(1). Yâ Sîn.
Beberapa komentator (mufassirûn) menjelaskan bahwa huruf ya sebagai kata seru (vokatif), dan sîn sebagai singkatan insân, sîn hanya sebagai huruf penguat (firm letter) dalam kata itu. Dalam hal ini huruf itu sebagai panggilan kepada seseorang, “Hai manusia.“ Tetapi dalam hubungan ini “manusia” diartikan sebagai pemimpin umat manusia, orang yang termulia di antara manusia, Muhammad Rasulullah.
Menurut Ibnu `Abbâs, arti Yâ Sîn merujuk pada dialek Thayy, sebuah dialek bahasa Arab yang diakui. Yâ Sîn merupakan akronim untuk Yâ Insânu (Wahai Manusia) atau “wahai manusia sempurna”(O perfect man). Ibnu Jâbir juga mengemukakan pendapat yang sama, bahwa Yâ Sîn merupakan salah satu nama Nabi Muhammad. Argumen yang diajukan Ibnu Jâbir merujuk pada ayat 3: innaka la min al-mursalîn. Tetapi ada juga yang menafsirkan lain mengenai Yâ Sîn ini. Malik yang bersumber dari Zaid bin Aslam menafsirkan bahwa huruf-huruf singkatan itu mengisyaratkan nama Allah. Kalangan ulama modern Mesir, khususnya Muhammad al-Ghazâlî, menjelaskan bahwa Yâ Sîn tidak merujuk pada nama Nabi Muhammad SAW. melainkan dua huruf dari hurûf al-hijâ’ (alfabet). Hal senada dikemukakan Sayyiq Quthb:
Allah bersumpah dengan dua huruf ini, Yâ Sîn, dan dengan al-Qur’an yang penuh hikmah. Penyatuan antara huruf-huruf abjadiah ini dengan al-Qur’an menguatkan hipotesis yang kami pilih dalam menafsirkan huruf-huruf abjad yang berada di awal surah; dan hubungan antara penyebutannya dengan al-Qur’an. Dan, bukti bahwa al-Qur’an itu berasal dari Allah, adalah ayat yang mereka tak tadaburi itu yang kemudian al-Qur’an kembalikan mereka kepada ayat itu, bahwa al-Qur’an itu terbentuk dari jenis-jenis huruf yang sama yang selama ini mereka gunakan dengan mudah. Namun, rangkaian pikirannya dan redaksionalnya berada di atas kemampuan mereka dalam membuat redaksi dari huruf-huruf yang sama itu.
Dari beberapa fakta yang dikemukakan oleh para ahli tafsir dan merujuk pada isi yang terdapat dalam surah ini, dan juga bait-bait syair yang dikemukakan oleh para penyair Arab terkemuka. Kami cenderung menganggap huruf-huruf singkatan ini mengindikasikan nama gelar untuk Nabi Muhammad. Ini bisa kita lihat dalam bait-bait syair al-Humairî yang memuji Nabi dengan bersenandung:
Wahai jiwa!Tidak ada cinta yang paling tulus
Kecuali cinta kepada Yâ Sîn
Yang dimaksud al-Humairî dengan Yâ Sîn adalah Nabi Muhammad SAW.
Dari pengertian ini, ada kesepakatan bahwa yang dituju oleh akronim ini adalah Nabi Muhammad SAW., karena beliau adalah representasi manusia sempurna (al-insân al-kâmil). Menarik didiskusikan mengenai Yâ Sîn atau Yâ Insânu ini.
Jalaluddin Rakhmat telah mengulas secara mendetail mengenai konsep antropologis basyar, insân dan al-nâs, dalam sebuah makalahnya. Kata insân diulamg sebanyak 65 kali dalam al-Qur’an. Berdasarkan informasi Kitab Suci tersebut, kita dapat mengelompokkan konteks insân dalam tiga kategori. Pertama, insân dihubungkan keistimewaannya sebagai khalîfah atau pemikul amanah. Kedua, insân dihubungkan dengan predisposisi negatif diri manusia Ketiga, insân dihubungkan dangan proses penciptaan manusia. Dan keempat, insân menunjuk pada sifat-sifat psikologis atau spiritual.
Pada kategori pertama, kita melihat keistimewaan manusia sebagai wujud yang berbeda dangan hewani. Dalam pandangan al-Qur’an, manusia adalah makhluk yang diberi ilmu ;”Yang mengajar dangan pena, mengajar insân apa yang tidak diketahuinya”(QS.96:4,5), “Ia (Allah) mengajarkan (insân) al-bayan” ( QS.55:3 ). Manusia diberi kemampuan mengembangkan pengetahuan dan daya nalarnya. Karena itu juga, kata insân berkali-kali dihubungkan dengan kata nazhar. Insân disuruh menazhar(merenungkan, memikirkan, menganalisis dan mengamati) perbuatannya (QS.79:35), proses terbentuknya makanan dari siraman air hujan hingga terbentuknya buah-buahan (QS.80:24-36), dan penciptaannya (QS.86:5). Dalam hubungan inilah setelah Allah menjelaskan sifat insân yang tidak labil, Dia berfirman ,”Akan Kami perlihatkan kepada mereka (insân) tanda-tanda Kami di alam semesta ini pada diri mereka sendiri sehingga jelas baginya bahwa ia itu adalah al-Haq”(QS.41:53).
Kedua, manusia adalah makhluk yang memikul amanah (QS.33:72). Menurut Fazlur Rahman (1967:9), amanah adalah menemukan hukum alam, menguasainya atau dalam terminologi al-Qur’an “mengetahui nama-nama semuanya”(wa ’allama adama al-asmâ-a kullahâ (QS.2 : 31). Dan kemudian menggunakannya dengan inisiatif moral insâni, untuk menciptakan tatanan dunia yang baik. Muhammad Hussein al-Thabataba`i dalam bukunya “Al-Mizân fî Tafsîr Al-Qur’ân” menerangkan bahwa amanah sebagai predisposisi (isti`dad) untuk beriman dan mentaati Allah. Di dalamnya, tegas Thabâthabâ’î terkandung makna khilafah, manusia sebagai pemikul al-wilâyah al-ilâhiyyah. Amanah inilah yang dalam ayat-ayat lain disebutkan sebagai perjanjian (‘ahd, mitsq,` isr). Predisposisi untuk beriman inilah yang digambarkan secara metaforis oleh al-Qur’an.
Dan [ingatlah], ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka(seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”Mereka menjawab: “Betul(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.”(QS. 7: 172).
Ketiga, karena manusia memikul amanah, maka insân dalam al-Qur’an juga dihubungkan dengan konsep tanggung jawab(QS.75: 3, 36; 50: 16). Ia diwasiatkan untuk berbuat baik(QS. 29: 8; 31:14; 46:15); amalnya dicatat dengan apa yang dikerjakannya(QS.53: 39). Karena itu, insanlah yang dimusuhi setan(QS. 17: 53; 59: 16) dan ditentukan nasibnya di hari Kiamat(QS. 75: 10, 13, 14; 79: 35; 80: 17; 89: 23).
Keempat kategori tentang insân yang dikemukakan di atas, memang terpresentasikan dalam surah Yâ Sîn. Di sini deskripsi tentang manusia dikemukakan secara kompleksitas.
Mengikuti asumsi bahwa Yâ Sîn merujuk kepada Nabi Muhammad, ayat pertama ini menggugah pembacanya agar memperhatikan dan meneladani akhlak beliau. Nabi Muhammad adalah insân kâmil(perfect man) dan menjadi uswah(teladan) bagi umat manusia. Dengan demikian, lewat akronim ini, Yâ Sîn bukanlah huruf-huruf tak bermakna, sebaliknya, huruf-huruf itu mengandung kekuatan dan interpretasi misterius.
Annemarie Schimmel dalam And Muhammad is His Messenger berhasil merekam pemahaman kaum Muslim terhadap kasus huruf-huruf singkatan ini yang tiada lain merupakan gelar bagi Nabi Muhammad. Penganugerahan ini bukanlah hanya sekedar gelar biasa. Tetapi dibalik itu semua tersimpan potensi atau kekuatan yang sangat istimewa bagi yang menyandang gelar tersebut.
Didorong oleh kenyataan inilah, sebagian umat Islam menganugerahi dirinya dengan nama-nama Nabi Muhammad. Mengenal nama seseorang berarti mengenal orang itu sendiri. Seorang kekasih tidak boleh mengungkapkan nama kekasihnya, sebab dia tidak ingin orang lain mengetahui rahasia-rahasia cintanya. Karena nama itu merupakan bagian, dan bahkan bagian yang sangat penting, dari sesuatu atau seseorang, ia membawa barakah, kekuatan barakah, dan jika seseorang itu mendapatkan suatu kekuatan khusus atau menempati suatu kedudukan yang sangat tinggi, namanya pun dapat mempengaruhi – dengan yang misterius – orang-orang yang diberi nama sama. Ini berbeda dengan anggapan Shakeaspeare, yang menganggap “apalah artinya sebuah nama”. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan bahwa kaum Muslim beranggapan bahwa nama Nabi mengandung suatu barakah yang sangat istimewa. Perasaan ini terungkap secara ringkas dalam suatu permohonan oleh seorang kelana Anatolia, Yunus Emre, yang ditulis pada sekitar tahun 1300:
Tolonglah, berdoalah untuk kami di Hari Kiamat-
Namamu Indah, engkau sendiri indah, Muhammad!
Kata-katamu diterima di dekat Allah, Tuhanku-
Namamu Indah, engkau sendiri indah, Muhammad!
Nabi sendiri mempunyai banyak gelar, bahkan sampai ada yang menyusun sampai 99 nama, asmâ al-syarîfah (nama-nama mulia) yang setara dengan 99 asmâ al-husnâ, nama-nama Tuhan yang paling indah. Dalam al-Qur’an, dua nama surah, Thâ Hâ dan Yâ Sîn, adalah nama-nama gelar untuk Nabi Muhammad. Huruf Yâ Sîn – sebagaimana telah diuraikan di atas – sapaan untuk Nabi, sebuah sapaan penghormatan dan luapan rasa cinta yang mendalam dengan Sang Nabi. Ungkapan cinta yang sebenarnya sulit dilukiskan dengan kata-kata, karena kata-kata sering bisa membatasi perasaan cinta itu sendiri. Orang bijak mengatakan, cinta sejati adalah cinta yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Bait-bait di bawah ini merupakan salah satu wujud ekspresi ungkapan rasa cinta kepada Sang Nabi.
Shalâtullâh salâmullâh - `alâ Thâ Hâ Rasûlillâh
Shalâtullâh salâmullâh - `alâ Yâ Sîn Habîbillâh.
Tidak hanya dalam bait-bait di atas, di India ada Amir Khusrau yang menafsirkan huruf sîn sebagai “gigi”, sebagai simbolisasi rasa cintanya pada Nabi Muhammad SAW..
Yâ Sîn telah menyebarkan mutiara dari mulutnya,
Thâ Hâ telah menerima di dalam yakâdu.
Kata yakâdu dalam bait terakhir Amir Khusrau di atas dikaitkan dengan tiga ayat surah al-Qalam:
Lalu Tuhannya memilihnya dan menjadikannya Termasuk orang-orang yang saleh(ayat 50). Dan sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengar al-Qur’an dan mereka berkata: “Sesungguhnya ia (Muhammad) benar-benar orang gila”(ayat 51). Dan al-Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan bagi seluruh umat (ayat 52).
Annemarie Schimmel juga mencatat bahwa penggunaan nama-nama sapaan ini masih luas bahkan di sudut-sudut terpencil di dunia Muslim, dan sebagaimana para qawwal di Khuldabat (India) mengulang berkali-kali refrain Urdu nyanyian mereka.
Betapa Allah telah melingkupimu dalam al-Qur’an
dengan nama-nama yang indah!
Kadang-kadang Dia menyapamu dengan Thâ Hâ,
kadang-kadang dengan Yâ Sîn….
Menurut Ibnu `Abbâs, arti Yâ Sîn merujuk pada dialek Thayy, sebuah dialek bahasa Arab yang diakui. Yâ Sîn merupakan akronim untuk Yâ Insânu (Wahai Manusia) atau “wahai manusia sempurna”(O perfect man). Ibnu Jâbir juga mengemukakan pendapat yang sama, bahwa Yâ Sîn merupakan salah satu nama Nabi Muhammad. Argumen yang diajukan Ibnu Jâbir merujuk pada ayat 3: innaka la min al-mursalîn. Tetapi ada juga yang menafsirkan lain mengenai Yâ Sîn ini. Malik yang bersumber dari Zaid bin Aslam menafsirkan bahwa huruf-huruf singkatan itu mengisyaratkan nama Allah. Kalangan ulama modern Mesir, khususnya Muhammad al-Ghazâlî, menjelaskan bahwa Yâ Sîn tidak merujuk pada nama Nabi Muhammad SAW. melainkan dua huruf dari hurûf al-hijâ’ (alfabet). Hal senada dikemukakan Sayyiq Quthb:
Allah bersumpah dengan dua huruf ini, Yâ Sîn, dan dengan al-Qur’an yang penuh hikmah. Penyatuan antara huruf-huruf abjadiah ini dengan al-Qur’an menguatkan hipotesis yang kami pilih dalam menafsirkan huruf-huruf abjad yang berada di awal surah; dan hubungan antara penyebutannya dengan al-Qur’an. Dan, bukti bahwa al-Qur’an itu berasal dari Allah, adalah ayat yang mereka tak tadaburi itu yang kemudian al-Qur’an kembalikan mereka kepada ayat itu, bahwa al-Qur’an itu terbentuk dari jenis-jenis huruf yang sama yang selama ini mereka gunakan dengan mudah. Namun, rangkaian pikirannya dan redaksionalnya berada di atas kemampuan mereka dalam membuat redaksi dari huruf-huruf yang sama itu.
Dari beberapa fakta yang dikemukakan oleh para ahli tafsir dan merujuk pada isi yang terdapat dalam surah ini, dan juga bait-bait syair yang dikemukakan oleh para penyair Arab terkemuka. Kami cenderung menganggap huruf-huruf singkatan ini mengindikasikan nama gelar untuk Nabi Muhammad. Ini bisa kita lihat dalam bait-bait syair al-Humairî yang memuji Nabi dengan bersenandung:
Wahai jiwa!Tidak ada cinta yang paling tulus
Kecuali cinta kepada Yâ Sîn
Yang dimaksud al-Humairî dengan Yâ Sîn adalah Nabi Muhammad SAW.
Dari pengertian ini, ada kesepakatan bahwa yang dituju oleh akronim ini adalah Nabi Muhammad SAW., karena beliau adalah representasi manusia sempurna (al-insân al-kâmil). Menarik didiskusikan mengenai Yâ Sîn atau Yâ Insânu ini.
Jalaluddin Rakhmat telah mengulas secara mendetail mengenai konsep antropologis basyar, insân dan al-nâs, dalam sebuah makalahnya. Kata insân diulamg sebanyak 65 kali dalam al-Qur’an. Berdasarkan informasi Kitab Suci tersebut, kita dapat mengelompokkan konteks insân dalam tiga kategori. Pertama, insân dihubungkan keistimewaannya sebagai khalîfah atau pemikul amanah. Kedua, insân dihubungkan dengan predisposisi negatif diri manusia Ketiga, insân dihubungkan dangan proses penciptaan manusia. Dan keempat, insân menunjuk pada sifat-sifat psikologis atau spiritual.
Pada kategori pertama, kita melihat keistimewaan manusia sebagai wujud yang berbeda dangan hewani. Dalam pandangan al-Qur’an, manusia adalah makhluk yang diberi ilmu ;”Yang mengajar dangan pena, mengajar insân apa yang tidak diketahuinya”(QS.96:4,5), “Ia (Allah) mengajarkan (insân) al-bayan” ( QS.55:3 ). Manusia diberi kemampuan mengembangkan pengetahuan dan daya nalarnya. Karena itu juga, kata insân berkali-kali dihubungkan dengan kata nazhar. Insân disuruh menazhar(merenungkan, memikirkan, menganalisis dan mengamati) perbuatannya (QS.79:35), proses terbentuknya makanan dari siraman air hujan hingga terbentuknya buah-buahan (QS.80:24-36), dan penciptaannya (QS.86:5). Dalam hubungan inilah setelah Allah menjelaskan sifat insân yang tidak labil, Dia berfirman ,”Akan Kami perlihatkan kepada mereka (insân) tanda-tanda Kami di alam semesta ini pada diri mereka sendiri sehingga jelas baginya bahwa ia itu adalah al-Haq”(QS.41:53).
Kedua, manusia adalah makhluk yang memikul amanah (QS.33:72). Menurut Fazlur Rahman (1967:9), amanah adalah menemukan hukum alam, menguasainya atau dalam terminologi al-Qur’an “mengetahui nama-nama semuanya”(wa ’allama adama al-asmâ-a kullahâ (QS.2 : 31). Dan kemudian menggunakannya dengan inisiatif moral insâni, untuk menciptakan tatanan dunia yang baik. Muhammad Hussein al-Thabataba`i dalam bukunya “Al-Mizân fî Tafsîr Al-Qur’ân” menerangkan bahwa amanah sebagai predisposisi (isti`dad) untuk beriman dan mentaati Allah. Di dalamnya, tegas Thabâthabâ’î terkandung makna khilafah, manusia sebagai pemikul al-wilâyah al-ilâhiyyah. Amanah inilah yang dalam ayat-ayat lain disebutkan sebagai perjanjian (‘ahd, mitsq,` isr). Predisposisi untuk beriman inilah yang digambarkan secara metaforis oleh al-Qur’an.
Dan [ingatlah], ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka(seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”Mereka menjawab: “Betul(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.”(QS. 7: 172).
Ketiga, karena manusia memikul amanah, maka insân dalam al-Qur’an juga dihubungkan dengan konsep tanggung jawab(QS.75: 3, 36; 50: 16). Ia diwasiatkan untuk berbuat baik(QS. 29: 8; 31:14; 46:15); amalnya dicatat dengan apa yang dikerjakannya(QS.53: 39). Karena itu, insanlah yang dimusuhi setan(QS. 17: 53; 59: 16) dan ditentukan nasibnya di hari Kiamat(QS. 75: 10, 13, 14; 79: 35; 80: 17; 89: 23).
Keempat kategori tentang insân yang dikemukakan di atas, memang terpresentasikan dalam surah Yâ Sîn. Di sini deskripsi tentang manusia dikemukakan secara kompleksitas.
Mengikuti asumsi bahwa Yâ Sîn merujuk kepada Nabi Muhammad, ayat pertama ini menggugah pembacanya agar memperhatikan dan meneladani akhlak beliau. Nabi Muhammad adalah insân kâmil(perfect man) dan menjadi uswah(teladan) bagi umat manusia. Dengan demikian, lewat akronim ini, Yâ Sîn bukanlah huruf-huruf tak bermakna, sebaliknya, huruf-huruf itu mengandung kekuatan dan interpretasi misterius.
Annemarie Schimmel dalam And Muhammad is His Messenger berhasil merekam pemahaman kaum Muslim terhadap kasus huruf-huruf singkatan ini yang tiada lain merupakan gelar bagi Nabi Muhammad. Penganugerahan ini bukanlah hanya sekedar gelar biasa. Tetapi dibalik itu semua tersimpan potensi atau kekuatan yang sangat istimewa bagi yang menyandang gelar tersebut.
Didorong oleh kenyataan inilah, sebagian umat Islam menganugerahi dirinya dengan nama-nama Nabi Muhammad. Mengenal nama seseorang berarti mengenal orang itu sendiri. Seorang kekasih tidak boleh mengungkapkan nama kekasihnya, sebab dia tidak ingin orang lain mengetahui rahasia-rahasia cintanya. Karena nama itu merupakan bagian, dan bahkan bagian yang sangat penting, dari sesuatu atau seseorang, ia membawa barakah, kekuatan barakah, dan jika seseorang itu mendapatkan suatu kekuatan khusus atau menempati suatu kedudukan yang sangat tinggi, namanya pun dapat mempengaruhi – dengan yang misterius – orang-orang yang diberi nama sama. Ini berbeda dengan anggapan Shakeaspeare, yang menganggap “apalah artinya sebuah nama”. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan bahwa kaum Muslim beranggapan bahwa nama Nabi mengandung suatu barakah yang sangat istimewa. Perasaan ini terungkap secara ringkas dalam suatu permohonan oleh seorang kelana Anatolia, Yunus Emre, yang ditulis pada sekitar tahun 1300:
Tolonglah, berdoalah untuk kami di Hari Kiamat-
Namamu Indah, engkau sendiri indah, Muhammad!
Kata-katamu diterima di dekat Allah, Tuhanku-
Namamu Indah, engkau sendiri indah, Muhammad!
Nabi sendiri mempunyai banyak gelar, bahkan sampai ada yang menyusun sampai 99 nama, asmâ al-syarîfah (nama-nama mulia) yang setara dengan 99 asmâ al-husnâ, nama-nama Tuhan yang paling indah. Dalam al-Qur’an, dua nama surah, Thâ Hâ dan Yâ Sîn, adalah nama-nama gelar untuk Nabi Muhammad. Huruf Yâ Sîn – sebagaimana telah diuraikan di atas – sapaan untuk Nabi, sebuah sapaan penghormatan dan luapan rasa cinta yang mendalam dengan Sang Nabi. Ungkapan cinta yang sebenarnya sulit dilukiskan dengan kata-kata, karena kata-kata sering bisa membatasi perasaan cinta itu sendiri. Orang bijak mengatakan, cinta sejati adalah cinta yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Bait-bait di bawah ini merupakan salah satu wujud ekspresi ungkapan rasa cinta kepada Sang Nabi.
Shalâtullâh salâmullâh - `alâ Thâ Hâ Rasûlillâh
Shalâtullâh salâmullâh - `alâ Yâ Sîn Habîbillâh.
Tidak hanya dalam bait-bait di atas, di India ada Amir Khusrau yang menafsirkan huruf sîn sebagai “gigi”, sebagai simbolisasi rasa cintanya pada Nabi Muhammad SAW..
Yâ Sîn telah menyebarkan mutiara dari mulutnya,
Thâ Hâ telah menerima di dalam yakâdu.
Kata yakâdu dalam bait terakhir Amir Khusrau di atas dikaitkan dengan tiga ayat surah al-Qalam:
Lalu Tuhannya memilihnya dan menjadikannya Termasuk orang-orang yang saleh(ayat 50). Dan sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengar al-Qur’an dan mereka berkata: “Sesungguhnya ia (Muhammad) benar-benar orang gila”(ayat 51). Dan al-Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan bagi seluruh umat (ayat 52).
Annemarie Schimmel juga mencatat bahwa penggunaan nama-nama sapaan ini masih luas bahkan di sudut-sudut terpencil di dunia Muslim, dan sebagaimana para qawwal di Khuldabat (India) mengulang berkali-kali refrain Urdu nyanyian mereka.
Betapa Allah telah melingkupimu dalam al-Qur’an
dengan nama-nama yang indah!
Kadang-kadang Dia menyapamu dengan Thâ Hâ,
kadang-kadang dengan Yâ Sîn….
.jpg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar