Menyingkap Rahasia Jantung Al-Quran
"Surah Yâ Sîn"
Oleh:
Sulaiman Al-Kumayi, MA.
Dosen dan Skretaris Jurusan Tasawuf dan Psikoterapi Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo
Kandidat Doktor Islamic Studies Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang
A. Pendahuluan
Bagi kaum Muslimin surah Yâ Sîn mendapatkan tempat tersendiri bagi mereka dibandingkan dengan surah-surah lainnya. Ini dibuktikan dari adanya perkumpulan-perkumpulan, seperti Jamaah Yasinan, yang biasanya mengadakan pembacaan surah ini pada setiap malam Jumat. Untuk berbagai keperluan, seringkali seorang anggota jamaah meminta kepada para jemaah untuk membacakan surah Ya Sin sebanyak 41 kali. Mereka yakin dengan pembacaan 41 kali tersebut permohonan-permohonan mereka kepada Allah pasti dikabulkan. Mungkin ada sekelompok umat Islam lain yang tidak setuju dengan ini. Tetapi, pilihan mereka terhadap Ya Sin yang kemudian menumbuhkan kecintaan yang luar biasa kepada surah ini tentunya suatu sikap yang harus dihormati. Karena dalam hadis-hadis kita temukan Allah memang memberikan keistimewaan-keistimewaan tersendiri untuk beberapa surah.
Kitab Riyâdh Al-Shâlihîn menyebutkan anjuran Nabi Saw untuk membaca surat-surat dan ayat-ayat tertentu. Sebagai contoh, membaca surah Al-Ikhlas setara dengan sepertiga Al-Quran (10 juz). Dari Abu Said Al-Khudri ra bahwasanya Rasulullah Saw menceritakan tentang keutamaan Qul Huwallâhu Ahad [
Di tempat lain disebutkan, dari Anas ra bahwasanya ada seseorang berkata, "Wahai Rasulullah sesungguhnya saya suka pada
Mungkin karena keistimewaan
B. Fadhilah dan Khasiat
Kembali ke Surah Yâ Sîn. Mungkin ada yang bertanya: mengapa ada sekelompok umat Islam sangat mengistimewakan Surah Yâ Sîn sehingga mengalahkan surah-surah yang lain?
Tentu saja tidak ada niat mereka untuk mengistimewakan Surah Yâ Sîn dan mengabaikan yang lain.
Dalam Tarjumân al-Mustafîd, sebuah karya tafsir al-Qur’an pertama di Indonesia berbahasa Melayu (Abad XVII), ditulis oleh `Abd al-Raûf ibn `Alî al-Jâwî al-Fanshûrî al-Sinkîlî (1615-1693), pada bagian pengantar penulis sekitar Sûrah Yâ Sîn sebagai berikut:
“Tersebut di dalam Baidhâwî, [sebuah] hadis [menyebutkan bahwa] bagi tiap-tiap sesuatu ada hatinya dan hati al-Qur’an itu Yâ Sîn. Barang di mana Muslim dibaca di sisinya Yâ Sîn, tatkala turun kepadanya Malakal Maut niscaya turun bagi tiap-tiap huruf daripadanya sepuluh malaikat, berdiri mereka itu di hadapannya bersaf-saf, menyembahkyangkan mereka atasnya dan minta ampun mereka itu baginya. Dan hadir mereka itu pada ketika memandikan dia dan mengiringkan mereka itu akan jenazahnya, dan menyembahyangkan mereka itu atasnya, dan hadir mereka itu menemaninya. Dan barang di mana Muslim membaca Yâ Sîn, padahal ia di dalam sakaratul maut tiada diambil oleh Malakal Maut nyawanya hingga datang kepadanya [Malaikat] Ridwan membawa minuman dari dalam surga, maka diminumnya akan dia padahal ia hamparannya kemudian, maka diambil Malakal Maut nyawanya, padahalnya puas dahaga, dan tiada ia berkehendak kepada haudh al-Anbiyâ [kolam para Nabi – pen.] hingga masuk ia ke dalam surga. Padahal ia puas dahaga. Syahdan bahwasanya tersebut di dalam [Tafsir] Khâzin…”barang siapa mengaji Yâ Sîn, niscaya disuratkan Allah Ta`ala baginya dengan mengaji dia itu seperti mengaji Qur’an sepuluh kali.”[4]
Di dalam kitabnya yang lain, Tanbîh al-Mâsyî al-Manshûb ilâ Tharîq al-Qusyasyi (Pedoman bagi orang yang menempuh Tarikat al-Qusyasyi), Abd al-Raûf menambahkan sebagai berikut:
“Mengenai Sûrah Yâ Sîn, disebutkan dalam hadis marfu` dari Anas yang diriwayatkan oleh at-Tirmizi dan lainnya, bahwa Nabi bersabda, “Barang siapa membaca Sûrah Yâ Sîn, Allah mencatat baginya pahala membaca al-Qur’an sepuluh kali.” Dan dalam hadis marfu`[yang] lain dari Ma’qal ibn Yasar., yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dan lainnya, Nabi bersabda, “Sûrah Yâ Sîn adalah inti al-Qur’an. Tidak ada seorangpun yang membacanya karena mengharap rida Allah dan hari akhirat, kecuali ia diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.” Dan dalam kitab Îqâzh al-Wusnân li qirâ’ah al-Qur’ân diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra., Nabi SAW bersabda, “Barang siapa membaca Surah Yâ Sîn malam hari, niscaya diampuni pada pagi hari. “Dan dari Abu Hurairah ra. Nabi bersabda, “Barang siapa membaca Surah Yâ Sîn setiap malam, niscaya diampuni dosa-dosanya.”[5]
Syaikh `Abd al-Shamad al-Palimbani dalam kitabnya Siyar al-Sâlikîn fî Tharîqat al-Sâdât al-Shûffiyyah menerangkan sebagai berikut:
(Ketahui olehmu) bahwasanya Surah Yâ Sîn itu amat besar qadarnya[ketentuan pahalanya] dan nyata berkatnya dan masyhur fadilatnya. [Sebuah riwayat] daripada Nabi SAW. bersabda bagi Sayyidina Ali r.a.:”lazimkanlah olehmu dengan membaca Surah Yâ Sîn, maka bahwasanya di dalamnya dua puluh berkat. Tiada membaca akan dia oleh orang yang lapar melainkan dikenyangkan dia. Dan tiada yang bertelanjang melainkan dipakaikan dia. Dan tiada yang bujang melainkan berkahwin dia. Dan tiada yang takut melainkan diamankan dia, dan tiada yang sakit melainkan disembuhkan dia. Dan tiada membaca yang kena penjara melainkan dikeluarkan, dan tiada yang musafir melainkan ditolongkan atas safar[perjalanannya]. Dan tiada yang duka cita melainkan diringankan Allah daripadanya. Dan tiada membaca oleh orang yang hilang baginya sesuatu melainkan mendapat akan dia. (Dan barangsiapa) ada baginya hajat pada raja-raja atau pada orang besar-besar maka hendaklah membaca akan dia dua puluh
Dalam Majmû` Syarîf[7], sebuah kitab yang berisi kumpulan surah-surah tertentu dan berbagai macam doa, menyebutkan ada delapan fadhilah dan khasiat surah Yâ Sîn.
Pertama, jika surah Yâ Sîn dibacakan pada orang yang sedang sekarat akan mati, dapat mempermudah dan mempercepat keluarnya ruh. Rasulullah Saw bersabda, "Bacakanlah untuk orang (yang akan) mati surah Yâ Sîn." (HR Abu Dawud).
Kedua, dengan membaca surah Yâ Sîn Allah menetapkan pahala seperti membaca Al-Quran sepuluh kali. Nabi Saw bersabda, "Sesungguhnya setiap sesuatu itu ada jantungnya, sedangkan jantung Al-Quran adalah surah Yâ Sîn. Barangsiapa membaca surah Yâ Sîn, maka Allah menetapkan baginya seperti membaca Al-Quran sepuluh kali."
Ketiga, dapat memberi syafaat bagi pembacanya, memberi ampunan pendengarnya, mendapatkan kebaikan di dunia, hilang ketakutannya di hari kiamat, menolak kejahatan dan didatangkan segala hajatnya. Rasulullah Saw bersabda, "Bahwasanya di dalam Al-Quran itu ada satu surah yang dapat memberi syafaat kepada pembacanya dan memberi ampunan bagi pendengarnya. Ketahuilah, itulah surah Yâ Sîn, yang dalam Taurat dinamakan Al-Mu`ammah. Ditanyakan, "Ya Rasulullah, apakah Al-Mu`ammah itu" Beliau menjawab, "Yang menjadi penyebab bagi orang yang membaca dan mendengar mendapatkan kebaikan di dunia dan menghilangkan ketakutan di akhirat." Dan surah Yâ Sîn disebut juga Al-Dafi`ah dan Al-Qadhiyah. Ditanyakan oleh sahabat, "Ya Rasulullah, mengapa demikian?" Beliau menjawab, "Karena dapat menolak kejahatan dan dikabulkan segala hajatnya bagi orang yang membacanya."
Keempat, dapat meringankan siksa kubur. Rasulullah Saw bersabda, "Barangsiapa masuk ke pekuburan lalu membaca surah Yâ Sîn, maka Allah meringankan siksa ahli kubur pada hari itu, dan pembacanya memperoleh kebaikan sebanyak orang yang ada di dalamnya."
Kelima, jika dibaca pada malam Jumat maka akan mendapat ampunan. Rasulullah Saw bersabda, "Barangsiapa yang membaca surah Yâ Sîn pada malam Jumat, maka paginya mendapatkan ampunan."
Keenam, dengan membaca surah Yâ Sîn dapat memperoleh kemudahan. Disebutkan dalam hadis Al-Darimi dari Syahr bin Hausab, ia berkata bahwa Ibn Abbas berkata, "Barangsiapa membaca surah Yâ Sîn di waktu pagi, maka akan mendapatkan kemudahan di hari itu hingga sore. Dan siapa yang membacanya di permulaan malam, maka akan mendapat kemudahan pada malam itu sampai pagi."
Ketujuh, aurad surah Yâ Sîn untuk mendatangkan berbagai hajat. Dalam kitab Minhâj Al-Hanîf disebutkan, ada faidah atau manfaat yang besar sekali untuk mendatangkan berbagai hajat dengan aurad (mewiridkan) surah ini. Caranya dengan membaca surah Yâ Sîn tujuh (7) kali waktunya sesudah salat subuh. Aturannya sebagai berikut:
1) Lafaz Yâ Sîn dibaca tujuh (7) kali.
2) Jika sampai ayat
ذٰلِكَ تَقْدِيْرُ اْلعَزِيْزِ اْلعَلِيْمِ
dibaca empatbelas (14) kali.
3) Kalau sampai ayat
سَـلاَمٌ قَوْلاً مِّنْ رَبٍّ رَحَيْمٍ
dibaca tujuh (7) kali.
4) Dan ayat
اَوَلَيْسَ الَّذى....وَهُوَ اْلخَـلاَّقُ اْلعَلِيْمُ
Dibaca dua belas (12) kali.
Setelah selesai membaca surah Yâ Sîn dilanjutkan membaca surah Al-Fatihah satu (1) kali dan Basmalah satu (kali). Kemudian memohon kepada Allah Swt apa yang diinginkan. Insya Allah hajatnya cepat dikabulkan asalkan bukan untuk membahayakan orang lain.
Dari Abdullah bin Zubair, bahwa Nabi Saw bersabda, "Siapa yang menjadikan surah Yâ Sîn dipermulaan hajatnya, maka hajatnya dikabulkan."
Kedelapan, jika surah Yâ Sîn dibaca di tengah malam sebanyak 4 kali atau 35 kali secara rutin, maka khasiatnya dapat memperluas rezeki dan memperlancar datangnya rezeki. Begitu jika dibaca 41 kali, maka hajatnya dikabulkan oleh Allah.
C. Berdasarkan Pengalaman
Secara empirik, surah Yâ Sîn mempunyai banyak keistimewaan. Dalam Tafsîr Al-Azhar, yang dapat digolongkan sebagai representasi tafsir Al-Quran modern, karya Prof. Dr. Hamka mengemukakan pengalaman empiriknya bersama Surah Yâ Sîn. Berikut penulis kutipkan pengalaman Hamka:
“….Bila kita mengerti isi kandungannya, tahu akan maknanya akan besarlah pengaruh atas hati kita. Bersabda Nabi SAW. : “Diriwayatkan al-Imâm Ahmad, Abu Dawud dan al-Nasâ’i , diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari hadis Rasulullah SAW. bersabda, “Bacakanlah atas mayat kalian surah Yâ Sîn.”[8]
Dengan mengutip keterangan Imâm Ahmad, Hamka menambahkan bahwa jika surah ini dibacakan di dekat orang dalam keadaan sakaratul maut (menjelang detik-detik kematian), Allah akan meringankan baginya dan memudahkan rohnya ke luar dari jasad.
Penjelasan Hamka ini diperkuat oleh pengalaman pribadinya sendiri ketika ia berkunjung ke rumah sakit PELNI. Di rumah sakit yang terletak di Jati Pertamburan Jakarta, pada hari Jumat, 6 Dzû al-Qa`dah 1396H atau 29 Oktober 1976, pukul 05.00 sore, Hamka membuktikan sendiri “kehebatan” surah ini. Menurutnya, si sakit saat itu sudah berada dalam kondisi yang sangat kritis dan tidak mungkin diharapkan kesembuhannya lagi. Keluarga si sakit sudah merelakan kalau si sakit tersebut dipanggil Allah. Hanya saja yang sangat memprihatinkan bahwa si sakit tidak mampu mengucapkan kalimah syahadat (kalimah thayyibah). Mulutnya terkunci saat itu. Menyaksikan keadaan seperti ini, Hamka meminta kepada keluarga si sakit untuk tenang dan tidak boleh menangis.
Hamka pun membacakan sûrah Yâ Sîn dengan suara yang tenang, penuh khusyu` dan haru dan mengharap serta memohon kepada Tuhan. Jika memang telah waktunya agar dia jangan dibiarkan lama menderita. Sejak mulai ayat pertama Yâ Sîn dibaca, mulailah si sakit tidak menghempas-hempas lagi, kian lama kian tenang dan sesampai saya membaca pada ayat 77(awalam yara al-insânu annâ khalaqnâhu min nuthfatin fa idzâ huwa khashîmun mubîn) sampai di ujung ayat itu saya membaca dan sampai di situ pulalah nafasnya yang terakhir. Sesudah itu bergerak sekali saja dagunya, dan dia pun pergilah buat selama-lamanya. Maka kedengaranlah pekik ratap, tangis menggarung-garung dari gadis-gadis dan keluarga yang tidak terkendalikan dan bacaan saya teruskan sampai ke akhir sûrah Yâ Sîn.[9]
Pengalaman penulis sama dengan pengalaman Prof. Dr. Hamka di atas. Pada bulan Mei 1992 (waktu kunjungan ke
Pada tahun 2002, penulis diminta oleh seorang ibu ke sebuah rumah sakit di
Saya katakan kepada anak-anaknya, bahwa tujuan utama pembacaan surah Yâ Sîn hanya dua kemungkinan: sembuh atau meninggal. Kalau merujuk laporan dokter, maka kemungkinan meninggalnya lebih besar. Maka, tugas saya membacakan surah ini adalah untuk memberikan rasa damai dan tenteram kepada si ibu sehingga ia dapat mengakhiri hidupnya dengan mengucapkan kalimat thayyibah.
Subhanallah. Setelah saya membacakan surah Yâ Sîn, si ibu tadi tampak menggerakkan badannya dan bercakap beberapa saat kepada saya. Kemudian saya memberikan bimbingan keagamaan tentang makna hidup dan mati. Yang paling penting adalah tentang pentingnya mempersiapkan diri menghadapi kematian.
Si ibu tadi mampu bertahan dua hari dari prediksi dokter. Menurut keterangan menantunya, ibunya dapat melaksanakan salat termasuk salat malam selama dua hari tersebut. Dan yang paling membahagikan anak-anaknya adalah bahwa ibu mereka bisa mengucapkan kalimah thayyibah di akhir hayatnya dengan wajah tersenyum penuh kedamaian. Subhanallah.
Keterangan di atas, menurut hemat penulis, sangat baik kita kerjakan ketika melihat orang yang menderita sakit keras apalagi sudah sangat sekarat dan tidak bisa lagi diharapkan kesembuhannya. Karena seseorang yang pada waktu sakaratul maut tidak bisa mengucapkan kalimah thayyibah, maka orang tersebut mati dalam kategori su’u al-khâtimah, akhir yang merugi(sia-sia). Dalam Riyâdh al-Shâlihîn disebutkan dua buah hadis sebagai berikut:
Dari Mu`âdz r.a. berkata , Rasulullah SAW. bersabda, “Barangsiapa yang akhir perkataannya: lâ ilâha illâ Allâh(tidak ada Tuhan selain Allah), maka ia masuk surga(HR. Abu Dawud dan al-Hakim, dan mengatakan isnâd hadis ini sahih).
Dari Sa`îd al-Khudrî r.a. berkata, Rasulullah SAW. bersabda, “Bimbinglah orang yang hendak meninggal dunia dengan ucapan lâ ilâha illâ Allâh(HR. Muslim).
Syetan Hadir Pada Saat Sekarat
Menurut penulis, sangat baik sekali jika ada keluarga kita yang sedang sekarat kita bacakan Yâ Sîn di sisinya, karena pada saat itu ia sangat membutuhkan bantuan kita dan bantuan yang paling tepat adalah membacakan surah ini di sisinya. Ini perlu kita lakukan, karena saat kematian menjelang itu merupakan taruhan baginya di akhirat kelak. Sementara itu, syetan pada saat maut akan menjemput seorang anak Adam sangat antusias. Karena pada saat itu syetan tahu manusia benar-benar dalam keadaan yang sangat lemah dan tidak berdaya.
Dalam Shahîh Muslim disebutkan dari Jâbir bin Abdullâh bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Sungguh syetan mendatangi salah seorang kalian dalam setiap situasi dan kondisi bahkan pada saat makan. Dan jika kunyahan makanan salah seorang kalian jatuh, hendaklah ia membersihkan bagian yang kotor lalu memakannya, dan tidak membiarkannya dimakan syetan. Jika ia telah selesai makan, hendaklah ia menjilat jari-jarinya, karena ia tdak tahu di makanan yang mana terdapat keberkahan.”
Dr. `Umar Sulaiman al-Asyqar telah menghimpun pendapat para ulama mengenai masalah ini. Mereka sepakat bahwa syetan mendatangi manusia pada saat-saat genting itu (sakaratul maut) dengan menyamar sebagai ayah, ibu, atau orang lain yang dikenal sambil memberi nasehat dan mengajak untuk masuk agama Yahudi, Nasrani (Kristen) atau agama lain yang bertentangan dengan Islam. Pada saat itulah Allah menggelincirkan orang-orang yang telah ditakdirkan sengsara. Inilah makna ayat, “(Mereka berdoa), ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, karena sesungguhnya Engkau Maha Pemberi (karunia)” (QS. Ali Imran [3]: 8).[10]
Abdullah, putra Imam Ahmad bin Hanbâl, berkisah, “Aku menyaksikan wafatnya ayahku, dan di tanganku ada kain lap untuk mengusap jenggotnya yang lebat. Pada saat itu beliau pingsan kemudian sadar, lalu beliau berkata sambil menunjuk dengan tangannya, ‘Tidak, enyahlah! Tidak, enyahlah!’ Ia melakukan hal itu berulang-ulang. Lalu aku bertanya kepadanya, ‘Hai ayahku, apa yang engkau lihat?’ Ia menjawab, ‘Syetan berdiri di dekat terompahku sambil menggigit ujung jari, dan berkata “Hai Ahmad, ikutilah bujuk rayuku!” Aku pun berkata, “Tidak, enyahlah! Tidak, enyahlah, sampai aku mati pun!”[11]
Al-Qurthubî berkata: Aku mendengar guru kami, Imam Abû al-Abbâs Ahmad ibn Umar al-Qurthubî, berkata, “Aku menyaksikan ketika saudaraku, Syekh Abû Ja`far Ahmad ibn Muhammad al-Qurthubî, sedang sekarat di Cordova. Dikatakan kepadanya, ‘ucapkanlah lâ ilâha illâ Allâh.’Namun, jawaban yang keluar dari mulutnya, ‘Tidak! Tidak!’ Saat ia siuman, kami menceritakan hal itu kepadanya. Ia pun bercerita, ‘Datang dua syetan di sebelah kanan dan kiriku. Salah satunya berkata, “Matilah dalam keadaan beragama Yahudi, karena Yahudi adalah agama terbaik.” Yang satunya berkata, “Matilah dalam keadaan Nasrani (Kristen), karena Nasrani adalah agama terbaik.” Aku pun menjawab, “Tidak! Tidak!”
Menurut Ibn Taimiyah, kejadian seperti ini tidak mesti berlaku sama bagi setiap orang. Bahkan pada sebagian orang, ditawarkan lebih dari dua agama sebelum matinya. Sedangkan sebagian lagi malah tidak ditawarkan. Ini semua termasuk fitnah kehidupan dan fitnah kematian yang kita dianjurkan untuk memohon perlindungan dari hal itu dalam salat. Ibn Taimiyah menyebutkan bahwa syetan sering menggoda manusia pada saat sekarat, karena saat itu adalah waktu hajat. Beliau mengutip hadis Nabi, “Amal itu tergantung pada pengujungnya. Seorang hamba beramal dengan amalan ahli surga, namun ketika jarak antara dia dan surga tinggal sehasta, takdir mendahuluinya, sehingga ia beramal dengan amalan ahli neraka, maka masuk nerakalah ia. Seorang hamba beramal dengan amalan ahli neraka, namun ketika jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta, takdir mendahuluinya, sehingga ia beramal dengan amalan surga, maka masuk surgala ia.” Karena itu, tegas Ibn Taimiyah, syetan itu paling keras upayanya dalam menggoda anak Adam adalah saat sekarat. Ia berkata kepada kawan-kawannya, “Perhatikan dia, sebab bila ia luput, maka selamanya kalian tidak dapat mengambil keuntungan darinya.”[12]
D. Mengandung Hado
Menurut Jalaluddin Rakhmat, keniscayaa Al-Quran mengandung makna lahiriah dan batiniah disebutkan dalam hadis-hadis yang diriwayatkan oleh semua mazhab dalam Islam.[13]
Jabir bin Yazid al-Ja’fi berkunjung pada gurunya, Imâm Muhammad Al-Baqir a.s. Ia berkata, “Aku bertanya kepada Abu Ja`far a.s. sesuatu yang berkenaan dengan tafsir. Ia menjawab pertanyaanku. Kemudian, untuk kedua kalinya aku bertanya hal yang sama, dan ia memberikan jawaban yang lain. Aku berkata, ‘Semoga aku menjadi tebusanmu, engkau menjawabku untuk masalah ini dengan jawaban yang berbeda dengan jawaban sebelum ini.’ Imâm berkata, ‘Hai Jabir, sesungguhnya Al-Quran ini ada lahirnya. Setiap batin ada batinnya lagi. Al-Quran juga ada lahirnya. Setiap lahir ada lahirnya lagi.”[14]
Kandungan batiniah ini memang tidak semua orang mampu memahaminya. Salah satu kandungan batiniah Al-Quran adalah fakta bahwa setiap ayat Al-Quran yang kita baca menghasilkan energi atau gelombang Ilahi yang sulit dilihat yang mampu menggetarkan lingkungan sekitarnya. Dalam frekuensi tertentu gelombang tersebut mampu mempengaruhi obyek-obyek yang berada di dekatnya. Dr. Masaru Emoto[15] menyebut energi ini dengan Hado.
Menurut Masaru Emoto, semua benda yang ada di dunia ini memunyai gelombang atau Hado. Energi ini bisa berbentuk positif atau negatif, dan mudah dipindahkan dari satu benda ke benda lainnya. Emoto telah membuktikan hal ini secara ilmiah. Kata "Kamu Bodoh" mempunyai Hado tersendiri. Jika kata "Kamu Bodoh" ini diletakkan di dekat air, maka air akan menyerap Hado dari kata tersebut dan membentuk kristal tertentu. Di sisi lain, jika air diperlihatkan makna-makna positif, kristal yang indah akan terbentuk sebagai refleksi dari Hado yang positif. Hado, seperti yang dapat kita lihat, membentuk respon air terhadap informasi yang diterima.
Ditambahkan Masaru Emoto, setiap benda memunyai gelombang instrinsik tersendiri. Benda yang dimaksud di sini adalah semua materi atom yang membentuk molekul, dan partikel sub-atom yang membentuk atom. Dengan kata lain, setiap partikel sub-atom memunyai gelombang instrinsik tersendiri.
Pikiran dan tubuh kita dipengaruhi oleh gelombang intrinsik benda lain yang kita gunakan untuk membentuk resonansi. Dalam hubungan antar-manusia, kerapkali kita mengatakan bahwa kita tidak cocok dengan seseorang. Sebenarnya hal ini ada kaitannya dengan gelombang dan resonansi.
Merujuk pendapat Masaru Emoto ini, maka setiap kata atau kalimat surah Yâ Sîn yang dibaca menghasilkan Hado tersendiri. Hado Yâ Sîn ini diserap oleh tubuh dan pikiran kita, sehingga kalau sudah selesai membaca surah ini kita merasa damai dan tenang.
Pendapat Masaru Emoto ini diperkuat melalui penelitian Herbert Benson[16] dan Larry Dossey.[17] Penelitian ini melaporkan bahwa kata-kata zikir dapat menjadi salah satu frasa fokus (kata-kata yang menjadi titik perhatian) dalam proses penyembuhan diri dari kecemasan, ketakutan, bahkan dari keluhan fisik seperti sakit kepala, nyeri dada, dan hipertensi.
Ditambahkan Taufik Pasiak, frasa fokus itu bila dikombinasikan dengan respons relaksasi dapat menghambat kerja sistem saraf simpatis yang mengatur kecepatan denyut jantung, nadi, pernapasan, dan metabolisme. la berfungsi seperti obat-obat beta blacker (penghambat reseptor beta) dalam kerja saraf simpatis. Pada sisi lain, zikir dapat membuat alur gelombang otak berada pada gelombang alfa ketika seseorang menjadi sangat kreatif dan berdaya renung tinggi. Perubahan gelombang otak inilah yang terjadi ketika seseorang bertafakur.
Lebih dari sekadar menenangkan diri seperti halnya respons relaksasi, tafakur mampu membawa seseorang pada "diri sejati" (istilah abstrak ini menjadi tujuan semua agama dan filsafat timur yang begitu marak diikuti oleh orang-orang Barat). Jika respons relaksasi hanya sanggup membawa pada kondisi relaks secara fisik dan mental, tafakur dapat membawa jiwa yang tidak tenang, kehilangan makna (meaningless) dan rasa terasing (alienasi) menuju jiwa yang tenang. Respons relaksasi, besar kemungkinan, sulit menyembuhkan "penyakit makna" yang dialami oleh kebanyakan orang modern. Ini karena tafakur mampu memadukan komponen fisik, emosional, mental, dan spiritual manusia. Tafakur, misalnya, dapat memperbaiki akhlak seseorang. Dengan mengubah pikiran tentang diri, sedikit demi sedikit seseorang dapat mengubah akhlaknya.[18]
Membaca surah Yâ Sîn baik sendiri-sendiri maupun berjamaah pada hakikatnya untuk tujuan di atas. Pembaca surah Yâ Sîn akan berada dalam suasana yang rileks dan jauh dari stres, sehingga berpengaruh terhadap peningkatan efisiensi dan kinerja kerja. Rasulullah Saw bersabda bahwa orang yang membaca Al-Quran akan memperoleh rahmat (ketenangan) (HR Bukhari dan Muslim).
Disusul penelitian Herbet Benson dan William Proctor (The Breakout Principle, 2004), yang menunjukkan adanya kaitan positif antara stres dan kinerja kerja. Dalam artikelnya ditulis bersama dengan Robert L Alien, mantan Direktur Eksekutif Henry P. Kendall Foundation di Harvard Business Review, Herbert Benson yang mengacu pada Hukum Yerkes-Dodson sebagai batu loncatan untuk mendiskusikan bagaimana para eksekutif menyeimbangkan stres yang mereka alami untuk mencapai produktivitas yang maksimum dalam dunia perusahaan. Ditemukan bahwa orang-orang yang ada dalam stres yang sangat besar dalam pekerjaannya harus mundur sejenak, sebelum stres itu mulai menyebabkan penurunan produktivitas dan kreativitas (HER 58 [1980]: 86-92). "Pada akhirnya, orang yang berhasil menyeimbangkan stres yang dihadapinya dengan memerhatikan Hukum Yerkes-Dodson akan berada pada posisi yang kuat untuk mengalami Pembebasan Diri. Namun, orang yang berharap untuk memicu Pembebasan Diri harus mendidik diri agar mereka mengenali keadaan-keadaan khas yang menyertai fenomena itu," demikian simpulan Herbert Benson.
E. Isi dan Kandungan
Selanjutnya, penulis mengajak pembaca semuanya untuk menyelami lebih lanjut isi dan kandungan dari surah Yâ Sîn ini. Sebagaimana disebutkan di dalam sebuah hadis yang dikutip hampir semua ahli tafsir, Rasulullah Saw. bersabda, “Inna likulli syai’in qalban wa qalb al-Qur’ân Yâ Sîn” (“Sesungguhnya segala sesuatu memiliki hati [jantung] dan hati [jantung] al-Qur’an itu adalah Yâ Sîn”)[19], mengindikasikan bahwa surah ini menduduki posisi yang sangat penting dalam al-Qur’an. Pernyataan ini tidak berarti menafikan, apalagi mengkultuskan suatu surah. Tetapi pernyataan ini harus dipahami lebih arif bahwa surah Yâ Sîn berisi ajaran yang menjadi petunjuk (hudan) dan pedoman bagi kehidupan manusia di dunia ini.
Ibarat tubuh kita, seluruh anggota tubuh manusia merupakan sebuah kesatuan yang saling berkait, tak terpisahkan. Di dalam tubuh kita itu terdapat jantung yang menjadi pusatnya. Selama jantung masih berdenyut, tubuh manusia akan tetap hidup. Bila berhenti berdenyut, seluruh aktivitas tubuh seketika itu akan langsung berhenti.[20]
Surah ini menjunjung tinggi kebenaran al-Qur’an, dan itu diterangkan dalam ruku` pertama; walaupun mula-mula terjadi perlawanan sengit terhadap al-Qur’an, tetapi akhirnya al-Qur’an memberi hidup kepada orang yang mati(rohaninya). Ruku` kedua, menerangkan dengan kalam ibarat tentang gambaran wahyu yang terdahulu. Ruku` ketiga menarik perhatian akan suatu tanda bukti tentang kebenaran al-Qur’an pada kodrat alam – tentang bagaimana sesudah kematian akan menyusul kehidupan, dan bagaimana sesudah gelap menyusul terang – dengan demkian menunjukkan bahwa ada undang-undang yang serupa yang bekerja di alam rohani. Ruku` keempat menerangka bahwa orang yang menerima al-Qur’an akan diperlakukan sendiri-sendiri, sehingga ganjaran dan pembalasan mereka akan membuktikan kebenaran al-Qur’an. Ruku` kelima atau ruku` terakhir menarik perhatian akan adanya hari kiamat atau hidup sesudah mati, karena hanya itu sajalah yang dapat membuat manusia bertanggung jawab atas perbuatan sendiri dan dapat mendatangkan perubahan yang sebenarnya, dan dapat mencapai kesempurnaan.
F. Mengapa Saya Menulis Tafsir Surah Ya Sin?
Keinginan saya menulis "Tafsir" Surah Yâ Sîn ini berawal dari pertanyaan yang agak "sinis" dari seorang teman yang memahami agama sedikit rasionalistik dan rigid (kaku). Menurutnya, trend pembacaan Yâ Sîn secara berjamaah itu bidah, tidak pernah dipraktikkan oleh Rasulullah dan sahabat. Apa benar dengan membaca surah Yâ Sîn, maka segala hajat atau keinginan akan dikabulkan oleh Allah? Lagi, apakah para pembaca (maksudnya: Jemaah Yasinan) itu memahami isi dan kandungan surah Yâ Sîn? Jangan-jangan mereka membaca surah tersebut hanya sekedar seremonial? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang bernada menggugat ketimbang memberikan solusi.
Pertanyaan-pertanyaan ini sedikit banyak menggugah saya untuk lebih serius lagi memahami fenomena ayat-ayat dalam satu surah, terutama surah yang tengah kita kaji saat ini. Dengan memadukan berbagai metode atau sudut pandang dalam memahami Al-Quran, saya mencoba untuk menjawab pertanyaan teman tadi. Terlepas puas atau tidak puas.
Buku yang berada di depan pembaca ini memang tidak mengikuti satu metode penafsiran tertentu. Seperti dikemukakan Hasan Al-Bana saat seorang murid bertanya tentang tafsir manakah di antara sekian banyak karya tafsir yang terbaik; beliau menjawab bahwa tafsir terbaik adalah memahami Al-Quran dengan hati. Tentu hati di sini, bukanlah sembarang hati, melainkan hati yang suci dan bersih, yang terbimbing oleh cahaya Allah. Karena melalui hati seperti inilah pesan-pesan Al-Quran itu dipahami. Tanpa itu, kata Al-Bana, meskipun orang berkali-kali membaca Al-Quran tetap saja mereka tidak mampu menangkap maksud yang terkandung di dalamnya.
Di sini secara jujur saya katakan bahwa saya bukanlah seorang mufasir, karena menjadi mufasir itu harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang sangat ketat. Karena itu, kata "tafsir" saya tempatkan dalam tanda kutip. Sebagai gambaran, Prof. Hasbi Ash-Shiddieqy—sebagaimana dikutip Federspiel—menunjukkan tujuh belas cabang yang harus dikuasai oleh calon-calon mufasir untuk menyusun sebuah tafsir Al-Quran:
"…dia harus mengetahui tempat (Makkah dan Madinah) diturunkannya ayat tersebut, dan dalam musim apa ayat tersebut diturunkan;…susunan ayat-ayat Al-Quran pada waktu diturunkan;…asbabun nuzul ayat yang bersangkutan;…cara diturunkannya ayat yang bersangkutan;…ciri ayat dan kondisi yang berhubungan dengan ayat tersebut;…arti kata-kata tertentu yang memiliki makna lebih dari satu;…pengetahuan tentang ayat-ayat yang jelas;…pengetahuan tentang ayat-ayat yang mansukh;…apresiasi atau penilaian bahasa Al-Quran;…pemahaman tentang kehebatan Al-Quran sehingga ia diakui sebagai suatu mukjizat;…memahami suatu ayat dalam konteksnya;…mengetahui tujuan firman Tuhan dalam Al-Quran;…penggunaan contoh-contoh dalam Al-Quran;…pengetahuan tentang bentuk-bentuk perdebatan yang digunakan untuk menentang musuh-musuh Muhammad; dan…pengetahuan tentang susunan ilmu-ilmu yang digunakan dalam menganalisis Al-Quran." [21]
Saya teringat dengan Prof. Dr. Hamka, penulis Tafsir Al-Azhar, yang dengan kerendahanhatinya menyampaikan alasan-alasan penulisan tafsirnya itu. Meskipun, seperti diakuinya, ia belum sepenuhnya memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh ulama untuk menulis sebuah tafsir Al-Quran: penguasaan bahasa Arab, mengetahui penafsiran para mufasir sebelumnya, mengetahui Asbab An-Nuzul, nasikh mansukh, ilmu hadis, dan ilmu fikih.
Syarat-syarat itu memang berat dan patut. Kalau tidak ada syarat demikian tentu segala orang dapat berani saja menafsirkan Al-Quran. Ilmu-ilmu yang dijadikan syarat oleh ulama-ulama itu alhamdulillah telah penulis ketahui ala kadarnya, tetapi penulis tidaklah mengakui bahwa penulis sudah sangat alim dalam segala ilmu itu. Tuhan di dalam Al-Quran sendiri pun pernah berfirman, bahwasanya di atas orang yang mempunyai ilmu ada lagi yang lebih alim. Maka kalau menurut syarat yang dikemukakan ulama tentang ilmu-ilmu itu, wajiblah sangat dalam benar lebih dahulu, tidaklah akan jadi "Tafsir" ini dilaksanakan. Jangankan bahasa Arab dengan segala nahwu dan sharafnya, sedangkan bahasa Indonesia sendiri, tempat Al-Quran ini akan diterjemah dan ditafsirkan, tidaklah penulis "Tafsir" ini termasuk ahli bahasa yang sangat terkemuka, meskipun telah menulis lebih daripada 100 buku besar di dalam bahasa Indonesia…Tetapi, sebagai kita katakan tadi ada soal lain yang mendesak, sehingga pekerjaan ini wajib diteruskan.[22]
Alasan yang sama dengan "Tafsir" Yâ Sîn ini. Tetapi—meminjam kata-kata Hamka—pekerjaan ini wajib diteruskan, karena saya merasa mempunyai kewajiban menjawab kegelisahan sebagian umat Islam yang merasa seolah-olah ada gap yang lebar antara membaca Al-Quran pada satu sisi (biasanya orientasi hanya reward oriented) dan pemahaman yang memadai tentang ayat-ayat yang dibaca di sisi yang lain.
Harapan saya, mudah-mudahan usaha kecil ini dapat membantu saudara-saudara saya yang sudah jatuh cinta kepada surah Yâ Sîn baik secara individul (seperti kebiasaan membaca surah Yâ Sîn pada malam Jumat) maupun secara kolektif (seperti kebiasaan membaca surah Yâ Sîn secara berjamaah pada malam Jumat) dalam memahami dan menghayati isi dan kandungan surah ini. Seperti dikatakan oleh orang bijak: pencinta sejati adalah orang yang sangat paham lahir dan batin obyek yang dicintainya. Demikian pula dengan surah Yâ Sîn ini. Dengan mengetahui isi dan kandungan surah ini, tentunya kecintaan tersebut semakin hari semakin mendalam, sehingga tiada hari tanpa surah Yâ Sîn. []
[1]Lih. Regis Blachere, Le Coran Traduction Selon un Essai de Reclassement des Sourates, 3 vol., 1947-1951.
[2]Dep. Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya,(Semarang: Thoha Putra, 1989), hlm. 705.
[3] Ahmad Musthafa al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Jil. VIII (Beirut: Dâr al-Fikr,1394H/1974M), hlm.144.
[4]`Abd al-Ra’ûf ibn `Ali al-Jâwî al-Fanshûrî al-Sinkîlî, Tarjumân al-Mustafîd,(Beirut: Dâr al-Fikr, 1410H/1990M), hlm. 441.
[5]Dikutip dari Oman Fathurman, Tanbih al-Masyi: Menyoal Wahdatul Wujud Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 145.
[6]`Abd al-Samad al-Palimbani, Siyar al-Sâlikîn fî Tarîqat al-Sâdât al-Suffiyyah, vol. II(
[7] Pengarang dari kitab ini anonim [tanpa diketahui siapa pengarangnya]. Penerbitnya juga beragam.
[8]Prof. Dr. Hamka, Tafsir al-Azhar, Juzu’ XXIII(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), hlm. 4.
[9] Ibid.
[10] `Umar Sulaiman al-Asyqar, Ensiklopedi Kiamat: Dari Sakaratulmaut hingga Surga-Neraka, penerj. Irfan Salim et. Al (
[11] Ibid.
[12] Ibid., hlm. 43.
[13] Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Sufi al-Fatihah: Mukadimah(
[14] Ibid.
[15] Lihat lebih lengkap: Dr. Masaru Emoto, The True Power of Water: Hikmah Air Dalam Olah Jiwa (
[16] Lebih jauh lihat: Herbert Benson dan Mirriam K. Zlipper, Relaxation Response (New York: Avon Books, 1976); juga Herbert Benson dan William Proctor, Beyond the Relaxation Response (Berkeley Books and Time Books, 1984).
[17]Lihat: Larry Dossey, Healing Words (Kata-kata yang menyembuhkan): Kekuatan Doa dan Penyembuhan (Jakarta: Gramedia, 1997).
[18] Taufik Pasiaq, Revolusi IQ/EQ/SQ Antara Sains dan Al-Quran (
[19] Lih. antara lain, Al-`Allâmah al-Sayyid Muhammad Husain al-Thbâthabâ`î, Tafsîr al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân, Jil. XVII (Beirut: Mu’assasah al-A`lamî li al-Mathbu`ât, 1411/1991), hlm. 62.
[20]Prof. Dasteghib, Mengungkap Rahasia Surat Ya Sin, penerj. Ibnu Fauzi al-Muhdar (
[21]Lihat: Howard M. Federspiel, Kajian Al-Quran di Indonesia: Dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, penerj. Drs.
[22] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzu I (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), h. 3-4.
.jpg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar