Efek Sampingan Gerakan Modernis
Depribumisasi
Proses akulturasi ajaran Islam di Indonesia telah melewati jalan yang panjang. Unsur-unsur Islam diintegrasikan pada budaya lokal dan sebaliknya. Islam kemudian menjadi bagian yang tidak terasa asing; Islam telah mempribumi. Bagi orang Melayu, budaya Melayu adalah Islam. Buya Hamka pernah mengatakan bahwa kata “Minang” dalam “Minangkabau” artinya Islam, sehingga kalau Islam dilepaskan dari Minangkabau, yang tinggal adalah “kabau” (kerbau). Bagi orang-orang Sunda, masuk Nasrani akan menyebabkan orang tidak disebut orang Sunda lagi. Hal yang sama berlaku bagi orang Bugis, Banjar, dan suku-suku lainnya di Indonesia. Pada suku Jawa, pribumisasi Islam terjadi dalam perpaduan unsur-unsur budaya Jawa dan Islam. Begitu padunya percampuran ini sehingga kelak kaum modernis menyebutnya sebagai sinkretisme. Upacara-upacara lokal diberi warna Islam dan diberi nama “selametan”. Lebaran adalah perpaduan Idul Fitri dengan Grebegan. Bulan Islam dijadikan bulan-bulan dalam tahun Saka (Muharram menjadi Suro, Dzulqa’idah menjadi Hapit, Dzulhijjah menjadi Besar). Bagi orang Jawa kebanyakan, kejawaan adalah keislaman. Sufisme Islam tidak jarang melebur dalam kejawen.
Kaum modernis datang dengan puritanisme mereka. Terjadilah proses depribumisasi. Unsur-unsur lokal “di-bid’ah-kan” (tidak jarang dimusyrikkan). Karena tidak ada dalam Al-Quran dan Hadis, kontribusi lokal pada ajaran Islam harus dihilangkan. Islam kaum modernis melepaskan diri dari akar-akar pribumi. Islam kaum modernis menjadi Islam yang teralienasi. Itulah sebabnya, barangkali, mengapa kaum modernis lebih banyak menarik orang-orang urban dan metropolitan. …
… Dengan kata lain, dinamika NU dalam Muktamar menunjukkan kerinduan orang kepada Islam yang lebih pribumi, Islam yang indigen, bukan Islam yang alien. Yang dibutuhkan adalah Islamnya para nabi yang – menurut istilah Al-Quran- berbicara dengan bahasa kaumnya: Tidaklah Kami utus seorang Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya, supaya ia menjelaskan kepada mereka. (QS 14:4)
Demistikisasi
Banyak ahli sejarah menunjukkan proses penyebaran Islam lewat Islam yang mistikal. Istilah “wali” bagi penyebar Islam awal jelas mencerminkan dimensi ini. Lagi pula, mistikisme Islam mempunyai “common ground” dengan agama-agama Hindu dan Budha. Arberry mendefinisikan tashawwuf sebagai mistikisme yang monoteistis, mistikisme yang berlandaskan tawhid. Penyebaran Islam yang cepat di Indonesia dapat diduga karena unsur mistikisme itu. Tidak terbayangkan apa yang terjadi bila Islam yang pertama kali masuk ke sini adalah Islam legalistis (yang fiqhiyyah) seperti yang dibawa oleh kaum modernis (yang terpengaruh Wahabisme).
Tasawuf menarik kaum priyayi yang mencari sangkan ning dumadi dan jatining urip, juga menarik kaum abangan yang mencari penenang batin dari kemelut kehidupan yang gagal; dan lebih-lebih menarik kaum santri yang ingin memperoleh kekuatan batin dalam menghadapi sistem dominan yang zalim. Berbagai macam thariqah tumbuh subur di Indonesia. Menurut Sartono, dalam The Protest Movement in Rural Java, banyak gerakan perlawanan rakyat desa di Indonesia diilhami dan dipimpin oleh gerakan-gerakan tasawuf. Kita dapat menambahkan gerakan Mahdi di Sudan, Sanusiyah di Tunisia dan Safawiyah di Iran.
Kaum modernis datang menuding tasawuf sebagai penyebab kelemahan umat Islam. Segala hal yang berkaitan dengan tasawuf dihantam. Bergulirlah bola demistikisasi, yang akibatnya terasa sampai sekarang. Sebagai antitesis sufi yang mencari makna “rahasia” syariat, kaum modernis menghidupkan formalisme. Bila kaum sufi disebut ahli sarair kaum modernis menjadi ahli zhawahir. Ajaran Islam menjadi fiqh-sentris. Nash hanya dipahami secara lahiriah. Dalam upaya untuk memurnikan ajaran Islam, mereka melepaskan teks-teks agama dari konteksnya. Sekarang, pusat perhatian adalah fiqh – aspek legal ajaran Islam. Yang penting adalah dikotomi sunnah-bid’ah, halal-haram, tawhid-syirk, Islam-jahiliah. Proses penyucian batin, peningkatan akhlak dan latihan-latihan kejiwaan tidak lagi mendapat perhatian. Kaum modernis lebih memperhatikan cara meluruskan tangan ketika takbiratul ihram ketimbang meluruskan hati ketika beribadat. Mereka menilai orang dari ritus-ritus formal – misalnya cara-cara shalat - dan bukan dari amalnya di masyarakat. Anda boleh jadi dermawan, penyantun, dan bergaul dengan baik; tetapi bila Anda ahli bid’ah, Anda masuk neraka. Terkenal di kalangan kaum modernis hadis, “Barangsiapa beramal tidak sesuai dengan perintahku, ia tertolak”.
Ketika kaum modernis menyingkirkan tasawuf, mereka menyingkirkan pengalaman beragama yang emosional – agama yang dinikmati. Dzikr, shalawat, wirid dan hal-hal lain yang memberikan kehangatan beragama dikurangi. Orang kehilangan agama yang memuaskan dahaga batin. Pengalaman beragama menjadi gersang. Orang mencari ketenteraman. Sementara itu agama kaum modernis yang rasional menafikan dimensi keberagamaan yang mistikal. Banyak di antara mereka akhirnya lari ke mistikisme lokal. Aliran kepercayaan bertambah subur, mengisi kevakuman yang ditinggalkan oleh kaum modernis.
Degaibisasi
Bersamaan dengan menipisnya aspek batiniah dari kehidupan beragama, hal-hal gaib dikecilkan peranannya. Walaupun dengan tegas Al-Quran menyatakan ciri orang takwa itu “yu’minuna bil ghayb,” kaum modernis – dengan rasionalismenya - meremehkan kegaiban. Tidak jarang nash-nash yang menceritakan peristiwa gaib ditakwil, sehingga menjadi “masuk akal” (dan tidak gaib lagi).
… Proses degaibisasi – upaya menjelaskan yang gaib sehingga tidak gaib - melahirkan konseptualisasi dalam dunia fisik – yang dapat diamati dan diukur. Sebab-sebab gaib ditiadakan. Bila Anda mengobati sakit perut dengan Enterostop, Anda mengikuti sebab-sebab lahir. Anda berobat dengan cara-cara yang dibenarkan Islam. Bila Anda mengobatinya dengan membawa Al-Fatihah, Anda musyrik; begitu menurut tawhid kaum modernis. Mengapa? Karena Anda sudah menggunakan sebab-sebab gaib.
Dalam hubungan inilah, kaum modernis memusyrikkan orang yang melakukan tawassul dan tabarruk. Tawassul artinya meminta bantuan atau doa. Mereka membenarkan tawassul kepada orang yang masih hidup, seperti Umar yang tawassul kepada Abbas. Mereka memusyrikkan orang yang tawassul kepada Nabi Muhammad saw., karena Nabi sudah wafat. Meminta doa kepada yang sudah mati adalah hal yang gaib, karena itu syirk. Meminta bantuan kepada yang hidup tidak menyangkut yang gaib, jadi boleh.
Tabarruk, dari arti katanya saja, sudah melibatkan yang gaib. Tabarruk artinya mengambil berkah: Para santri yang meminum sisa air munum Kiai, peziarah yang mengusap tanah kuburan wali, jamaah haji yang mencium mimbar Nabi di Madinah, orang Indonesia yang minum air Zamzam untuk menyembuhkan penyakit. Kaum modernis menuduh semua perbuatan itu syirk. Walhasil segala hal yang melibatkan perkara yang gaib dianggap syirk, termasuk mempelajari tenaga-tenaga gaib lewat hizb dan riyadhah.
Kita belum melakukan penelitian dampak degaibisasi ini dalam kehidupan ini dalam kehidupan beragama. Untuk sementara, cukuplah kita katakan bahwa salah satu tonggak penghayatan agama adalah keimanan kepada yang gaib. Memperlemah keimanan tentu saja memiskinkan pengalaman beragama.
Deinstitusionalisasi
Kepercayaan kepada yang gaib sering memperkukuh institusi-institusi keislaman. Salah satu di antara institusi itu adalah ulama. Tabarruk kepada ulama yang masih hidup memperkuat peranan ulama dalam memimpin umat. Tabarruk kepada ulama yang sudah mati menyambungkan garis sejarah yang melintas ruang dan waktu. Ulama bukan sekadar panutan temporal; ulama juga petunjuk jalan untuk hal-hal yang sakral. Pembicaraannya mempunyai wibawa. Melanggarnya dapat mendatangkan bencana. Dengan kredibilitas seperti itu, komunikasi ulama menjadi sangat efektif.
Dengan menggunakan kerangka ilmu komunikasi, kita dapat menyatakan ulama adalah pemuka pendapat yang perkasa. Ucapannya menjadi kata pemutus. Ia bukan hanya dirujuk dalam masalah agama, tapi juga dalam masalah sosial. Ulama menjadi pemimpin yang polimorfik – memimpin berbagai bidang kehidupan. Kaum modernis datang menghapus taqlid. Semua orang – termasuk yang tidak berkualifikasi - boleh berijtihad. Yang dirujuk bukan ulama, tetapi Al-Quran dan Hadis. Kenyataannya, kalimat ini diperbaiki: Yang dirujuk adalah pemahaman setiap orang tentang Al-Quran dan Hadis. Tidak jarang pemahaman itu dilakukan tanpa bekal ilmu yang memadai. Institusi ulama dirubuhkan. Muncullah mufassir atau mujtahid amatir.
Perlahan-lahan kaum ulama tersingkir. Mula-mula dari mimbar-mimbar pengajian. Lama kelamaan, juga dari mimbar-mimbar Jumat. Para cendikiawan – atau yang mengaku cendekiawan - tampil menggantikan ulama. Di desa, kepemimpinan ulama memudar dengan menguatnya kepemimpinan formal. Berbarengan dengan deinstitusionalisasi ulama, sosialisasi nilai-nilai keislaman berjalan tanpa arah (atau menuju berbagai arah). Ramainya pendapat – yang kebanyakan dikeluarkan orang awam - membingungkan umat. Dari sinilah sebetulnya penyebab lahirnya kelompok-kelompok sempalan.
Disintegrasi
Kelompok sempalan umumnya lahir dari organisasi, di mana peranan ulama tidak begitu kuat. Tokoh-tokoh lahir, mencoba memberi jawaban kepada masalah-masalah aktual. Dengan pengetahuan yang kurang, mereka melahirkan jawaban-jawaban simplistis. Di sekitar mereka berkumpul jamaah yang juga berpikir sederhana. Terjadilah fragmentasi umat, menjadi serpihan-serpihan kecil.
Di kalangan ulama juga terjadi perbedaan pendapat. Tetapi dampak perbedaan ini dapat diminimalkan, karena ulama mempunyai konvensi-konvensi baku untuk mengatasinya. Konvensi-konvensi itu diwujudkan dalam ilmu-ilmu Islam tradisional. Perbedaan pendapat di kalangan awam sukar diatasi. Mereka tidak mengenal konvensi-konvensi itu. Akhirnya perbedaan pendapat melahirkan perpecahan. Paling repot, bila orang awam itu, sudah dianggap ulama karena sering ber-tabligh atau menjadi anggota Majelis Ulama.
Kaum modernis harus mengakui bahwa larangan taqlid ternyata disfungsional. Pada institusi taqlid ternyata ada kekuatan yang mengintegrasikan umat.
Kamis, 28 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
.jpg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar