Selasa, 12 Agustus 2008

Jadilah seolah-olah asing

JADILAH ENGKAU SEOLAH-OLAH GHARÎB (ASING)
Seorang sahabat Nabi Saw, Ibnu Umar menuturkan: suatu ketika Nabi memegang pundaknya dan bersabda:"Jadilah kamu di dunia seolah-olah asing atau orang yang melewati jalan; Ibn Umar berkata, "Bila kamu telah masuk di waktu sore (maka gunakanlah dengan baik) dan jangan menantu waktu pagi. Bila kamu masuk di waktu pagi maka janganlah menanti waktu sore. Dan ambillah kesempatan di waktu sehatmu untuk bekal di waktu sakitmu dan dari hidupmu untuk matimu." (HR. Bukhari).
Mengapa kita disuruh seolah gharîb (orang asing) atau `âbir sabîl (orang yang melewati jalan)? Apakah ini berarti kita tidak perlu bersibuk ria di dunia ini? Tentu saja bukan itu yang dikehendaki oleh Nabi. Yang dikehendaki beliau adalah agar kita tidak dimabuk kepayang oleh duniawi, yang seringkali menyeret orang melupakan akhirat. Padahal, kehidupan yang sejati itu adalah kehidupan di akhirat. Kehidupan yang digambarkan oleh Allah sendiri sebagai sebagai "lebih baik dan lebih kekal": (QS. Al-A`la [87]: 17); juga  "lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya": (QS. Al-Isra [17]: 21). Karena itu, Allah pun—sebagai wujud kasih sayang-Nya—menegaskan lagi: Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit" (QS. Al-Taubah [9]: 38). Nah, jika tidak juga peduli dengan seruan ini, Allah akan bertanya:"Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat?" (QS. Al-Taubah [9]: 38).
Tentu saja, ini tidak berarti kita menafikan sedemikian rupa kehidupan dunia ini dan berasyik masyuk dengan kehidupan akhirat. Yang benar adalah keseimbangan. Kita sibuk dengan urusan duniawi semata-mata untuk kepentingan akhirat kita, sebagaimana firman Allah:"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (QS. Al-Qashash [28]: 77).

Kita memanfaatkan umur yang ada ini untuk mengumpulkan bekal perjalanan panjang: akhirat. Meminjam kata-kata Dr. Mahmud bin Al-Syarif: "Seorang mukmin sejati akan bersungguh-sungguh dalam beribadah dan bekerja demi kebahagiaan hidupnya di dunia maupun di akhirat. Dia menanam amal kebaikan semasa hidupnya agar kelak pasca kematiannya dia dapat menuai hasil jerih payahnya. Dia hidup tenteram dan damai sebab tidak dihantui oleh rasa takut akan kematian, bahkan dia siap menantikan datangnya kematian kapan pun dan di mana pun." 
Teladan sejati kita, Muhammad Saw. menghabiskan sepanjang hayatnya untuk kita, para pengikutnya. Beliau tidak mau menyibukkan diri dengan kasur empuk untuk tidurnya. Coba lihat, apa komentar beliau ketika ada sahabatnya yang menawarkan tikar yang lebih baik untuk tidurnya. 

Rasulullah Saw tidur di atas tikar, lalu bangun, dan sungguh lambungnya berbekas (dengan gambar tikar itu). Kami berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimana bila kami buatkan tikar untukmu?" Rasul menjawab, "Untuk apa aku memedulikan dunia. Aku di dunia hanyalah seperti pengendara unta yang sedang bernaung di bawah pohon kemudian berangkat meninggalkannya" (HR. Turmidzi). 
Nabi lebih menyibukkan dirinya mementingkan nasib umat manusia ketimbang tidur di kasur empuk. Bahkan, beliau sebenarnya tidak pernah tidur dalam pengertian kita, karena sibuk memikirkan keselamatan kita tidak saja di dunia ini tetapi juga di akhirat nanti. Untuk alasan inilah, ketika malaikat Jibril menawarkan kepadanya untuk menghancurkan orang-orang yang memusuhinya, beliau menolak tegas tawaran itu.
Baginya, sebesar apa pun permusuhan dan kebencian yang diperlihatkan oleh musuh-musuhnya tidak akan membangkitkan amarahnya. Malahan, beliau balas permusuhan itu dengan persahabatan. Kebencian dengan kasih sayang. Inilah yang seharusnya menjadi prinsip hidup kita di dunia ini. [] 


















Tidak ada komentar: