bisa cukup, padahal aku
Menolong-Nya dan membahagiakan-Nya?
Untuk itulah al-Haqq mewujudkan aku
maka aku pun mengetahui-Nya dan mewujudkan-Nya
dan padaku terealisasi maksud-Nya. (Ibn al-`Arabi, I: 83).
Di bagian lain, Muhtar mengikuti pandangan Ibn al-`Arabî dalam hal sembahyang (salat). Menurut Muhtar dalam sembahyang terkandung aspek al-Haqq dan al-khalq.14) 104) Tetapi terdapat perbedaan yang “unique” antara aspek Haqq dan al-khalq dalam pandangan Ibn al-`Arabî dan Muhtar. Ibn al-`Arabî memahami aspek Haqq dan al-khalq dalam salat tidak menentukannya dalam bagian salat tertentu. Sedangkan dalam pandangan Muhtar, aspek al-Haqq dalam sembahyang termanifestasi dalam salat subuh, maghrib dan zuhur; dan aspek al-khalq termanifestasi dalam salat `aşar dan `isya. Dan ia menganggap perbedaan rakaat dalam salat lima waktu ada kaitannya dengan proses terbentuknya insân kâmil.
Proses terbentuknya insân kâmil dalam naskah Muhtar tidak mengikuti Ibn al-`Arabi yang hanya mengenal tiga martabat: ahadiyah, wâhidiyah dan syuhûdî. Sebagai perbandingan terlebih dahulu akan kami kemukakan tiga martabat tajalli menurut Ibn al-`Arabi. Pertama, martabat ahadiyah, dalam martabat ini, yang disebut juga martabat żâtiyah, wujud Allah merupakan zat yang mutlak lagi mujarrad, tidak bernama dan tidak bersifat. Karena itu, ia tidak dipahami atau dikhayalkan; merupakan Yang Esa (the One) dalam filsafat Neo-Platonisme. Dari segi ini, zat yang mutlak ini tidak dapat dinamai Tuhan. Oleh karena itu Ibn al-`Arabî menolak pendapat sementara failasuf dan juga al-Gazâlî yang mengatakan bahwa Tuhan dapat dikenal tanpa melalui alam ini. “Memang dapat dikenal zat yang kadim lagi azali, tetapi bukan sebagai Tuhan (ilâh), sehingga diketahui (lebih dulu) makhluk (ma’lûh).”
Kedua, martabat wâhidiyah. Dalam martabat ini, yang juga disebut Martabat tajalli żat atau faid aqdas (limpahan yang terkudus), zat yang mujarrad itu bertajalli melalui sifat dan asma. Dengan tajalli ini, zat tersebut dinamakan Allah, Pengumpul atau Pengikat sifat-sifat dan nama-nama yang Maha sempurna (al-asmâ’ al-Husnâ). Akan tetapi sifat dan asma tersebut pada suatu sisi tidak berlainan (identik) dengan zat Allah (‘ain żât), seperti yang dikatakan oleh Mu’tazilah, dan pada sisi lain merupakan hakikat alam empiris ini (a`yân śâbitah). Proses ini disebut juga ta’ayun awwal (kenyataan pertama), di mana dzat yang mujarrad itu bertajalli untuk pertama kali dalam ‘citra’ (şuwar) asma dan sifat. Namun, itu belum memiliki wujud karena wujud yang riil hanyalah Tuhan semata. Inilah yang dimaksud dalam suatu Hadis “kâna Allâh wa lam yakun ma’ahu syai’un gairuh, “yang artinya: Allah telah ada dan tidak ada suatu jua pun bersama-Nya.” Sebab hal ini lebih merupakan proses yang terjadi dalam diri zat.
Ketiga, martabat tajalli syuhûdî. Dalam martabat ini, juga disebut faid muqaddas (limpahan kudus) dan ta`ayyun śânî (kenyataan kedua), Allah bertajalli melalui asma dan sifat-Nya dalam kenyataan empiris. Dengan perkataan lain, melaui firman: Kun, maka a’yan śâbitah yang dulunya merupakan wujud potensial dalam zat Illahi, kini menjadi kenyataan aktual berbagai citra alam empiris. Alam ini yang merupakan kumpulan fenomena empiris adalah wadah (mazhar) tajalli Ilahi dalam berbagai wujud atau bentuk yang tidak ada akhirnya. Serupa halnya dengan konsep ‘arad dalam kalangan Mutakallim, yang selalu timbul dan menghilang akhirnya pada jauhar yang menopangnya. Jadi, alam ini adalah kumpulan daripada sifat-sifat Allah dan eksistensi dzat-Nya pada alam ini adalah terbatas lagi nisbi sesuai dengan sifat fenomena itu sendiri yang dibatasi oleh patokan nisbah dan hubungan. Dengan demikian semua kenyataan empiris ini adalah sifat-sifat Allah, seperti yang dikatakan sendiri oleh Ibn Arabi: “Sifat apa pun yang kita berikan kepada-Nya, maka kita (makhluk) adalah sifat tersebut. Wujud kita adalah wujud-Nya, dan kita berhajat kepada-Nya dari segi wujud kita sedangkan Dia berhajat kepada kita dari segi nyata-Nya bagi diri-Nya”(Daudy, 1983: 74-76).
Sedangkan Muhtar dalam naskahnya mengemukakan martabat tajalli tersebut dalam tujuh martabat, yakni ahadiyah, wahdah, wahîdiyah, alam arwâh, alam miśal, alam ajsâm dan alam insân kâmil. Tingkatan martabat Muhtar ini cenderung mengikuti ajaran martabat tujuh yang bersumber dari kitab al-Tuhfah al-Mursalah ilâ Rûh al-Nabî karya Muhammad ibn Fadl Allâh al-Burhanuri (w. 1620 M)(Johns, 1965). Menurut Simuh (1988: 307), ajaran martabat tujuh ini berdasarkan atas paham pantheisme-monisme ( wahdah al-wujûd ) Ibn al-`Arabî (w. 1240 M).
Secara singkat ajaran martabat tujuh sebagai berikut. Segala yang adadalam alam semesta, termasuk manusia, adalah aspek lahir atau manifestasi (tajalli) Tuhan. Tuhan sebagai zat mutlak tidak dapat dikenal baik oleh akal, indera, dan khayal. Dia baru dapat dikenal sesudah bertajalli (menampakkan diri keluar) sebanyak tujuh martabat. Tiga tajalli pertama, adalah martabat ahadiyah (kesatuan mutlak), martabat wahdah (kesatuan yang mengandung kejamakan secara ijmal keseluruhan), dan martabat wahidiyah (kesatuan kejamakan secara terperinci batas-batas setiap sesuatu). Ketiga martabat ini disebut martabat-martabat “keesaan” Allah yang tersembunyi dari pengetahuan manusia. Inilah yang dikatakan sebagai Wujûd Allâh.(Santrie, 1987: 114). Menurut Muhtar ketiga martabat ini disimbolisasikan dalam tiga rakaat salat magrib (Muhtar: 92).
Empat martabat lainnya termasuk ke dalam apa yang disebut Muhtar sebagai “bayang-bayang kehambaan” (muhdaś) , yaitu alam arwâh, alam miśal, alam ajsâm dan alam insan (alam insân kâmil)(Muhtar: 92). Masing-masing ketujuh martabat tersebut diuraikan oleh Muhtar sebagai berikut.
Martabat ahadiyah adalah martabat pertama Allah yang mutlak sendiri, hanya zat semata, belum disertai sifat. Tidak dapat dikenal atau dijangkau oleh siapa pun sehingga disebut lâ ta`ayun. Menurut Muhtar, martabat ahadiyah ini merupakan martabat hakikat Allah(Muhtar: 90). Martabat kedua adalah wahdah. Martabat ini disebut juga Haqîqat Muhammadiyah atau Nûr Muhammad (the Reality of Muhammad), yaitu ta`ayun awwal (permulaan kenyataan), yaitu kesatuan yang mengandung ketajaman di mana belum ada pemisahan satu terhadap lainnya. Belum ada perbedaan antara ilmu, alim dan maklum. Atau ibarat biji belum ada pemisah antara akar, batang dan daun(Simuh, 1996: 216). Dalam naskah Muhtar ditegaskan bahwa martabat wahdah disebut ta`ayun awwal, karena dalam martabat ini “esa suatu zat” adalah kelakuan zat Hakikat Muhammad.” Mengenai hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Muhtar sebagai berikut:
“Adapun wahdah itu martabat ta`ayun awwal zat itu martabat Hakikat Muhammad SAW. Yaitu rajin ia bersama Haq Ta`ala dan rajin ia daripada qudrat dan ia ada daripada segala mawjud zat sebab tiada śabit daripada sekalian itulah”(Muhtar: 90).
(“Adapun wahdah itu disebut juga ta’ayun awwal atau Hakikat Muhammad SAW. Yaitu, keadaan di mana ia [Muhammad] bersama Tuhan dan [karenanya] Muhammad dipinjami qudrat-Nya. Oleh sebab itu segala yang ada di alam ini bersumber dari Muhammad.”).
Martabat ketiga adalah wahidiyah. Martabat ini disebut juga martabat hakikat manusia. Wahidiyah adalah kesatuan yang mengandung kejamakan, dan merupakan ta`ayun śânî (kenyataan yang kedua) di mana setiap bagian telah tampak terpisah-pisah secara jelas. Realitas Muhammad yang terjadi pada martabat wahdah akhirnya menjadi figur Adam dalam martabat wahidiyah.(Muhtar: 90-91).15) Lebih lanjut Muhtar menjelaskan:
“Adapun wahidiyah itu artinya esa yaitu ta`ayun śânî namanya. Yaitu Hakikat Insan namanya, ta`ayun hakikat Adam a.s. dan a`yan śabitah, artinya nyata yang ditegah dan yaitu rajin bersama pada mengetahui Haq Ta`ala akan zat-Nya dan akan segala sifat-Nya dan segala hakikat-Nya segala yang mawjud atas qadim.” (Muhtar: 90-91).
(“Adapun wahidiyah itu artinya esa, sehingga disebut juga ta`yun śânî. Atau disebut juga Hakikat Insan, yang tererleksi pada figur Adam a.s. dan a`yan śabitah.[esensi yang tumbuh]. Maksudnya, di sini nyata adanya batas antara Tuhan dengan segala zat dan sifat-Nya dengan segala yang mawjud [di dunia ini] karena Ia qadim.”).
Martabat-martabat selanjutnya adalah alam arwâh, yaitu alam segala nyawa, yang masih dalam bentuk segala kesatuan (Muhtar: 91). Sedangkan alam miśal adalah kesatuan dalam kejamakan secara ijmal dan alam ajsâm(jisim), yaiutu alam segala tubuh, kesatuan dalam kejamakan secara terperinci dan batas-batasnya. Ketiga martabat ketuhanan (ahadiyah, wahdah dan wahidiyah) dan ketiga martabat kehambaan (alam arwâh, alam miśal, alam ajsâm), terkumpul dalam martabat yang ketujuh, yakni alam insan.
Bagian lain dari naskahnya, Muhtar juga mengemukakan asal-usul jasmani anak cucu Adam yang terdiri dari empat unsur madi, wadi, mani dan manikam. Empat unsur tersebut disimbolisasikan dalam empat rakaat salat Isya. Menurut Muhtar, empat unsur ini berasal dari keterangan Rasulullah sendiri ketika menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Ali ibn Abu Talib.
“Maka sembah Ali, “Ya Rasulullah apa sebab waktu [salat] Isya itu maka empat rakaat?” Rasulullah menjawab, “[Karena] tajalli anak cucu Adam itu empat perkara madi, wadi, mani dan manikam”(Muhtar: 95).16)119)
Empat unsur di atas masing-masing mewakili bagian tubuh dalam diri manusia. Mada menjadi tulang, madi (wadi) menjadi daging, mani menjadi ruh dan manikam menjadi buih. Di bagian lain dijelaskan oleh Muhtar bahwa unsur-unsur tersebut merupakan simbolisasi untuk api, air, tanah, angin dan nyawa (Muhtar: 84). []
Daftar Pustaka
al- Rûmî, Jalâl al-Dîn, 1966, Maśnawi, terjemah dan komentar dari bahasa Persia oleh Dr. Muhammad Abd al-Salâm, Beirut: al-Maktabah al-Aşriyah.
al-Banjari, Syekh Muhammad Nafis bin Idris , tth., al-Durr al-Nafîs, Singapore: al-Haramain.
al-Ghazâlî, al-Jawâhir al-Gawah, 1934, Kimiya al-Sa`adah, Kairo: t.p.
al-Ghazâlî, 1986, Misykâh al-Anwâr wa Mişfâh al-Asrâr, diberi catatan dan komentar oleh al-Syaikh `Abd al-`Azîz al-Dîn al-Sairawân, Beirut: `Âlam al-Kutub.
Ali, Yunasril, 1997, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn`Arabi oleh al-Jîlî, Jakarta: Paramadina.
al-Kurdî, Syaikh Muhammad Amîn, 1995, Tanwîr al-Qulûb fî Mu`âmalah `Alâm al-Ghuyûb, Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah.
al-Qusyairî, Abû al-Qâsim `Abd al-Karîm, 1959, al-Risâlah al-Qusyairiyyah, Kairo:tp.
al-Raniri, Nur al-Dîn, 1961, Asrâr al-Insân fî Ma`rifah al-Rûh wa al-Rahmân, diedit oleh Tudjimah, Djakarta: PT. Penerbitan Universitas.
Chittick, William C., 1989, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi’s Metaphysics of Imagination, (Albany: State University of New York Press.
Daudy, Ahmad, 1983, Allah dan Manusia Dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin ar-Raniry, Jakarta: Rajawali Pers.
Dep. Agama RI, 1989, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra.
Fathurahman, Oman, 1999, Tanbîh al-Mâsyî: Menyoal Wahdatul Wujud, Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17, Bandung: Mizan.
Glasse, Cyril, 1996, Ensiklopedi Islam Ringkas, Jakarta: Rajawali Pers.
Haderani HN., tth, Ma`rifat, Musyahadah, Mukasyafah, Mahabbah, Surabaya: CV. Amin.
Harun Nasution, Harun, 1992, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Hidayat, Komaruddin, 1998, Tragedi Raja Midas: Moralitas Agama dan Krisis Modernisme, Jakarta: Paramadina.
Ibn al-`Arabî, tth., al-Futûhât al-Makkîyah, Jil. I, Beirut: Dâr al-Fikr.
Ibn al-`Arabî, tth., Fuşûş al-Hikam, Beirut: Dâr al-Fikr.
Johns, A.H., 1965, The Gift Addressed to the Spirit of the Prophet, Canberra: The Australian National University.
Khan, Khan Sahib Khaja, 1978, Studies in Tasawuf, Delhi: Idarah-i Adabibiyat.
Lubis, Nabilah, 1996, Syekh Yusuf al-Taj al-Makasari: Menyingkap Intisari Segala Rahasia, Bandung: Mizan.
Moinuddin, Shaykh Ghulam, 1985, The Book of Sufi Healing, New York: Inner Traditions International, Ltd.
Nasr, Seyyed Hosein, 1994, Spiritualitas dan Seni Islam, terj. Drs. Sutejo, Bandung: Mizan.
Nasr, Seyyed Hossein, 1972, Sufi Essays, London: George Allen and Unwin Ltd.
Nicholson, Reynold A. , 1966, The Mystic of Islam, London: tp.
Nurbakhsy, Javad, 2000, Psikologi Sufi, terj. Arief Rakhmat, Yogyakarta: Fajar Pustaka.
Nurbini, 1999, Ajaran Ma`rifatullah Dalam Manuskrip Panglima Utar(Analisis Diskriptif atas Manuskrip Panglima Utar), Semarang: Pusat Penelitian IAIN Walisongo.
Qîşarî, Muhammad Dâwûd , 1375 H, Syarh Fuşûş al-Hikam, Teheran.
Santrie, Aliefya M., 1987, “Martabat (Alam) Tujuh”: Suatu Naskah Mistik Islam dari Desa Karang, Pamijahan” dalam Ahmad Rifa`i Hasan (peny.), Warisan Intelektual Islam Indonesia: Telaah atas Karya-karya Klasik, Bandung: Mizan.
Simuh, 1988, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi terhadap Serat Wirid Hidayat Jati, Jakarta: UI Press.
Simuh, 1996, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, Yogyakarta: Bentang.
Tarif, al-Haj Sulaiman Tarif bin al-Haj, 1994, Ma`rifatullah, naskah diperoleh dari Muchyar yang memperolehnya dari Banjarmasin pada 4 Agustus 1994.
.jpg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar