Kamis, 28 Agustus 2008

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani

Teladan Keteguhan Jiwa Sang Sufi


Setiap 11 Rabi’ul Akhir, kaum muslimin memperingati haul Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, pendiri Thariqah Qadiriyyah. Sayang, selama ini yang menjadi kekaguman orang ialah keajaiban karamahnya. Padahal, keteguhan jiwa dan istiqamahnya dalam beribadah justru merupakan karamah terbesar yang seharusnya diteladani.

Baghdad, Ahad, 3 Shafar 555 Hijriyyah. Guru mursyid itu baru saja menyelesaikan wudhunya. Dengan terompah yang masih basah, ia berjalan menuju sajadahnya yang telah terhampar di lantai masjid, lalu menunaikan shalat sunnah dua rakaat, sementara beberapa murid duduk penuh ta’zhim menunggu, tak jauh dari tempat sang mursyid shalat. 

Ketika sang allamah mengucap salam, dan baru saja mengalunkan dua-tiga kalimat dzikir, tiba-tiba sang guru paruh baya bertubuh tegap itu melontarkan salah satu terompahnya ke angkasa sambil berteriak keras. Belum lagi lenyap keterkejutan para santri, tiba-tiba ia melemparkan terompah yang satu lagi. Sepasang terompah itu pun lenyap di angkasa. 

Setelah itu ia melanjutkan dzikir, seolah tak terjadi apa-apa. Tak seorang santri pun berani menanyakan keanehan perilaku sang mursyid besar, yang tiada lain Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani. 


Sekitar 23 hari kemudian, dua orang santri Syaikh Abdul Qadir, yaitu Syaikh Abu Umar Utsman As-Sairafi dan Syaikh Abu Muhammad Abdul Haqqi Al-Harimiyyah, dikejutkan oleh kedatangan serombongan kafilah dagang di pintu gerbang madrasah mereka. Mereka menyatakan ingin bertemu dengan sang guru untuk menyampaikan nadzar. 

Maka Syaikh Abu Umar pun menghadap Syaikh Abdul Qadir, menyampaikan pesan tamunya. Dengan tenang Syaikh Abdul Qadir memerintahkan agar Abu Umar menerima apa pun yang akan diberikan oleh tamunya. Kafilah itu menyerahkan hadiah, terdiri atas perhiasan emas dan pakaian dari sutra, serta sepasang terompah tua – yang sangat mereka kenal sebagai terompah Syaikh Abdul Qadir. 

“Bagaimana terompah guru kami berada di tangan kalian?” tanya kedua santri thariqah itu terheran-heran. 

Pemimpin kafilah itu pun berkisah. Pada 3 Shafar 555 Hijriyyah, mereka dihadang gerombolan perampok di sebuah gurun pasir di luar Jazirah Arab. Karena ketakutan, semua anggota kafilah melarikan diri meninggalkan sebagian barang dagangan mereka. 

Namun tiba-tiba mereka berhenti, karena di depan mereka mulut jurang menganga lebar. Sementara gerombolan perampok semakin mendekat. Sambil bersorak sorai mereka mengejar anggota kafilah yang membawa lari sisa-sisa barang dagangan. Apa boleh buat, anggota kafilah itu pun pasrah. Di tengah ketakutan yang mencekam, pemimpin kafilah itu berdoa, “Ya Allah, dengan berkah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, selamatkanlah kami. Jika selamat, kami bernadzar akan memberikan hadiah kepada beliau.” 

Ajaib, tiba-tiba sorak sorai perampok itu terhenti, berganti dengan teriakan histeris ketakutan. Dan sesaat kemudian sepi, hening. Tak lama sesudah itu kepala perampok mendatangi kafilah dagang dengan wajah ketakutan. Katanya dengan suara gemetar terbata-bata, “Saudaraku, ikutlah denganku, ambillah kembali barang-barang kalian yang kami rampok, dan tolong ampuni kami.” 

Para anggota kafilah terheran-heran dan saling berpandangan. Dengan takut-takut mereka mengikuti si perampok. Sampai di tempat mereka semula meninggalkan barang dagangan, mereka menyaksikan pemandangan yang lebih aneh lagi. Dua orang tetua perampok tewas dengan kepala luka parah. Di sebelah masing-masing tergeletak sebuah terompah yang masih basah, sementara sebagian besar anggota perampok terduduk lemas dengan wajah ketakutan. 


Menurut salah seorang perampok, ketika mereka tengah berpesta pora, tiba-tiba sebuah terompah melesat dan menghantam kepala salah seorang pemimpin begal. Belum hilang keterkejutan mereka, tiba-tiba sebuah terompah lagi melesat dan menghantam kepala pemimpin begal lainnya. Keduanya tewas seketika. “Melesatnya terompah itu diiringi dengan teriakan keras yang membuat lutut kami gemetaran dan terduduk lemas,” katanya. 

Sang guru mursyid, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, memang termasyhur sebagai salah seorang sulthanul awliya’ (penghulu para wali Allah) yang banyak memiliki karamah, bahkan sejak sebelum ia lahir. Ketika ia masih dalam kandungan ibundanya, Fatimah binti Abdullah Al-Shama’i Al-Husaini, ayahandanya, Abu Shalih Musa Zanki Dausath, bermimpi bertemu Rasulullah SAW bersama sejumlah sahabat, para mujahidin, dan para wali. Dalam mimpi itu Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Abu Shalih, Allah SWT akan memberi amanah seorang anak laki-laki yang kelak akan mendapat pangkat tinggi dalam kewalian, sebagaimana aku mendapat pangkat tertinggi dalam kenabian dan kerasulan.” 

Saat melahirkan bayi Abdul Qadir pada 1 Ramadhan 471 Hijriyyah di Desa Jilan, dekat Tabaristan, Irak, sang ibunda telah berusia 60 tahun lebih – bukan usia yang lazim bagi perempuan untuk melahirkan seorang bayi. Keajaiban lainnya, tak seperti bayi pada umumnya, bayi Abdul Qadir tidak pernah menyusu kepada ibundanya di siang hari bulan Ramadhan. Sang bayi baru menangis minta disusui saat mentari tenggelam di ufuk barat, yang menandakan datangnya waktu maghrib. Uniknya, keanehan luar biasa itu dimanfaatkan oleh warga Jilan sebagai pedoman waktu imsak dan berbuka puasa. 

Kematian dalam Mimpi
Kedekatan Syaikh Abdul Qadir dengan Allah SWT dan ketinggian maqamnya sudah tampak sejak belia. Suatu hari, Abul Muzhaffar Hasan bin Tamimi, seorang saudagar, ketika hendak melakukan perjalanan niaga, seperti lazimnya tradisi saat itu, menghadap Syaikh Hammad bin Muslim Ad-Dabbas, ulama sepuh yang waskita, untuk mohon doa restu. Namun, tak seperti yang diharapkan, Syaikh Hammad malah mengatakan, rombongan kafilahnya akan dirampok dan ia akan mati dibunuh. Maka Abul Muzhaffar pun pulang dengan cemas dan hati berdebar-debar.

Di tengah jalan ia berjumpa dengan Abdul Qadir, yang saat itu baru berusia 17 tahun. Melihat wajah gundah sang saudagar, Abdul Qadir menyapa dan menanyakan keadaannya. Dengan sedih Abul Muzhaffar menceritakan ramalan Syaikh Hammad. Namun, dengan tenang Abdul Qadir berkata, “Pergilah, Tuan akan selamat dan mendapat untung besar.”

Ternyata benar. Abul Muzhaffar mendapat untung besar.

Dalam perjalanan pulang, ketika ia buang air besar di WC umum, dompetnya yang berisi hasil perniagaan ketinggalan. Malamnya, ia tertidur pulas di penginapan karena kelelahan, dan bermimpi dirampok sekelompok orang Badui. Dalam mimpinya, salah seorang perampok menghunjamkan pisau ke dadanya. Abul Muzhaffar terkejut dan terbangun. Anehnya, ia merasakan nyeri di dada meski tak ada luka sama sekali. Seketika ia teringat dompet yang ketinggalan di WC umum. Ia pun lari, kembali WC umum. Ternyata dompet itu masih ada, lengkap dengan isinya.

Ia pun segera pulang. Sampai di Baghdad ia berniat menemui Syaikh Hammad dan Syaikh Abdul Qadir. Ia berpikir keras, sowan ke Syaikh Hammad yang lebih tua dulu, ataukah menemui Abdul Qadir, yang meski masih belia ucapannya benar. Tiba-tiba ia berpapasan dengan Syaikh Hammad, yang langsung menyuruhnya menemui Abdul Qadir. “Pemuda itu adalah waliyullah yang benar-benar dicintai Allah. Ia telah mendoakan keselamatanmu sebanyak 17 kali, sehingga takdir kematianmu hanya kamu rasakan dalam mimpi, sedangkan takdir kefakiranmu hanya berupa lupa meletakkan dompet,” tuturnya.

Dengan bergegas Abul Muzhaffar menemui sang waliyullah. Begitu berjumpa, belum sempat ia membuka mulut, Syaikh Abdul Qadir sudah mendahului berkata, “Ia memang benar. Aku memang telah mendoakanmu 17 kali, kemudian berdoa lagi sampai 70 kali, sehingga terjadilah seperti yang diungkapkan oleh Syaikh Hammad itu.” Ajaib, Syaikh Abdul Qadir tahu belaka apa yang diucapkan oleh Syaikh Hammad.

Masih banyak karamah pendiri Thariqah Qadiriyyah yang mendunia ini. Bahkan, dalam salah satu manaqibnya, An-Nurul Burhani fi Manaqibi Sulthanil Awliya’ Syaikh Abdil Qadir Al-Jilani, terdapat satu bab khusus yang mengisahkan berbagai karamah sang wali yang pernah disaksikan oleh banyak orang.

Karamah-karamah Syaikh Abdul Qadir memang melegenda, hingga tak jarang masyarakat awam menyebut-nyebut namanya sebagai upaya mendapatkan keluarbiasaan atau kesaktian. Beberapa perguruan bela diri tenaga dalam yang “Islami”, misalnya, menjadikan pembacaan manaqib Syaikh Abdul Qadir sebagai ritus untuk meyempurnakan ilmu kesaktian, dan sebagainya.

Sayang sekali jika untuk menghormati atau meneladani perikehidupan sang waliyullah, selama ini (sebagian) kaum muslimin hanya mengingat atau mengagumi keajaiban karamah-karamahnya. Padahal, yang paling afdhal ialah mempelajari manaqib alias biografi Syaikh Abdul Qadir, yang sarat dengan perilaku keshalihan dan kegigihan dalam belajar serta beribadah, yang membuatnya layak diangkat sebagai wali quthb alias penghulu para wali. Dalam manaqib, misalnya, dikisahkan betapa dengan keluhuran budi dan semangat baja untuk mencapai kebenaran sejati, Syaikh Abdul Qadir melakukan riyadhah bathiniyyah, tirakat yang sangat berat.

Salah satu contohnya kisah kejujuran Abdul Qadir kecil – sebagai warisan dari leluhurnya yang mulia – ketika akan berangkat nyantri ke Baghdad. Ketika itu ibundanya membekalinya 40 keping uang emas warisan ayahandanya. Supaya aman dalam perjalanan, uang yang sangat berharga itu dijahitkan dalam jubahnya. Ibunya berpesan agar Abdul Qadir selalu bersikap benar dan jujur, tidak berbohong. Maka, selama hayatnya pesan ibundanya itu senantiasa ia pegang teguh.


Dalam perjalanan ia dihadang sekelompok perampok. Salah seorang perampok bertanya, apakah ia memiliki barang berharga. Abdul Qadir menjawab dengan jujur, ia memiliki 40 keping uang emas. Anehnya, perampok itu malah tidak percaya, dan berlalu pergi.

Tak lama kemudian Abdul Qadir dihadang lagi oleh perampok yang lain. Kali itu mereka adalah para perampok yang jeli. Mereka menguras habis semua harta milik rombongan kafilah yang seperjalanan dengan Abdul Qadir.

Ketika tiba giliran untuk memeriksa Abdul Qadir, mereka membentak apakah dia punya harta berharga. Abdul Qadir menjawab dengan jujur, ia punya 40 keping emas, sambil menunjukkan jahitan tempat menyimpan bekal dari ibundanya itu. Tapi, pemimpin perampok yang memeriksanya malah terkejut dan heran, mengapa dia mengaku dengan jujur.
“Aku sudah berjanji kepada Ibu untuk selalu jujur dan benar dalam keadaan apa pun,” kata Abdul Qadir.

Karena penasaran, perampok itu membentak lagi, “Tapi, sekarang ibumu kan tidak ada di sini. Ia tidak akan tahu jika engkau berbohong.”

“Betul. Tetapi janjiku untuk selalu jujur dan benar itu disaksikan Allah SWT, yang tidak pernah tidur dan alpa dalam mengawasi hamba-hamba-Nya,” jawab Abdul Qadir dengan tenang.

Ajaib. Kontan si pemimpin perampok langsung lemas, kemudian bersimpuh di hadapan Abdul Qadir, yang masih muda itu. “Engkau telah menjaga janji kepada ibumu, sedangkan kami melupakan janji kami kepada Sang Pencipta,” ujarnya, yang kemudian bertobat.
Sejak itu, para perampok tersebut menjadi murid Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani.

Suci Sepanjang Malam
Usai menuntut ilmu dari para ulama dan sufi besar, Syaikh Abdul Qadir mengembara mengarungi sahara Irak selama 25 tahun, melewati rumput berduri dan tanah terjal. Pengembaraan ini merupakan jawaban atas kegelisahannya melihat kebobrokan moralitas sebagian besar masyarakat waktu itu, sekaligus untuk mengasah kepekaan batiniahnya. Selama pengembaraan spiritual itu, sang sufi selalu berusaha menghindari pertemuan dengan manusia lain. Ia hanya mengenakan pakaian sederhana berupa jubah dari bulu domba serta tutup kepala dari sesobek kain, tanpa alas kaki.

Selama mengembara, ia hanya makan buah-buahan segar dari pepohonan, rerumputan muda di tepi sungai, dan sisa sayur-mayur yang sudah dibuang. Minum pun hanya secukupnya. Sementara waktu tidurnya begitu singkat, sehingga nyaris selalu terjaga. Di kemudian hari, kesederhanaan itu tetap dipertahankannya: mengenakan jubah thoilusan, yang menutup sampai kepala, dan selalu mengendarai bighal alias keledai ke mana pun ia pergi

Upaya pembersihan jiwa itu juga dengan cara menghindarkan diri secara total dari segala hal yang meragukan, bahkan juga mengurangi makan dan minum yang halal. Berkat upayanya yang sangat keras itulah, ia kemudian mendapat penjagaan dari Allah SWT.

Pernah, dalam suatu perjalanan ketika ia tidak makan dan minum selama beberapa hari, tiba-tiba datanglah seseorang menyerahkan sekantung uang dirham. Meski uang itu cukup untuk bekal perjalanan selama beberapa hari, Syaikh Abdul Qadir hanya mengambil sedikit untuk membeli beberapa kerat roti sebagai pengganjal perut.

Namun, inilah penjagaan Allah SWT itu. Belum lagi makanan itu masuk ke mulutnya, tiba-tiba selembar kertas jatuh dari langit bertuliskan peringatan yang sangat mengejutkan: Sesungguhnya syahwat itu hanya untuk hamba-Ku yang lemah, sebagai penolong dalam melaksanakan ketaatan kepada-Ku. Sedangkan hamba-Ku yang kuat seharusnya tidak lagi mempunyai syahwat apa pun.

Tentu saja Syaikh Abdul Qadir terkejut. Ia pun segera meninggalkan makanan halal tersebut.

Riyadhah lain yang dilakukan oleh waliyullah ini sebagai upaya untuk membersihkan jiwa ialah dengan selalu menjaga kesucian dari hadats kecil maupun besar. Salah seorang khadimnya, Syaikh Abu Abillah Muhammad bin Abdul Fatah Al-Harawi, yang melayani Syaikh Abdul Qadir selama 40 tahun, bersaksi bahwa sang waliyullah selalu melaksanakan shalat Shubuh dengan wudhu shalat Isya. Artinya, sepanjang waktu itu Syaikh Abdul Qadir hampir-hampir tak pernah tidur di malam hari, dan dalam keadaan suci.

Kisah lain yang mengungkapkan upaya penjagaan kesucian jasmani dan ruhaninya termaktub dalam kitab Lujjainid Dani fi Manaqibi Sulthanil Awliya’ Syaikh Abdil Qadir Al-Jilani, karya Syaikh Ja’far bin Hasan bin Abdulkarim Al-Barzanji.

Dikisahkan, pada suatu malam yang sangat dingin, ketika Syaikh Abdul Qadir tengah duduk bersandar pada salah satu tiang bekas reruntuhan istana Kisra, Persia, tiba-tiba ia terserang kantuk sangat hebat sehingga tertidur. Tak lama kemudian ia terbangun dan mendapati dirinya mimpi basah. Tak ingin berlama-lama menanggung hadats, ia pun segera bangkit dan mandi besar di salah satu anak sungai yang mengalir tak jauh dari situ.

Usai bersuci ia meneruskan dzikirnya sambil bersandar di tiang yang sama. Ternyata ia tertidur kembali dan mimpi basah lagi. Tanpa menghiraukan dinginnya cuaca dan derasnya angin gurun pasir di malam hari, ia mandi junub lagi di sungai, lalu kembali berdzikir.

Namun peristiwa yang sama terulang lagi, dan sang mursyid pun kembali mandi junub. Konon, peristiwa ajaib itu berulang hingga 40 kali dalam semalam hingga waktu fajar. Kemudian sang wali beranjak dari tempat itu.

Dalam beberapa buku manaqib Syaikh Abdul Qadir, pengalaman spiritual menyangkut mimpi basah sampai 40 kali dalam semalam itu terlalu ditonjolkan. Padahal, makna terpenting dari kejadian itu ialah sikap keistiqamahan sang wali yang tetap mandi junub walaupun dalam keadaan cuaca sangat dingin, sementara mimpi basah itu hanyalah sebagai sarana bagi Allah SWT untuk menguji kekasih-Nya. Adapun angka 40 kali merupakan simbol sangat seringnya suatu kejadian. 

Keseriusannya menunaikan syari’at dan mengamalkan tasawuf, akhirnya mempertemukannya dengan Nabi Khidhir AS. Uniknya, meskipun bersahabat selama tiga tahun, mereka tidak pernah saling mengenal. Dalam persahabatan ini pun keteguhan hati Syaikh Abdul Qadir kembali diuji.

Agar persahabatan mereka tidak terputus, Nabi Khidhir mensyaratkan agar sang wali tidak meninggalkan tempat duduknya sampai ia kembali. Maka selama tiga tahun Syaikh Abdul Qadir tidak meninggalkan tempat yang mereka sepakati, kecuali untuk bersuci.

Berbagai godaan menghampirinya, namun ia tetap bertahan. Nabi Khidhir AS hanya menjenguk setahun sekali, itu pun hanya sejenak.

Masih banyak kisah yang menceritakan kesungguhan mujahadah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani dalam membersihkan qalbu dan jiwanya. Perjuangan berat disertai sikap istiqamahnya mengantarkannya menjadi penghulu para awliya dan kaum sufi

Efek Samping Gerakan Modernis

Efek Sampingan Gerakan Modernis

Depribumisasi

Proses akulturasi ajaran Islam di Indonesia telah melewati jalan yang panjang. Unsur-unsur Islam diintegrasikan pada budaya lokal dan sebaliknya. Islam kemudian menjadi bagian yang tidak terasa asing; Islam telah mempribumi. Bagi orang Melayu, budaya Melayu adalah Islam. Buya Hamka pernah mengatakan bahwa kata “Minang” dalam “Minangkabau” artinya Islam, sehingga kalau Islam dilepaskan dari Minangkabau, yang tinggal adalah “kabau” (kerbau). Bagi orang-orang Sunda, masuk Nasrani akan menyebabkan orang tidak disebut orang Sunda lagi. Hal yang sama berlaku bagi orang Bugis, Banjar, dan suku-suku lainnya di Indonesia. Pada suku Jawa, pribumisasi Islam terjadi dalam perpaduan unsur-unsur budaya Jawa dan Islam. Begitu padunya percampuran ini sehingga kelak kaum modernis menyebutnya sebagai sinkretisme. Upacara-upacara lokal diberi warna Islam dan diberi nama “selametan”. Lebaran adalah perpaduan Idul Fitri dengan Grebegan. Bulan Islam dijadikan bulan-bulan dalam tahun Saka (Muharram menjadi Suro, Dzulqa’idah menjadi Hapit, Dzulhijjah menjadi Besar). Bagi orang Jawa kebanyakan, kejawaan adalah keislaman. Sufisme Islam tidak jarang melebur dalam kejawen.

Kaum modernis datang dengan puritanisme mereka. Terjadilah proses depribumisasi. Unsur-unsur lokal “di-bid’ah-kan” (tidak jarang dimusyrikkan). Karena tidak ada dalam Al-Quran dan Hadis, kontribusi lokal pada ajaran Islam harus dihilangkan. Islam kaum modernis melepaskan diri dari akar-akar pribumi. Islam kaum modernis menjadi Islam yang teralienasi. Itulah sebabnya, barangkali, mengapa kaum modernis lebih banyak menarik orang-orang urban dan metropolitan. …

… Dengan kata lain, dinamika NU dalam Muktamar menunjukkan kerinduan orang kepada Islam yang lebih pribumi, Islam yang indigen, bukan Islam yang alien. Yang dibutuhkan adalah Islamnya para nabi yang – menurut istilah Al-Quran- berbicara dengan bahasa kaumnya: Tidaklah Kami utus seorang Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya, supaya ia menjelaskan kepada mereka. (QS 14:4)

 

Demistikisasi 

Banyak ahli sejarah menunjukkan proses penyebaran Islam lewat Islam yang mistikal. Istilah “wali” bagi penyebar Islam awal jelas mencerminkan dimensi ini. Lagi pula, mistikisme Islam mempunyai “common ground” dengan agama-agama Hindu dan Budha. Arberry mendefinisikan tashawwuf sebagai mistikisme yang monoteistis, mistikisme yang berlandaskan tawhid. Penyebaran Islam yang cepat di Indonesia dapat diduga karena unsur mistikisme itu. Tidak terbayangkan apa yang terjadi bila Islam yang pertama kali masuk ke sini adalah Islam legalistis (yang fiqhiyyah) seperti yang dibawa oleh kaum modernis (yang terpengaruh Wahabisme).

Tasawuf menarik kaum priyayi yang mencari sangkan ning dumadi dan jatining urip, juga menarik kaum abangan yang mencari penenang batin dari kemelut kehidupan yang gagal; dan lebih-lebih menarik kaum santri yang ingin memperoleh kekuatan batin dalam menghadapi sistem dominan yang zalim. Berbagai macam thariqah tumbuh subur di Indonesia. Menurut Sartono, dalam The Protest Movement in Rural Java, banyak gerakan perlawanan rakyat desa di Indonesia diilhami dan dipimpin oleh gerakan-gerakan tasawuf. Kita dapat menambahkan gerakan Mahdi di Sudan, Sanusiyah di Tunisia dan Safawiyah di Iran.

Kaum modernis datang menuding tasawuf sebagai penyebab kelemahan umat Islam. Segala hal yang berkaitan dengan tasawuf dihantam. Bergulirlah bola demistikisasi, yang akibatnya terasa sampai sekarang. Sebagai antitesis sufi yang mencari makna “rahasia” syariat, kaum modernis menghidupkan formalisme. Bila kaum sufi disebut ahli sarair kaum modernis menjadi ahli zhawahir. Ajaran Islam menjadi fiqh-sentris. Nash hanya dipahami secara lahiriah. Dalam upaya untuk memurnikan ajaran Islam, mereka melepaskan teks-teks agama dari konteksnya. Sekarang, pusat perhatian adalah fiqh – aspek legal ajaran Islam. Yang penting adalah dikotomi sunnah-bid’ah, halal-haram, tawhid-syirk, Islam-jahiliah. Proses penyucian batin, peningkatan akhlak dan latihan-latihan kejiwaan tidak lagi mendapat perhatian. Kaum modernis lebih memperhatikan cara meluruskan tangan ketika takbiratul ihram ketimbang meluruskan hati ketika beribadat. Mereka menilai orang dari ritus-ritus formal – misalnya cara-cara shalat - dan bukan dari amalnya di masyarakat. Anda boleh jadi dermawan, penyantun, dan bergaul dengan baik; tetapi bila Anda ahli bid’ah, Anda masuk neraka. Terkenal di kalangan kaum modernis hadis, “Barangsiapa beramal tidak sesuai dengan perintahku, ia tertolak”.

Ketika kaum modernis menyingkirkan tasawuf, mereka menyingkirkan pengalaman beragama yang emosional – agama yang dinikmati. Dzikr, shalawat, wirid dan hal-hal lain yang memberikan kehangatan beragama dikurangi. Orang kehilangan agama yang memuaskan dahaga batin. Pengalaman beragama menjadi gersang. Orang mencari ketenteraman. Sementara itu agama kaum modernis yang rasional menafikan dimensi keberagamaan yang mistikal. Banyak di antara mereka akhirnya lari ke mistikisme lokal. Aliran kepercayaan bertambah subur, mengisi kevakuman yang ditinggalkan oleh kaum modernis.

 

Degaibisasi

Bersamaan dengan menipisnya aspek batiniah dari kehidupan beragama, hal-hal gaib dikecilkan peranannya. Walaupun dengan tegas Al-Quran menyatakan ciri orang takwa itu “yu’minuna bil ghayb,” kaum modernis – dengan rasionalismenya - meremehkan kegaiban. Tidak jarang nash-nash yang menceritakan peristiwa gaib ditakwil, sehingga menjadi “masuk akal” (dan tidak gaib lagi).

… Proses degaibisasi – upaya menjelaskan yang gaib sehingga tidak gaib - melahirkan konseptualisasi dalam dunia fisik – yang dapat diamati dan diukur. Sebab-sebab gaib ditiadakan. Bila Anda mengobati sakit perut dengan Enterostop, Anda mengikuti sebab-sebab lahir. Anda berobat dengan cara-cara yang dibenarkan Islam. Bila Anda mengobatinya dengan membawa Al-Fatihah, Anda musyrik; begitu menurut tawhid kaum modernis. Mengapa? Karena Anda sudah menggunakan sebab-sebab gaib.

Dalam hubungan inilah, kaum modernis memusyrikkan orang yang melakukan tawassul dan tabarruk. Tawassul artinya meminta bantuan atau doa. Mereka membenarkan tawassul kepada orang yang masih hidup, seperti Umar yang tawassul kepada Abbas. Mereka memusyrikkan orang yang tawassul kepada Nabi Muhammad saw., karena Nabi sudah wafat. Meminta doa kepada yang sudah mati adalah hal yang gaib, karena itu syirk. Meminta bantuan kepada yang hidup tidak menyangkut yang gaib, jadi boleh. 

Tabarruk, dari arti katanya saja, sudah melibatkan yang gaib. Tabarruk artinya mengambil berkah: Para santri yang meminum sisa air munum Kiai, peziarah yang mengusap tanah kuburan wali, jamaah haji yang mencium mimbar Nabi di Madinah, orang Indonesia yang minum air Zamzam untuk menyembuhkan penyakit. Kaum modernis menuduh semua perbuatan itu syirk. Walhasil segala hal yang melibatkan perkara yang gaib dianggap syirk, termasuk mempelajari tenaga-tenaga gaib lewat hizb dan riyadhah.

Kita belum melakukan penelitian dampak degaibisasi ini dalam kehidupan ini dalam kehidupan beragama. Untuk sementara, cukuplah kita katakan bahwa salah satu tonggak penghayatan agama adalah keimanan kepada yang gaib. Memperlemah keimanan tentu saja memiskinkan pengalaman beragama.

 

Deinstitusionalisasi

Kepercayaan kepada yang gaib sering memperkukuh institusi-institusi keislaman. Salah satu di antara institusi itu adalah ulama. Tabarruk kepada ulama yang masih hidup memperkuat peranan ulama dalam memimpin umat. Tabarruk kepada ulama yang sudah mati menyambungkan garis sejarah yang melintas ruang dan waktu. Ulama bukan sekadar panutan temporal; ulama juga petunjuk jalan untuk hal-hal yang sakral. Pembicaraannya mempunyai wibawa. Melanggarnya dapat mendatangkan bencana. Dengan kredibilitas seperti itu, komunikasi ulama menjadi sangat efektif.

Dengan menggunakan kerangka ilmu komunikasi, kita dapat menyatakan ulama adalah pemuka pendapat yang perkasa. Ucapannya menjadi kata pemutus. Ia bukan hanya dirujuk dalam masalah agama, tapi juga dalam masalah sosial. Ulama menjadi pemimpin yang polimorfik – memimpin berbagai bidang kehidupan. Kaum modernis datang menghapus taqlid. Semua orang – termasuk yang tidak berkualifikasi - boleh berijtihad. Yang dirujuk bukan ulama, tetapi Al-Quran dan Hadis. Kenyataannya, kalimat ini diperbaiki: Yang dirujuk adalah pemahaman setiap orang tentang Al-Quran dan Hadis. Tidak jarang pemahaman itu dilakukan tanpa bekal ilmu yang memadai. Institusi ulama dirubuhkan. Muncullah mufassir atau mujtahid amatir.

Perlahan-lahan kaum ulama tersingkir. Mula-mula dari mimbar-mimbar pengajian. Lama kelamaan, juga dari mimbar-mimbar Jumat. Para cendikiawan – atau yang mengaku cendekiawan - tampil menggantikan ulama. Di desa, kepemimpinan ulama memudar dengan menguatnya kepemimpinan formal. Berbarengan dengan deinstitusionalisasi ulama, sosialisasi nilai-nilai keislaman berjalan tanpa arah (atau menuju berbagai arah). Ramainya pendapat – yang kebanyakan dikeluarkan orang awam - membingungkan umat. Dari sinilah sebetulnya penyebab lahirnya kelompok-kelompok sempalan.

 

Disintegrasi 

Kelompok sempalan umumnya lahir dari organisasi, di mana peranan ulama tidak begitu kuat. Tokoh-tokoh lahir, mencoba memberi jawaban kepada masalah-masalah aktual. Dengan pengetahuan yang kurang, mereka melahirkan jawaban-jawaban simplistis. Di sekitar mereka berkumpul jamaah yang juga berpikir sederhana. Terjadilah fragmentasi umat, menjadi serpihan-serpihan kecil.

Di kalangan ulama juga terjadi perbedaan pendapat. Tetapi dampak perbedaan ini dapat diminimalkan, karena ulama mempunyai konvensi-konvensi baku untuk mengatasinya. Konvensi-konvensi itu diwujudkan dalam ilmu-ilmu Islam tradisional. Perbedaan pendapat di kalangan awam sukar diatasi. Mereka tidak mengenal konvensi-konvensi itu. Akhirnya perbedaan pendapat melahirkan perpecahan. Paling repot, bila orang awam itu, sudah dianggap ulama karena sering ber-tabligh atau menjadi anggota Majelis Ulama.

Kaum modernis harus mengakui bahwa larangan taqlid ternyata disfungsional. Pada institusi taqlid ternyata ada kekuatan yang mengintegrasikan umat. 

Rabu, 27 Agustus 2008

Kajian Tafsir di Indonesia

  Tafsir al-Qur`ân di Dunia Indonesia-Melayu: Sebuah Penelitian Awal

Oleh : Anthony H. Johns

Di pusat wilayah Asia Tenggara, khususnya Semenanjung Melayu, Sumatra, dan Jawa, terdapat banyak bukti tentang islamisasi di kawasan ini yang berlangsung dalam kurun enam abad. Banyak aspek tentang kehidupan keluarga, struktur sosial, hukum, dan sistem pemerintahan terbentuk oleh pengaruh Islam, serta sejumlah kosa kata Arab terintrodusir ke dalam beberapa bahasa lokal seperti Melayu dan Jawa. Hingga era modern ini, bentuk adaptasi huruf atau tulisan Arab masih banyak digunakan, baik dalam karya-karya bertema agama maupun yang bertema sekuler. Selain itu, banyak karya sastra dan keagamaan yang berasal dari bahasa Arab atau terinspirasi oleh sumber-sumber berbahasa Arab, dan sedikit pengaruh Persia.


Selama satu milenium, bahasa Melayu menjadi bahasa yang paling banyak digunakan di kawasan ini, dan sejak awal Abad XV, bahasa ini memiliki peran khusus dalam dakwah Islam. Peran ini terdokumentasi dalam beberapa manuskrip Melayu yang terpelihara dalam perpustakaan lokal, museum, koleksi keluarga, serta beberapa lembaga di Eropa. Banyak di antaranya yang muncul sebelum akhir Abad XVI dan tidak memberi gambaran yang lengkap tentang transmisi dan perkembangan disiplin keilmuan tradisional yang menjadi dasar kehidupan umat Islam, seperti tafsir, hadis, dan fikih. Banyak karya yang terkait dengan disiplin tersebut ditemukan di pusat-pusat kota yang biasanya merupakan kota pelabuhan di sepanjang Nusantara. Karya-karya ini tidak mencapai jumlah yang signifikan, yang diharapkan dapat menarik perhatian para peneliti, atau menjadi standar riset tentang Islam di kawasan tersebut.

Sumber-sumber seperti itu sulit dimengerti dan tidak lengkap. Kesulitan ini semakin menjadi dengan adanya fakta bahwa kelangsungan hidup manuskrip di daerah tropis, atau di kawasan yang politiknya tidak stabil, hanya merupakan masalah kesempatan saja. Kesempatanlah yang menjaga karya-karya, sehingga masih bertahan atau telah dikopi di kawasan itu, dan kesempatanlah yang membuat karya-karya itu dikoleksi dan dibawa ke Eropa dan akhirnya tersebar ke berbagai perpustakaan dan museum, ketika kapal-kapal Eropa pertama memasuki kawasan tersebut pada akhir Abad XVI. Jadi, sumber-sumber primer yang tersedia tidak representatif untuk penyebaran berbagai mazhab dan aliran. Sumber-sumber primer ini juga sangat mendalam. Seolah-olah ini tidak problematik, pengatalogan manuskrip-manuskrip ini tidak dapat diandalkan.[1]

Hal ini berhubungan khusus dengan minimnya manuskrip, tetapi ini dapat direfleksikan dalam keadaan yang lain. Bahasa Arab merupakan bahasa teks dasar yang digunakan untuk perintah-perintah agama: terjemahan dan tafsir atas teks ini dilakukan secara oral di dunia Melayu dan sangat jarang ditulis. Jadi, proses islamisasi memunculkan sebuah bentuk diglossia. Bahasa Arab, sebagai bahasa wahyu, memiliki posisi khusus. Ini membuat bahasa Arab memiliki otoritas terus-menerus dalam beberapa hal, yaitu: agama, intelektual, dan kehidupan sosial di semua bahasa lokal di kawasan itu. Semua ini terus memainkan perannya dalam masyarakat, sehingga dalam beberapa tahun bahasa-bahasa lokal itu menyerap berbagai kata Arab. Bahasa Arab kemudian menjadi bahasa pembelajaran yang otoritatif, dan bahasa Melayu menjadi bahasa populer. Lama setelah itu, vernakularisasi terjadi, dan sejak pertengahan Abad XVI, terdapat sejumlah terjemahan karya-karya berbahasa Arab ke dalam bahasa Melayu dan sejumlah karya asli berbahasa Melayu yang masih bertahan.

Dalam mengupayakan sebuah pendekatan sejarah terhadap tafsir di dunia Melayu, artikel ini tidak lebih dari membuat profil perkembangan disiplin ini berdasarkan beberapa karya-karya yang masih bertahan. Pendekatan saya kemudian menjadi eklektik. Artikel ini mengambil starting point dari sejumlah perspektif, tetapi tidak mampu menjelaskan seluruhnya. Namun, ada satu premis dasar yang mesti diterima, terlepas dari pendekatan apa pun yang digunakan atau bidang kajian Islam mana pun yang diteliti. Studi Islam di kawasan yang sekarang mencakup Indonesia itu pertama-tama mesti terkait dengan pendudukan kota dan negara-negara (kota pelabuhan) yang dulunya merupakan pusat pertama terbentuknya studi Islam dan penyebaran agama itu. Ini semua merupakan tempat-tempat inti studi Islam diajarkan dan dipelajari pertama kali, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Islam yang sedang berkembang. Di antara disiplin itu adalah tafsir al-Qur‘ân yang menempati posisi penting.

Entitas politik Islam terawal di kawasan Melayu terdapat di kawasan Pantai Utara dan Timur Sumatra. Eksistensi dan nama-nama penguasanya dibuktikan dengan batu nisan, tetapi hanya sedikit bukti sejarah, ekonomi, intelektual, dan kehidupan beragama yang bertahan. Kita berada dalam posisi yang lebih baik dari Kerajaan Malaka (1400—1511 M). Ada banyak bukti tentang para rajanya, kekuasaan geopolitik-nya, dan kekayaan budaya lainnya yang dapat dirujuk pada sejarah anekdot, yaitu sejarah Melayu.[2] Akan tetapi, tidak ada manuskrip yang bertahan hidup dari periode ini. Resensi tertua sejarah Melayu ditulis pada 1612, dan manuskrip tertua yang bertahan hidup adalah sebuah salinan yang dilakukan oleh Raffles pada tahun-tahun awal Abad XIX.

Sebuah kerajaan lokal muncul dengan sejarah yang sama dengan Aceh, dan berlokasi di sebelah utara ujung Sumatra sepanjang Abad XVI. Kita patut bersyukur dengan tersedianya banyak sumber, baik berbahasa lokal maupun Eropa. Kita memiliki dasar yang lebih kuat tentang Aceh daripada Malaka, meskipun ini masih bersifat relatif. Kita misalnya dapat mengidentifikasi seorang penulis, Hamzah Fansuri, yang hidup antara tahun 1550—1599,[3] atau kemungkinan, menurut penemuan mutakhir meninggal di Mekkah tahun 1527.[4] Beberapa data menunjukkan gambaran kehidupannya: misalnya beliau belajar di Barus dan Pasai, dan kemungkinan beberapa tahun di Shahr al-Nawi di Thailand, mengunjungi Bagdad dan Madinah, berhaji, dan boleh jadi menghembuskan napas terakhirnya di Mekkah. Tak kalah pentingnya adalah sejumlah karya tulisnya yang membuktikan bahwa ia adalah seorang penyair ulung. Karya tulisnya itu termasuk lebih dari tiga puluh syair yang bertema tasawuf dan sejumlah karya prosa bertema filsafat-tasawuf yang ditulis dalam bahasa Melayu yang menyusun strukturnya. Tidak ada karya tafsir seperti itu yang diidentikkan kepadanya. Namun, dalam karya prosa dan puisinya, beliau menerjemahkan sejumlah ayat al-Qur‘ân ke dalam bahasa Melayu yang indah—kebanyakan ayat yang terkait dengan tasawuf—di mana ia menjelaskan interpretasi sufistik dalam tradisi Ibn ‘Arabî. Ia menyatukannya ke dalam syair-syair dan mencampur bahasa Arab dan Melayu dengan kelihaian yang luar biasa. 

Salah satu contoh yang sangat indah dari salah satu sajak empat barisnya (quatrains) terhadap Q.S. al-Ikhlâsh [112]:
laut itulah yang bernama ahad
terlalu lengkap pada asy‘us-samad
olehnya itulah lam yalid wa lam yulad
wa lam yakun lahu kufu‘an ahad[5]  

Untaian kata dan frasa Arab-Melayu terasa sangat fasih, serta penjelasan yang bernuansa mistik dan teosofinya amat jelas. Semuanya menggambarkan kejeniusan penulisnya. Tulisan-tulisan Hamzah merupakan hasil pergulatan panjang dari penyatuan dua bahasa yang telah ditanamkan akarnya oleh Islam di kawasan tersebut. Kemampuan yang ia tunjukkan dan kecenderungan religius yang ia ekspresikan memiliki karakter kesusastraan yang sangat besar. Terjemahan pertama al-Qur‘ân ke bahasa Melayu, dan selanjutnya akar-akar tradisi tafsir, dapat ditemukan dalam karya-karyanya.

Banyak alasan keberlangsungan syair-syair tersebut. Syair-syair tersebut ditulis oleh seorang sufi besar tentang spiritual yang sangat bernilai bagi mereka. Ini juga disebabkan oleh nilai tinggi yang ada dalam syair yang dilestarikan tersebut, meskipun ada persaingan mazhab yang menyebabkan kehancurannya. Hal ini terlepas dari fakta bahwa beberapa di antaranya menemukan jalan kembali ke Belanda. Meskipun tulisan-tulisannya bukan tafsir, karya tesebut merupakan bukti—meski tidak sepenuhnya—adanya tradisi tafsir di Aceh saat ini.

Bukti selanjutnya adalah sebuah penggalan karya tafsir. Ini adalah sebuah manuskrip tertanggal sebelum tahun 1620 yang dibawa ke Belanda oleh sebuah armada Belanda. Manuskrip ini terdiri dari terjemahan Melayu dan tafsir Q.S. al-Kahf [18].[6] Bahasanya sangat fasih dan idiomatis. Jelasnya, karya tersebut termasuk kajian al-Qur‘ân yang telah terbangun dengan baik, dan yang—tidak kalah dari terjemahan Hamzah—telah mencapai standar yang tinggi. Meskipun tidak ada pengarang yang terindikasi, dapat dipastikan bahwa karya tersebut adalah terjemahan tafsir al-Khâzin[7] (w. 1340) atas surah al-Kahf [18]. Karya ini merefleksikan perbedaan penafsiran atas surah itu dan mazhab tasawuf yang berbeda dengan Hamzah Fansuri. Selain itu, karya tersebut disiapkan bagi pelajar di berbagai tingkatan. Karya ini juga menunjukkan tradisi studi Islam yang beragam, yang berasal dari guru dan mazhab yang berbeda. 

Dalam kesusastraan, Hamzah dikenal memiliki sejumlah pengikut. Diduga di antara mereka adalah seorang rekan sesama warga Aceh, Syamsuddin,[8] yang muncul sebagai ulama terkemuka di Istana Sultan Iskandar Muda, penguasa Aceh 1605—1636. Di awal abad tersebut, Aceh telah menjadi sebuah kekuatan di kancah internasional. Iskandar Muda menjalin hubungan erat dengan Dinasti Utsmani dan Mughal sebagai penguasa kerajaan besar Muslim di kawasan tersebut dan menerima misi dagang dari Eropa. Banyak pengunjung asing ke Aceh ketika istana merayakan dua hari besar dalam penanggalan Islam, penghujung bulan suci Ramadan dan hari Kurban di bulan Haji. Kawasan tersebut dikunjungi oleh ulama-ulama dari Asia Selatan dan Timur Tengah, serta memiliki reputasi di seantero nusantara sebagai pintu gerbang menuju Mekkah.[9] Bukti tersebut menunjukkan bahwa madrasah yang merepresentasikan tradisi studi Islam yang berbeda berkembang di kawasan tersebut.  

Di masa kesultanan Iskandar Muda, Syamsuddin memangku tiga peran sekaligus, yaitu: ulama, menteri luar negeri, dan penasehat pribadi raja. Beliau seorang pengikut Naqsyabandi dan menggiring sang Sultan ke tarekat tersebut. Dalam banyak karya, ia disebut sebagai Syaikh al-Islâm. Sejumlah tulisannya yang bertema tasawuf telah dipublikasi. Seperti halnya Hamzah Fansuri, ia termasuk pengikut Ibn ‘Arabi, tetapi dalam tulisan-tulisannya terdapat bentuk teosofi Ibn ‘Arabi yang berasal dari sufi India Utara, Muhammad b. Fadhl Allâh, yang menjadi populer sepeninggal Hamzah. Selain itu, beliau adalah penulis pertama Melayu yang kita kenal menulis dalam bahasa Arab.[10] Fakta bahwa ia menulis dalam bahasa Arab dan Melayu—karya ilmiahnya lebih banyak dalam bahasa Arab, sedangkan karya eksposisinya (syarh) yang terkait dengan teosofi ditulis dalam bahasa Melayu—merupakan gambaran lebih jauh tentang tradisi diglossia telah hadir lebih awal. 

Tidak ada karya Syamsuddin yang bertahan, termasuk tafsir al-Qur‘ân. Namun, sebagaimana kasus Hamzah, karya-karyanya bertaburan dengan ayat-ayat dan frasa dari al-Qur‘ân. Kebanyakan dari ayat-ayat itu dibubuhi bahasan tasawuf dan diterjemah ke dalam bahasa Melayu dengan makna tasawuf tersebut.

Periode 1607 dan 1636 merupakan salah satu era kreativitas dan prestasi gemilang dalam kehidupan intelektual umat Islam di Aceh. Namun, sepeninggal Sultan Iskandar Muda tahun 1636, perjuangan memperoleh kekuasaan memuncak oleh representasi dua rivalitas pemikiran Islam, yang turut dipicu oleh kedatangan ulama Gujarat, Nur al-Din al-Raniri ke Aceh, yang kemudian meraih posisi penting dalam Istana Sultan Iskandar II, penerus Iskandar Muda. Dengan penuh semangat, al-Raniri menyerang tradisi mistik Syamsuddin dan Hamzah Fansuri. Kebanyakan kitab-kitabnya dibakar dan pengikutnya dieksekusi. al-Raniri memangku jabatannya hingga tahun 1642, yang sepeninggal Sultan Iskandar II tahun 1641 dan naiknya Sultanah Safiyat al-Din yang berkuasa hingga tahun 1675, ia menghilang dari sejarah orang-orang Aceh. Berapa banyak kitab yang terbakar tidak diketahui pasti jumlahnya. Boleh jadi kitab-kitab yang terbakar itu termasuk karya-karya tafsir.

Sultanah Safiyat al-Din memainkan peran penting dalam pengembangan tafsir di Aceh.[11] Setahun sebelum pengangkatan Sultanah, ‘Abd al-Ra‘uf Singkel (1615-90) meninggalkan Aceh dan menghabiskan dua puluh satu tahun di Tanah Suci. Beliaulah ulama Sumatra pertama yang mengecap pendidikan di Madinah dan beberapa kota di Saudi Arabia dalam jangka waktu yang cukup lama. Lain halnya dengan Hamzah Fansuri yang hanya dikenal pernah berhaji ke Mekkah, ‘Abd al-Ra‘uf Singkel kembali ke Aceh pada tahun 1661 dengan menggendong ijazah untuk menyebarkan Tarekat Syattariyah di Aceh, yang kemudian menyebar luas sepanjang kepulauan Nusantara. Sultanah Safiyat al-Din menjadi pelindung dan penyokong ‘Abd al-Ra‘uf Singkel. Di masa kekuasaan Sultanah itulah ia menyiapkan sebuah tafsir untuk keseluruhan ayat al-Qur‘ân dalam bahasa Melayu yang dinamai Tarjumân al-Mustafîd.[12] Sejumlah manuskrip kitab ini masih dapat dijumpai, tetapi semuanya tidak sempurna. Kitab tersebut diterbitkan di Istanbul tahun 1880-an dan secara berkala dicetak ulang di Singapura, Indonesia, dan Malaysia, tempat kitab tersebut masih banyak digunakan.

Hingga belakangan, kitab ini tidak dikaji lebih jauh dalam dunia akademik karena dianggap hanya sebagai terjemahan bahasa Melayu dari kitab Anwâr al-Tanzîl karya al-Baydhâwî (w. 1286). Hal tersebut dilatari oleh halaman buku paling depan yang tidak tercetak (fly-leaf) memuat pernyataan tiga ulama Mekkah bahwa karya tersebut tidak menambah, mengurangi, maupun mengubah terjemahan sedikit pun dari teks al-Baydhâwî. Berdasar keterangan tersebut, Snouck Hurgronje menyebutnya sebagai terjemahan Melayu dari Anwâr al-Tanzîl. Meskipun demikian, penelitian Peter Riddel membuktikan bahwa kesimpulan seperti itu keliru, keterangan tiga ulama Mekkah tersebut tidak dapat diterima, dan bahwa pernyataan Snouck Hurgronje disebabkan oleh pembacaan yang tergesa-gesa terhadap naskah kitab tersebut. Sejatinya, kitab tersebut merupakan terjemahan Melayu kitab Tafsîr al-Jalâlayn, dilengkapi beberapa kutipan dari al-Baydhâwî, dan uraian yang agak luas dari al-Khâzin terhadap surah al-Kahf ke dalam bahasa Melayu, terutama cerita-cerita tentang asbâb al-nuzûl, serta beberapa anotasi tentang qirâ‘ât yang diperoleh dari Tafsîr al-Jalâlayn ataupun al-Baydhâwî.[13]

Identifikasi itu sangat penting karena beberapa alasan. Salah satunya adalah gaya dan pendekatan karya itu jauh dari tradisi tafsir sufi sebagaimana yang digandrungi Hamzah dan Syamsuddin. Mungkin yang lebih penting lagi adalah bukti bahwa ‘Abd al-Ra‘uf diam-diam setuju dengan karya tersebut. Tafsîr al-Jalâlayn ‘karya bersama‘ Jalâl al-Dîn al-Mahallî (w. 1459) dan Jalâl al-Dîn al-Suyûthî (w. 1505) acapkali disebut hanya memberi sedikit kontribusi dalam pengembangan tradisi tafsir. Kitab ini adalah penafsiran kata per kata terhadap al-Qur‘ân yang jelas dan ringkas, termasuk asbâb al-nuzûl terkait, serta qirâ‘ât dan beberapa persoalan terkait. Sebagai sarana pendukung dalam kajian teks al-Qur‘ân, kitab ini bernilai besar. Terjemahan ‘Abd al-Ra‘uf itu merupakan kredit baginya sebagai seorang guru, sekaligus membuktikan kesederhanaan dan dedikasinya. Alasan yang lebih jelas lainnya adalah bahwa karya seperti al-Baydhâwî dengan penyajian yang padat dan sering bergaya eliptis akan tidak sesuai dengan sasaran ‘Abd al-Ra‘uf.

Pentingnya karya ‘Abd al-Ra‘uf Singkel akan lebih banyak disorot ketika dilihat dalam konteks daftar manuskrip Arab di Museum Nasional Indonesia di Jakarta. Daftar tersebut memuat banyak manuskrip Tafsîr al-Jalâlayn yang menunjukkan bahwa kitab itu merupakan karya terpopuler dalam bidang tafsir[14] di Hindia di masa pra-modern. Tidak banyak manuskrip Arab yang usianya melebihi Abad XVIII, dan tafsir sangat sedikit ditampilkan di antara manuskrip tersebut. Meskipun begitu, terdapat salinan karya al-Bayhaqî (w. 1101) Kitâb al-Tahdzîb fi Tafsîr al-Qur‘ân tahun 1652 (tahun ini menjadi penting ketika dicermati bahwa kita tidak hanya mengkaji karya tafsir di kawasan tersebut, tetapi juga karya tafsir yang dikenal di sana), demikian pula dengan penggalan tafsir sufistik tanpa tahun, Tashdîq al-Ma‘ârif.

Setidaknya, popularitas Tafsîr al-Jalâlayn tidak diragukan lagi. Nampaknya, kitab ini telah dikenal luas sebelum ‘Abd al-Ra‘uf menulis Tarjumân al-Mustafîd, dan ia menulisnya sebagai jawaban atas sebuah kebutuhan. Patut dicatat bahwa tafsir secara mendasar bukanlah disiplin keilmuan teoretis, melainkan pedagogis yang terinspirasi oleh keinginan besar untuk menjelaskan wahyu secara jelas dan akurat.

Poin penting lainnya adalah bahwa terjemahan ‘Abd al-Ra‘uf merupakan sebuah contoh klasik bentuk terjemahan di sela-sela baris teks yang serupa dengan teks aslinya (interlinear calque translation). Dalam hal ini, karya tersebut berbeda dengan terjemahan ayat per ayat oleh Hamzah Fansuri dan terjemahan anonim terhadap penafsiran al-Khâzin atas Q.S. al-Kahf [18]. Bahasa Melayu ‘Abd al-Ra‘uf tidak selalu mudah untuk dimengerti pada saat pertama kali dibaca. Namun, karya tersebut menyajikan bahasa Melayu yang unik, yaitu yang konsisten secara internal sekaligus mudah dimengerti bagi pembaca yang akrab dengan keunikan itu. Intonasi kata yang dituturkan dalam banyak hal menjadikannya mudah dimengerti yang boleh jadi sebelumnya tampak samar. Dalam beberapa hal, ada sejumlah prosedur yang solutif, sebagaimana sebuah terjemahan disertai penjelasan atas terjemahan tersebut, diikuti dengan sinonim atas setiap kata atau frasa yang ingin dijelaskan. Hasilnya, ini kemudian menggiring orang pada Tafsîr al-Jalâlayn, sebuah karya yang sebagai alat bantu, yang bagi penutur bahasa Melayu, menjadi batu loncatan yang bermanfaat dalam memahami teks Arab, sebagaimana seorang murid yang mencapai kemajuan dalam bidang bahasa Arab. Karya tersebut tidak pernah diulangi lagi, karena—sebagaimana tujuan awalnya—ia sulit dikembangkan kemudian. Ini menjadikannya terus populer di sekolah-sekolah agama lokal. Fakta bahwa terjemahan itu mengikuti teks aslinya menjadikannya referensi yang mudah dalam bahasa Arab. Dengan demikian, karya ini sangat bermanfaat untuk tujuan pengajaran.

Sangat jelas bahwa peran Tafsîr al-Jalâlayn terus bertahan di berbagai madrasah hingga kini. Seorang ahli pendidikan Islam Indonesia, Abdul Kahar Muzakkir, yang mengecap pendidikan di Kairo selama sebelas tahun antara 1925-1935, yang di antara guru-gurunya terdapat Rasyîd Ridhâ dan al-Marâghî, pada tahun 1959 mencatat bahwa kajian al-Qur‘ân di madrasah-madrasah Muhammadiyah, sebuah sekolah Islam terbesar dan terorganisasi paling baik di negeri ini, mengacu pada Tafsîr al-Jalâlayn.[15] 

Dalam beberapa hal, karya terjemahan ‘Abd al-Ra‘uf merupakan momen penting sejarah studi Islam di Melayu. Ini merupakan prestasi besar seorang ulama sekaliber ‘Abd al-Ra‘uf. Lebih dari itu, karya ini adalah terjemahan lengkap, bahkan merupakan vernakularisasi (pembumian melalui bahasa lokal) al-Qur‘ân yang melekat dalam sebuah karya tafsir otoritatif. Selain itu,—terima kasih atas informasi insidental yang ada dalam karya itu—terjemahan ini telah meletakkan fondasi penghubung antara terjemahan (tarjamah) dan tafsir (tafsîr) dalam bahasa-bahasa lokal. Karya tersebut tidak diikuti karya sejenis, tetapi telah memosisikan diri sebagai sebuah referensi, jika enggan menyebutnya sebuah tradisi. Selayaknya karya tersebut tidak boleh dipandang sebagai eksistensi dalam keterasingan. Patut ditekankan juga bahwa karya tulis seperti ini dalam bahasa Melayu, khususnya di kawasan dan sepanjang periode ini, adalah tidak biasa. Pada masa itu juga, tradisi lisan pengajaran al-Qur‘ân amat dominan dan terus tumbuh, begitu pula dengan perkembangan tafsir, bentuk dan penekanan yang ditempuh, berasal dari sebuah tradisi pengajaran yang bukti dokumentasinya tidak selalu survive.[16] 

Dari Abad XVII dan setelahnya, karya-karya lokal tertulis kian bertambah, baik yang berbahasa Melayu maupun Arab, dan turut berkontribusi terhadap kekayaan dan keragaman diskursus Islam di dunia Melayu. Penggerak utama penyuburan ini adalah the Jâwîs (Jâwî menjadi term yang digunakan dalam bahasa Arab untuk menyebut jemaah haji atau pelajar yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara Melayu) yang bermukim selama beberapa tahun (sebagaimana dilakukan oleh ‘Abd al-Ra‘uf), atau secara permanen, di Hijaz, yang mengajar dan menulis dalam bahasa Arab dan Melayu bagi penduduk di kawasan tersebut, dan tetap mengadakan hubungan dengan kerabat dan koleganya melalui jemaah haji yang kembali yang membawa berita keluarga dan kabar baru, baik secara lisan maupun melalui surat dan manuskrip yang mereka bawa. 

Salah satu hal penting dari proses ini adalah terjemahan bahasa Melayu―yang ditulis pada Abad XVIII―kitab Lubâb Ihyâ‘ ‘Ulûm al-Dîn, ringkasan karya besar al-Ghazâlî (w. 1111) yang kemungkinan ditulis oleh saudaranya, Ahmad. Terjemahan ini ditulis oleh ‘Abd al-Shamad Palembang di Thaif antara tahun 1760-1780 dan menjudulinya Sayr al-Sâlikîn.[17] ‘Abd al-Shamad mengikuti model ‘Abd al-Ra‘uf dan selainnya sebagai guru yang sederhana dan berdedikasi. Beliau tidak berkontribusi langsung dalam bidang tafsir, tetapi banyak kutipan al-Qur‘ân dan Hadis termaktub dalam karya ini. Dengan demikian, penelitian terhadap sesuatu yang disebut tafsir sekunder (secondary tafsir) dalam karyanya ini, terjemahan dan tafsirnya terhadap ayat-ayat al-Qur‘ân yang dijadikan sebagai dalil, tentu menambah pengetahuan kita tentang bentuk tafsir yang masyhur saat itu, karena karya ‘Abd al-Shamad, selain isinya sebagai terjemahan karya al-Ghazâlî, mengandung banyak kutipan dari berbagai karya. Perlu dicatat juga bahwa meskipun tidak berada di kampung halamannya, terdapat bukti tentang perhatian ‘Abd al-Shamad dalam bidang politik terkait dengan kekuasaan Belanda di sana.

Sebelum seperempat akhir Abad XIX, kita menemukan kontribusi lainnya di bidang tafsir dari seorang Jâwî, yang sama nilainya dengan kontribusi ‘Abd al-Ra‘uf. Ini adalah karya tebal dua volume berbahasa Arab yang ditulis di Mekkah oleh seorang yang bernama al-Nawawî (1815-1898) dari sebuah kampung Tanara di Banten, Jawa Barat, yang telah menetap secara permanen di Mekkah setelah tahun 1835.[18] Karya yang ditulis dalam bahasa Arab ini sekali lagi menunjukkan eksistensi tradisi diglossia dalam studi Islam di dunia Melayu. Karya tersebut memiliki arti penting tersendiri, bukan hanya karena dicetak di Timur Tengah, melainkan juga karena menjadi sebuah karya dasar (basic work) tafsir, bahkan di Timur Tengah, dan kemungkinan satu-satunya karya berbahasa Arab yang ditulis oleh seorang Jâwî. Karya tersebut masih dicetak ulang di Kairo, dan beredar luas sebagai kitab tingkat menengah (mutawassith) di Malaysia dan Indonesia, dua negara yang mencetak ulang kitab tersebut.

Latar belakang al-Nawawî adalah tipikal dari banyak ulama Jâwî yang tidak dikenal, meskipun tidak banyak yang menyamai kedalaman pengetahuannya. Kita beruntung karena Snouck Hurgronje bertemu dengannya di Mekkah tahun 1884, dan pada volume kedua karyanya Mekka in the Latter Part of the Nineteenth Century, ia memberi sketsa pendek yang sangat indah (an exquisite thumbnail) tentang kepribadian al-Nawawî.[19] Hurgronje menyebut bahwa ketika mereka berjumpa, al-Nawawî adalah pemimpin yang diakui oleh masyarakat Jâwî, dan telah belajar dan mengajar di Mekkah selama tiga puluh tahun. Di lima belas tahun pertama, ia menarik diri dari aktivitas mengajar dan mengalokasikan waktunya untuk menulis. Hurgronje menambahkan bahwa al-Nawawî menginspirasi banyak orang Melayu, Jawa, dan Sunda untuk mendalami Islam. Ketika Hurgronje menemuinya (dan berbincang lama dengannya), al-Nawawî telah menulis banyak buku, yang kebanyakan diterbitkan oleh penerbit Kairo, antara tahun 1880-1886, termasuk, pada tahun 1881, Fath al-Majîd, sebuah anotasi (syarh) karya salah satu gurunya, al-Nahrâwî, yang berjudul al-Durr al-Farîd. Pada tahun yang sama, ia menulis anotasi kitab Âjurûmiyyah (buku tata bahasa Arab), Lubâb al-Bayân, dan pada tahun 1886, Dzarî‘ah al-Yaqîn, sebuah anotasi terhadap karya al-Sanûsî (w. 1486) yang sangat terkenal. 

Yang paling penting buat kita adalah pernyataan Hurgronje bahwa al-Nawawî telah menulis sebuah tafsir utuh atas al-Qur‘ân yang kemudian diterbitkan oleh penerbit Mekkah.[20] Sekiranya al-Nawawî mengirimnya ke penerbit sekitar tahun 1884 dan telah meluangkan waktu untuk menulisnya sekitar lima belas tahun lebih awal, kita dapat menduga bahwa ia mulai menulisnya menjelang akhir 1860-an. Ia kemudian dicetak ulang oleh penerbit al-Halabî di Kairo dalam dua volume yang masing-masing terdiri dari 500 halaman, dengan karya al-Wâhidî (w. 1076) Kitâb al-Wajîz fî Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azîz di garis pinggir (margin/hâsyiyah).[21]

Al-Nawawî menamai karyanya dengan Marâh Labîd. Dalam kata pengantarnya, ia mengutarakan alasan konvensional untuk memulai karyanya, yaitu bahwa beberapa koleganya meminta untuk itu. Ia juga memberi beberapa alasan keragu-raguannya―lantaran Hadis yang mengecam orang yang menafsirkan al-Qur‘ân sesuai pendapat pribadinya. Oleh karena itu, ia mengikuti model pendahulunya untuk melestarikan pengetahuan, bukan untuk memberi tambahan terhadapnya. Ia menunjukkan bahwa setiap zaman butuh penyegaran pengetahuan (renewal of knowledge), dan menutup karyanya dengan berkata, “Semoga usaha (dalam menghasilkan) karya ini dapat membantu saya, dan kepada semua yang awam pengetahuannya seperti saya.” Terkait dengan otoritas yang telah dimilikinya, ia membuat daftar kitab al-Futûhât al-Ilâhiyyah,[22] Mafâtîh al-Ghayb (yang lebih dikenal dengan al-Tafsîr al-Kabîr) karya Fakhr al-Dîn al-Râzî (w. 1209), al-Sirâj al-Munîr,[23] Tanwîr al-Miqbâs, dan Tafsîr Abî al-Su‘ûd.[24] Semua manuskrip kitab tersebut terdapat di Kairo dan di beberapa kota di Timur Tengah, yang kemungkinan termasuk di Mekkah dan Madinah. Tak pelak lagi, al-Nawawî memiliki akses terhadap kitab-kitab itu. 

Pada tataran ini, tidak mungkin membuat sebuah analisis yang cermat terhadap penafsiran al-Nawawî secara keseluruhan untuk menilai lingkup dan karakter tafsirnya, dan tidak ada jaminan bahwa contoh random penafsiran sebuah surah akan mendatangkan kesimpulan yang benar terhadap al-Qur‘ân secara keseluruhan. Namun, jelas bahwa al-Tafsîr al-Kabîr karya al-Râzî memainkan peran besar—jika enggan menyebutnya peran sentral—terhadap karya al-Nawawî. Ini adalah contoh kasus penafsirannya atas Q.S. Shâd [38].[25] Hal ini dengan sangat mencolok karena pada kesimpulan tafsirnya terhadap surah itu, ia mengetengahkan banyak kutipan dari al-Râzî kata demi kata (verbatim), yang diawali dengan, “Ini, yang saya mengajakmu, bukanlah sebuah agama yang butuh banyak kewajiban hukum untuk membuktikan autentisitasnya, melainkan sebuah agama, autentisitas yang dibuktikan dengan rasio.”[26] Oleh karena itu, mengikuti al-Râzî, ia berpandangan bahwa logika atau rasio berfungsi sebagai dasar keyakinan terhadap hari akhirat, sebagai penguat bahwa penciptaan itu punya tujuan, dan menegaskan pentingnya keadilan untuk melindungi tatanan dunia. Tak kalah pentingnya, ia mengikuti peran penting al-Râzî yang secara tersirat diperoleh dari penjelasannya, di mana al-Râzî menolak banyak kisah, yang kemudian ditolak oleh Ibn Katsîr sebagai isrâ‘îliyyât. Penggunaannya terhadap otoritas lain secara umum tidak lebih dari sekadar penggunaan terjemahan kata atau frasa, dan biasanya alat-alat kepustakaan.[27] 

Penafsiran al-Râzî terhadap surah itu sekurang-kurangnya lima kali lebih panjang dari penafsiran al-Nawawî, dan isinya sangat bervariasi, yang tidak praktis memberi sebuah catatan utuh atas karya al-Nawawî. Sebagai contoh, ia menghilangkan beberapa penjelasan teologis dan hukum yang dikembangkan al-Râzî secara meluas. Meskipun begitu, karya tersebut jelas dan terang merefleksikan personalitas yang dilekatkan Snouck Hurgronje kepada al-Nawawî. 

Sepintas terlihat bahwa ada sedikit daya tarik tersendiri dari karya tersebut. Hanya saja, al-Nawawî adalah seorang guru yang berdedikasi untuk kepentingan orang-orang senegaranya: ia memahami kebutuhan mereka ketika datang ke Mekkah dalam rangka studi, dan ia menulis dengan cara yang mudah mereka pahami. Ia menyiapkan karyanya dengan cara seperti itu agar mereka mampu memperoleh kemampuan dan kepercayaan diri untuk mengkaji karya-karya yang lebih rumit. Karya ini menjadi dasar studi atas berbagai karya otoritatif lainnya dan mengembangkan kemampuan untuk belajar dari salah seorang di antara mereka dan orang lain.

Akan tetapi, ini bukanlah sasaran akhir atau prestasi akhir al-Nawawî. Ia juga tidak membatasi sumbernya pada karya-karya yang disebutkan dengan nama atau penulis dalam pengantarnya. Pada bagian hâmisy (catatan pinggir) edisi al-Halabî kitab Marâh Labîd tercetak Kitâb al-Wajîz karya al-Wâhidî yang sering diparafrasa atau dikutip dalam karya al-Nawawî sendiri. Kajian kontekstual yang disajikan oleh karya-karya asbâb al-nuzûl seringkali membantu memberi gambaran khusus tentang kerangka kemanusiaan dan untuk menonjolkan dimensi kemanusiaan Muhammad. Al-Nawawî meningkatkan sebuah kesadaran bahwa kata-kata, khususnya partikel, memiliki sebuah makna yang ditentukan oleh konteks.

Walaupun sulit menemukan segala sesuatu yang menunjukkan karakter Indonesia dalam karya ini, tafsir ini secara jelas merefleksikan asumsi kuat bahwa karya ini dianggap sebagai karya normatif bagi pelajar-pelajar dan jemaah haji dari India yang datang kepadanya. Tafsir ini juga menyajikan sebuah elaborasi dan pengayaan tradisi Tafsîr al-Jalâlayn yang oleh Abdul Kahar Muzakkir sebut sebagai tafsir paling dominan di tahun 1959.[28] Ia juga dipersembahkan untuk mengurangi pengaruh tradisi penafsiran Ibn ‘Arabi di kawasan tersebut. Lebih dari itu, karya tersebut cocok untuk dijelaskan secara lisan dalam bahasa Melayu. Ia juga menyiapkan dasar studi terhadap karya al-Râzî dan beberapa karya yang lebih maju lagi.

Paradoksnya adalah bahwa meskipun dalam banyak hal, tafsir karya al-Nawawî itu termasuk tradisional, untuk tidak menyebutnya model lama, karya tersebut mengadopsi astronomi Ptolemaik; misalnya, pendekatannya konsisten dengan ide-ide para Reformis. Bahkan, karya ini turut membuka jalan bagi mereka yang ditandai dengan tiga untai rasionalisme; acapkali merujuk ke kehidupan Muhammad sebagai makhluk termulia dalam uraian tentang teks al-Qur‘ân; mistisisme ‘sederhana‘ atau spiritualitas yang tertanam dalam karya-karyanya yang lain; dan membuang jauh-jauh isrâîliyyât. 

Singkatnya, karya al-Nawawî memberi ringkasan yang baik sekali atas pemahaman klasik terhadap al-Qur‘ân dan mengantarnya ke suatu fokus tentang tafsir al-Qur‘ân akhir abad pertengahan yang tidak diketahui umum. Pada saat yang sama, terima kasih atas elemen rasional tafsir karya al-Nawawî ini yang diambil dari tradisi al-Râzî (untuk tidak dicampuradukkan―ini mesti ditekankan―dengan Rasionalisme Pencerahan). Karya al-Nawawî ini ada sepanjang bangkitnya sebuah orde baru, yang dirintis oleh Muhammad ‘Abduh dan Jamâl al-Dîn al-Afghânî (1838—1897).

Orang Melayu (Jâwîs) di Kairo turut serta secara antusias dalam gerakan para reformis, yang tentu saja dikobarkan oleh dimensi politik, pendidikan, maupun agama, dan gerakan ini telah ada sejak dini di dunia Melayu. Kenyataannya, surah-surah yang tertulis dalam bahasa Arab dari Jawa, Sumatra, Singapura, dan Kalimantan mulai muncul dalam jurnal yang diasuh Muhammad ‘Abduh, al-Manâr, sejak edisi-edisi tahun pertama, 1898.[29] 

Respon terhadap gerakan tersebut sangat luas. Banyak mahasiswa dari berbagai daerah jajahan Inggris dan Belanda di kawasan Asia Tenggara yang sedang menimba ilmu di Timur Tengah terinspirasi oleh gerakan baru tersebut, dan mulai memperlihatkan pengaruhnya ketika mereka pulang, dengan menjadikan al-Qur‘ân dan Sunnah sebagai dasar legitimasi kemerdekaan, mereformasi sistem pendidikan di sekolah-sekolah agama dari bentuk halaqah menjadi metode shaff, dan menyiapkan buku teks yang berjenjang dalam pengajaran agama. Terjadi pergeseran metode untuk menyederhanakan penjelasan atas al-Qur‘ân, termasuk mereduksi muatan isrâ‘îliyyât yang berlebihan, dan sejumlah qirâ‘ât yang dalam banyak hal kurang signifikan sesuai kesepakatan yang meluas terhadap qirâ‘ah Hafsh, yang memuncak pada edisi resmi al-Qur‘ân Mesir tahun 1929. Selain itu, ada titik tekan terhadap asbâb al-nuzûl, Hadis, Sîrah Nabawiyah Muhammad, dan al-Qur‘ân itu sendiri dalam menafsirkan al-Qur‘ân. Terdapat juga pembaruan penekanan terhadap Islam sebagai agama akal, seiring dengan desakan penggunaan akal yang disebutkan dalam al-Qur‘ân yang dimanfaatkan untuk meyakinkan kaum Yahudi dan Musyrik Mekkah tentang kebenaran klaim Muhammad sebagai nabi.

Terlepas dari semua aktivitas tersebut, dokumentasi perkembangan tafsir belumlah memadai. Meski demikian, Abdul Kahar Muzakkir, dalam karya yang disebutkan sebelumnya, memberi gambaran yang baik tentang para mufasir Mesir Abad XX yang karyanya terkenal di Hindia Belanda (Indonesia). Ia menempatkan Muhammad ‘Abduh dan Rasyîd Ridhâ di bagian terdepan. Ia menambahkan bahwa Thanthâwî Jawharî (w. 1940) memiliki minat yang serius atas Islam di Indonesia, dan bahwa ‘Abd al-‘Azîz Jâwis (w. 1928) memiliki perhatian yang sama, dan ini sangat instrumental membuka pintu sekolah-sekolah negeri di Mesir bagi pelajar-pelajar dari Indonesia (termasuk dirinya). Ia juga mencatat bahwa ia sendiri merupakan seorang murid dari al-Marâghî (w. 1945) selama dua tahun di Dâr al-‘Ulûm selama masa karya Tafsîr al-Marâghî dicetak.[30] 

Peran yang dimainkan oleh para penduduk berdarah Arab di Indonesia cukup terabaikan dan sulit diukur komponennya dalam perkembangan tafsir di negeri ini. Dengan kelebihan memiliki leluhur Arab, dalam beberapa hal, mampu menjalankan kepemimpinan, dan memberi kontribusi bagi kehidupan Islam dengan upaya-upaya perintis dalam membangun sekolah-sekolah, menulis, dan memberi kuliah di berbagai studi klub dan organisasi dalam bahasa Arab dengan bantuan para juru bahasa. Bahkan pada titik ini, diglossia masih memainkan peran penting.

Representasi yang penting dari kelompok ini adalah Ahmad Soorkatie yang menempatkan dirinya sebagai seorang guru di Batavia tahun 1908. Ia merupakan elemen penting dalam pendirian sekolah-sekolah, perintis ide-ide reformasi Muhammad ‘Abduh. Meskipun seorang sayyid, ia menulis dengan penuh antusias menentang klaim bahwa para sayyid dominan di kawasan tersebut. Ia mengajarkan berbagai hal dengan menggunakan bahasa Arab dibantu oleh seorang juru bahasa. Kebanyakan dari kuliah-kuliah yang ia sampaikan direkam oleh saudaranya dan ditulis dalam sebuah manuskrip yang terdiri dari beberapa ratus halaman, yang kebanyakan di antaranya berkarakter biografis.[31] Manuskrip ini mencakup satu seri kuliah tentang al-Qur‘ân berbentuk tafsir. Penafsirannya atas surah pertama al-Qur‘ân, al-Fâtihah, dalam sebuah kuliah pada 25 Juli 1937 pada kelompok Jam‘iyyah di Batavia, memberi bukti atas keterampilan tafsirnya, maupun salah satu aspek kehidupan intelektual Islam di Indonesia sepanjang tahun 1930-an. 

Meskipun gaya penyajiannya berbentuk ceramah, tetapi prinsip dasarnya jelas, yaitu adanya keseragaman, bahkan keinginan besar dalam mengorganisasi bahan yang merujuk ke ‘Abduh: yaitu pernyataan bahwa Tuhan menurunkan al-Qur‘ân sebagai sebuah kehendak, bukan karena sifat dasar-Nya untuk berbuat demikian. Pernyataan ini merefleksikan tipe pencerahan dari rasionalisme yang terdapat dalam tradisi para reformis. Soorkatie menyerukan peran akal dalam agama. Menurutnya, al-Qur‘ân menyediakan sarana intelektual bagi manusia untuk menemukan Tuhan melalui penggunaan akal. Setiap tahap argumentasinya hanya didukung oleh kutipan dari al-Qur‘ân. Dalam hal ini, ia tidak menafsirkan al-Qur‘ân dengan al-Qur‘ân, tetapi lebih menggiring al-Qur‘ân untuk mendukung ide dan ajaran yang diusung oleh tradisi para reformis yang sejalan dengan keinginannya.

Sejak akhir tahun 1920-an dan seterusnya, sejumlah terjemahan al-Qur‘ân dalam bentuk juz per juz, bahkan seluruh isi al-Qur‘ân, mulai bermunculan.[32] Usaha ini didukung oleh kondisi di bulan Oktober 1928 saat itu, ketika gerakan nasional yang baru jadi di Indonesia membentuk sebuah bahasa nasional. Kongres Pemuda Indonesia yang diadakan di Batavia memberi resolusi yang menyatakan bahwa mereka satu bangsa dan mengakui satu tanah air dan satu bahasa. Bahasa tersebut adalah bahasa Melayu di bawah sebuah nama baru dan dengan persona baru, yaitu bahasa Indonesia yang menjadi bahasa persatuan nasional di kawasan tersebut yang memiliki lebih dari 300 bahasa dan kelompok etnis. Karena usaha tersebut dilakukan untuk mengembangkan bahasa Indonesia menjadi kendaraan tetap (stable vehicle) wacana sekuler dari sebuah negara-bangsa yang modern dan budaya literal, demikian pula untuk memperkaya nuansa keagamaan dari bahasa tersebut, yang selanjutnya melengkapi kelanjutan memasyarakatkan pengajaran Islam dalam bahasa lokal, maka dasarnya telah diciptakan.

Pada tahun 1938, Mahmud Yunus menerbitkan Tarjamat al-Qur‘an al-Karim, yang telah dimulai pada tahun 1924. Ini merupakan karya pertama yang dapat diakses dalam bahasa Melayu untuk keseluruhan ayat al-Qur‘ân sejak karya ‘Abd al-Ra‘uf, Tarjumân al-Mustafîd, yang muncul sekitar tiga abad sebelumnya. Selain itu, dalam konteks reformasi agama, karya ini cukup berbeda, karena meskipun disertai teks Arab, penjelasan dan tafsirnya juga dijelaskan lagi dalam catatan kaki. Dengan kata lain, terjemahan al-Qur‘ân dengan memuat seluruh ayatnya bersifat independen. Ini merupakan prestasi yang luar biasa, dan Riddell mengatakan bahwa karya tersebut telah dicetak sebanyak dua puluh tiga kali, daftar yang terbaru adalah pada tahun 1977.[33]

Proses tersebut semakin cepat setelah Indonesia meraih kemerdekaan pada tahun 1945. Ada beberapa terjemahan al-Qur‘ân, tetapi dua di antaranya telah ada. Salah satunya adalah al-Qur‘an dan Terjemahnya.[34] Dicetak pertama kali tahun 1970, karya ini telah mengalami sekian kali cetak ulang, termasuk perubahan dalam ejaan bahasa Indonesia. Teks Arab dan terjemahan Indonesia dicetak berdampingan, sementara penjelasan dan catatan ditulis dalam catatan kaki. Setelah didukung oleh Menteri Agama RI, di Arab Saudi karya tersebut memiliki status de facto sebagai terjemahan al-Qur‘ân berbahasa Indonesia. The King Fahd Complex for the Printing of the Holy Qur‘ân mencetak ulang terjemahan itu dalam format yang indah, dan diberikan kepada para jemaah haji Indonesia dan segenap pengunjung Tanah Haram.

Terjemahan lain dengan karakter yang berbeda dilakukan oleh kritikus sastra, H.B. Jassin, al-Qur‘an al-Karim Bacaan Mulia, yang dicetak pertama kali tahun 1977.[35] Karya ini juga disertai teks Arab, tetapi aslinya dalam dua bentuk, yaitu: Pertama, terjemahan Indonesia-nya bertujuan menunjukkan unit makna, struktur dialog, dan menerangkan poin-poin penekanan retorik. Untuk alasan inilah, Jassin menyebutnya sebagai terjemahan ‘puitis‘. Kedua, karya ini tidak memiliki catatan atau penjelasan sehingga arus bahasan al-Qur‘ân dapat memberi pengaruh langsung terhadap pembaca.  

Karya-karya tafsir yang lengkap dengan makna kata masih terbilang sedikit, meskipun banyak tafsir atas beberapa surah, khususnya karya-karya yang menjelaskan surah-surah penting tertentu seperti Yâsin [36] dan juz terakhir al-Qur‘ân, Juz‘ ‘Amma [Q.S. 78-114]. Federspiel melakukan sebuah survei dan membuat periodisasi aktivitas tafsir di Indonesia antara 1900 dan 1994, yang menunjukkan bahwa saat penulisan karya tersebut, telah ada sepuluh tafsir al-Qur‘ân lengkap di Indonesia.[36] Meskipun penelitian demikian membutuhkan riset tersendiri, patut dicatat juga bahwa terjemahan Indonesia atas karya para perintis dan ideolog tradisi radikal Islam seperti al-Mawdûdî (1903-1979) dan Sayyid Quthb (1906-1960) telah bercampur, beberapa di antaranya dengan karya-karya dalam tafsîr ‘ilmî, beberapa di antaranya terinspirasi oleh karya-karya yang diterbitkan di Timur Tengah dan selainnya menjadikan karya Bucaille, The Bible, the Qur‘an and Science sebagai titik awal. Ada sebuah karya dalam sepuluh volume yang diterbitkan atas bantuan Departemen Agama,[37] dan sebuah lagi karya ulama terkenal, Hamka (w. 1981) yang dari 1976 hingga wafatnya 1981 menjabat Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Di antara karya yang disebutkan Federspiel, ada dua yang penting dibahas. Salah satunya adalah karya sarjana Aceh, Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur‘an al-Madjied ‘an-Nûr‘.[38] Karya ini dicetak juz per juz dan diterbitkan secara terpisah. Contoh metodologinya dapat diambil dari Juz ‘Amma. Ia menyajikan pengantar umum bagi setiap surah, dengan mengemukakan hal-hal yang menghubungkan sebuah surah dengan surah sebelumnya. Selanjutnya, ia menjadikan surah itu bagian demi bagian menurut pemahamannya terhadap unit-unit maknanya. Ia melakukan terjemahan harfiah atas ayat-ayat di setiap bagian, disertai dengan banyak parafrasa. Ia akhirnya memberi kesimpulan maknanya, sehingga pelajaran yang ditarik menjadi jelas. Selanjutnya, ia menyimpulkan Q.S. ‘Abasa [80]: 1-10:

Dalam ayat-ayat ini, Allah SWT. menegur Nabi saw. karena memalingkan mukanya dari Ibn Ummi Maktûm ketika sedang berbincang dengan pemuka-pemuka Quraish yang diharap akan memeluk Islam. Allah menjelaskan bahwa Ibn Ummi Maktûm telah siap memeluk Islam. Sementara itu, pemuka Quraish akan menolak ajakan tersebut, apa pun usaha yang dilakukan Nabi. 

Tafsir karya Hamka dinamai Tafsîr al-Azhar. Judul kitab tersebut adalah simbol keharuman sebagaimana nama Universitas al-Azhar di Kairo, meskipun kata azhar juga berarti ‘paling bersinar‘ atau ‘paling terang‘. Berbeda dengan karya ash-Shiddieqy yang berbentuk prosa, Hamka adalah seorang orator dan novelis. Ia memiliki gaya penulisan yang kaya, mengobarkan semangat, dan menarik hati. Tafsir ini mulai ditulis ketika ia masih dalam tahanan di tahun-tahun akhir kekuasaan Sukarno, dan diterbitkan pertama kali tahun 1967. Edisi tebalnya muncul pada 1970 dan edisi terbaru hadir pada 1992.[39] Feener, dalam Studia Islamika,[40] menggambarkannya—dengan gaya hiperbolis—sebagai ‘salah satu usaha terpenting (the most enterprising endeavor) dalam penafsiran al-Qur‘ân modern, tidak hanya di Asia Tenggara, tetapi juga di dunia Islam secara umum‘.[41]

Seperti halnya dengan karya ash-Shiddieqy, Tafsîr al-Azhar awalnya diterbitkan dalam bentuk per juz. Namun, tidak seperti karya ash-Shiddieqy, karya ini diharapkan menjadi karya ensiklopedis. Sebagai pedoman bagi para pembaca, ia menyebut sumber-sumber yang ia rujuk: karya-karya tafsir berbahasa Arab dari al-Thabarî hingga Sayyid Quthb, karya-karya berbahasa Melayu, demikian halnya koleksi dan syarah kitab-kitab Hadis, dan karya-karya standar dalam fikih maupun tasawuf. Atas dasar ini, dengan ditulis selama beberapa tahun sebagai ‘âlim, dan sebagaimana yang ia kembangkan di setiap juz, ia mengangkat beragam isu setelah memberi terjemahan Indonesia terhadap kelompok ayat tertentu. Thus, karya tersebut merupakan karya tafsir secara terminologi, dan mencakup diskursus yang terkait dengan fikih, refleksi spiritual, cerita-cerita, khotbah, dan persoalan polemis dalam isu-isu politik kontemporer. Di dalamnya, kita dapat melihat dan mendengar Hamka sebagai seorang ‘âlim, penceramah, pemikir, penulis, reformis dan tradisionalis (saat itu masih dalam artian sempit), dan orang yang memiliki wawasan, pengetahuan, serta pernyataan yang tegas.

Secara keseluruhan, karya tersebut menunjukkan keterlibatan dirinya dengan teks al-Qur‘ân dalam kerangka luas ide-ide reformis sebagaimana terefleksikan dalam karya Rasyîd Ridhâ. Ia mempertahankan sebuah keyakinan bahwa al-Qur‘ân diturunkan kepada Nabi secara verbal; ia menolak teosofi di balik banyaknya interpretasi sufistik atas ayat-ayat al-Qur‘ân, demikian halnya dengan fantasi tafsîr ‘ilmî dengan menyatakan bahwa meskipun al-Qur‘ân tidak berisi penemuan ilmiah modern, secara tersirat al-Qur‘ân mendesak pembacanya untuk melakukan penemuan ilmiah. Dalam kerangka kebangkitan Rasyîd Ridhâ juga, ia menolak isrâ‘îliyyât, cerita yang dibawa oleh orang Yahudi yang masuk Islam untuk menafsirkan al-Qur‘ân dan untuk menggambarkan kehidupan nabi-nabi sebelum Muhammad. Secara filosofis, ia menawarkan penerimaan yang bersyarat terhadap konsep kebebasan berkehendak (free will) dan tanggung jawab manusia tanpa menjadi seorang neo-Muktazilah.[42]

Meskipun demikian, ada sedikit hal yang terbilang radikal dalam tafsirnya. Ia adalah seorang yang unggul di masa dan generasinya, dan tidak beranjak jauh melampaui pemikiran Rasyîd Ridhâ. Ia tidak memanfaatkan pertimbangan teoretis Fazlur Rahman, peletak kaidah penafsiran kontekstual al-Qur‘ân, dan yang meninggal sebelum karya Abû Zayd mencapai kemasyhurannya. Namun demikian, gaya penafsirannya sekarang sudah ketinggalan.

Boleh jadi, bentuk tafsir ini sesuai zamannya. Dalam beberapa hal, ini sangat penting untuk menegaskan bahwa tafsir merupakan sebuah disiplin keilmuan yang berkembang secara konstan. Perubahan dan gerakan baru dalam kehidupan budaya dan politik Indonesia saat ini sedang menciptakan arus dan penekanan segar dalam tafsir. Jadi, ada beberapa pendekatan baru yang berasal dari refleksi yang terus berlanjut terhadap hakikat dan fungsi ilham. Seorang perlu merujuk tidak hanya pada pendekatan logika al-Qur‘ân yang digagas oleh Nurcholish Madjid, tetapi juga pada pendekatan segar yang dirintis oleh Quraish Shihab dalam karyanya seperti Membumikan al-Qur‘an[43] dan, lebih khusus lagi, dalam karyanya untuk mengembangkan metode al-tafsîr al-mawdhû‘î (tafsir tematik) di Indonesia dengan bukunya Wawasan al-Qur‘an.[44] Dalam kejelasan dan fokusnya, karya ini menawarkan jalan untuk meraih cakrawala baru. 

________________________

Di-Indonesia-kan oleh Sulaiman Al-Kumayi, MA. dari Anthony H. Johns, “Qur‘anic Exegesis in the Malay-Indonesian World: An Introduction Survey” dalam Abdullah Saeed (ed.), Approaches to the Qur‘an in Contemporary Indonesia, (New York: Oxford University Press, 2006), h. 17-36. Tulisan ini telah dipublikasikan dalam Jurnal Studi al-Qur‘an (JSQ), Vol. I, No.3 tahun 2006.

Anthony H. Johns, adalah profesor emeritus di Division of Pacific and Asian History of the Research School of Asian and Pacific Studies at the Australian National University. Ia meraih gelar Ph.D. Arabic and Malay at the School of Oriental and African Studies, University of London pada tahun 1954, dengan judul thesis Sufism in the Malay World.

Kredit foto : tamanulama.blogspot.com


[1]G.W.J. Drewes, dalam Directions for Travellers on the Mystic Path, (The Hague, 1977), h. 198, menjelaskan bahwa Van Ronkel, salah satu kurator penting manuskrip-manuskrip asal Melayu, tidak menganggap persoalan asal-usul sebagai persoalan penting.

[2]C.C. Brown, “Sejarah Melayu” atau “Malay Annals”: A Translation of Raffles MS 18‘, Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society (JMBRAS) 25 (1952), h. 55-171.

[3]G.W.J. Drewes and L.F. Brakel, The Poems of Hamzah Fansuri, (Dordrecht-Holland, Cinnaminson-USA, 1986).

[4]Claude Guillot and Ludvik Kalus ‘La Stèle funéraire de Hamzah Fansuri‘, Archipel 60 (2000), h. 3-24.

[5]Drewes, Hamzah Fansuri, h. 54.

[6]P.S. Van Ronkel, ‘An Account of Six Malay Manuscripts of the Cambridge University Library‘, Bijdragen tot tie koninklijk instituut voor taal-land-en volkenkunde 46 (1896), 2 ff. Gambaran lebih detail tentang penggalan tafsir dari koleksi ini, lihat Peter G. Riddell, Islam and the Malay-Indonesian World, (London, 2001), h. 150-151. 

[7]‘Alâ‘ al-Dîn ‘Alî b. Muhammad b. Ibrâhîm al-Baghdâdî al-Khâzin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma‘ânî al-Tanzîl, (Beirut, t.th.) 

[8]Catatan lengkap tentang tulisan tokoh ini serta latar belakangnya disajikan oleh C.A.O. van Nieuwenhuize, Syamsu‘l-Din van Vasai, Bijdrage tot de kennis der Sumatraansche Mystiek, (Leiden, 1945).  

[9]Snouck Hurgronje, The Achehnese, (Leiden, 1996), terj. A.W.S. O‘Sullivan. Lihat vol II, h. 1-4.

[10]Sebuah edisi karya berbahasa Arab-nya yang utama, Jawhar al-Haqâ‘iq, termaktub dalam karya van Nieuwenhuize, Samsu‘l-Din, h. 245-266.  

[11]Lihat P. Voohoeve, ‘‘Abd al-Ra‘uf b. ‘Alî al-Djâwî al-Fansûrî al-Sinkilî‘, Encyclopaedia of Islam, ed. H.A.R. Gibb et. al., (Leiden, 1960-2004), vol. I, h. 88.

[12]‘Abd al-Ra‘uf al-Singkeli, Tarjumân al-Mustafîd, (Singapore, 1370/1951).

[13]Peter G. Riddel, Transferring a Tradition: ‘Abd al-Ra‘uf al-Singkili‘s Rendering into Malay of the Jalâlayn Commentary, (California, 1990). 

[14]P.S. van Ronkel, Supplement to the Catalogue of the Arabic Manuscripts Preserved in the Museum Batavia Society of Arts and Sciences, (Batavia, 1913), h. 17-29.

[15]Mustafa Baisa, al-Abroor – Tafsir Djuz‘ ‘Amma, (Surabaya, t.th.), h. 9.

[16]Diskusi tentang ini dan yang terkait dengan permasalahan di atas, lihat A.H. Johns, “The Qur‘an in the Malay World: Reflections on ‘Abd al-Ra‘uf of Singkel (1615-1693)”, Journal of Islamic Studies 9:2 (1998), h. 120-145.

[17]Drewes, Direction for Travellers on the Mystic Path, h. 222.

[18]A.H. Johns, “Islam in he Malay World: An Exploratory Survey with Some Reference to Quranic Exegesis” dalam A.H. Johns dan R. Israeli, Islam in Asia, vol. II: Southeast and East Asia, (Jerussalem, 1984), h. 131-132.

[19]Snouck Hurgronje, Mekka in the Latter Part of the Nineteenth Century, (Leiden, 1931), h. 268-272.

[20]Snouck Hurgronje, Mekka, h. 271.

[21]al-Nawawî, Marâh Labîd: Tafsîr al-Nawawî, (Kairo, t.th.)

[22]Judul lengkap buku ini adalah al-Futûhât al-Ilâhiyyah bi-Tawdhîh Tafsîr al-Jalâlayn li al-Daqâ‘îq al-Khafiyyah yang ditulis oleh Sulaymân b. ‘Umar al-‘Ujaylî al-Azharî (w. 1790). Diterbitkan pertama kali oleh Bulaq tahun 1275/1858 yang edisinya terdiri dari empat volume, Kairo, 1318/1900. Brockelmann (Geschichte der arabischen Litteratur (GAL), vol. II, h. 353) seringkali merujuk pada al-Jamal dan karyanya, yang menggambarkannya sebagai seorang tradisionalis dan anggota sebuah kelompok yang mengembangkan penggunaan Sunnah untuk menjawab penggunaan pendapat pribadi dalam urusan agama. Informasi selanjutnya, ia merujuk pada al-Jabartî, yang mencatat bahwa ia sangat terkenal karena kesalehan dan asketismenya (ia tetap membujang), yang menjadi Khalifah Tarekat Khalwatiyah, mengajarkan tafsir, Hadis, dan fikih di sekolah-sekolah Ashrafiyah yang terkenal itu, yang didirikan oleh Sultan al-Malik al-Ashraf Barsbay pada tahun 1423.  

[23]Judul lengkap buku ini adalah al-Sirâj al-Munîr fî al-I‘ânah ‘alâ al-Ma‘ârif ba‘d Ma‘ânî Kalâm Rabbinâ al-Hakîm al-Khabîr yang ditulis oleh Muhammad b. Muhammad al-Khatîb al-Syirbînî (w. 1570). Paling tidak, ada dua edisi cetaknya yang masing-masing terdiri dari empat volume: al-Khayriyyah, Kairo 1311/1893, dan Bulaq, 1285/1868. Informasi biografis tentangnya tidak banyak. Terdapat beberapa catatan dari Brockelmann (GAL, vol. II, h. 320; GAL Supplement, vol. II, h. 441) dan sebuah paragraf dalam catatan al-Dzahabî terhadap karyanya dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, 2 volume, (Kairo, 1976), vol. I, h. 338-345.  

[24]Al-Nawawî, Marâh Labîd, h. 2. Nama lengkapnya adalah Abû al-Su‘ûd Muhammad b. Muhammad al-Amadî (1492-1544). Menurut al-Dzahabî (al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol. I, h. 345), ia memiliki reputasi yang sangat tinggi. Lihat juga Brockelmann, GAL, vol. II, h. 438. Tafsirnya ini diterbitkan pertama kali oleh Bulaq tahun 1275/1858 dalam lima volume cetakan, Kairo, 1347/1928.

[25]Lihat A.H. Johns, “On Qur‘an Exegetes and Exegesis: A Case Study in the Transmission of Islamic Learning” dalam Peter G. Riddel dan Tony Street, Islam: Essays on Scriptures, Thought and Society, (Leiden dan New York, 1997), h. 3-49.

[26]A.H. Johns, “On Qur‘an Exegetes and Exegesis”, h. 39.

[27]A.H. Johns, “On Qur‘an Exegetes and Exegesis”, h. 41.

[28]Baisa, al-Abroor, h. 9.

[29]J. Bluhm, "A Preliminary Statement on the Dialogue Established between the Reform Magazine al-Manar and the Malayo-Indonesian World", Indonesia Circle, (Nov, 1983), h. 35-42.

[30]Baisa, al-Abroor, h. 13-15.

[31]Miss Bluhm (lihat footnote no. 29), yang menulis disertasi tentang kontak antara kelompok al-Manâr dan ulama Indonesia, mengungkap materi ini dalam riset lapangannya di Jakarta pada 1983 ketika ia menemui anggota keluarga Soorkatie. Ia memberi materi ini kepada saya secara personal, dan saya sangat berterima kasih kepadanya.

[32]Karya awal tentang ini adalah yang dibuat oleh Mahmud Yunus, Tafsîr Qur‘ân Karîm, (Jakarta: dimulai tahun 1922 dan dicetak pertama kalinya secara keseluruhan tahun 1938).

[33]Riddell, Islam and the Malay-Indonesian World, h. 267.

[34]Al-Qur‘an dan Terjemahnya, (Jakarta, 1980)

[35]H.B. Jassin, al-Qur‘an al-Karim Bacaan Mulia, Edisi II (Jakarta, 1982)

[36]H.M. Federspiel, Popular Indonesian Literature of the Qur‘an, (Ithaca, NY), h. 130 & 72.

[37]Al-Qur‘an dan Tafsirnya, (Jakarta, 1975), diterbitkan oleh Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur‘an, Departemen Agama Republik Indonesia.

[38]Diterbitkan oleh Bulan Bintang, (Jakarta, 1964).

[39]Versi terbaik dari edisi sepuluh volume diterbitkan oleh Pustaka Nasional Singapura tahun 1992. Edisi terbaru dicetak ulang tahun 2001. 

[40]R.M. Feener, “Notes Towards the History of Qur‘anic Exegesis in South-East Asia”, Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies 5:3, (1998), h. 47-76.

[41]Dikutip oleh Riddell, Islam and the Malay-Indonesian World, h. 266.

[42]Riddell, Islam and the Malay-Indonesian World, h. 275-276.

[43]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‘an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Jakarta, 1992).

[44]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‘an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Jakarta, 1996).

  

Minggu, 24 Agustus 2008

Tafsir Surah Ya Sin

Tafsir Surah Ya Sin (ayat 2 dan 3)
Oleh: Sulaiman Al-Kumayi

(2). Demi al-Qur’an yang penuh kebijaksanaan.
Pada ayat ini Allah menjadikan al-Qur’an sebagai persumpahan. Huruf wawu yang mendahului kata al-Qur’an, adalah huruf qasam, yang bermakna sumpah, sehingga dalam konteks ini harus diterjemahkan sebagai ‘demi’, dan bukan diterjemahkan sebagai ‘dan’. Apabila ini dikaitkan dengan ayat pertama di atas, ini merupakan isyarat bahwa apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad, sebagaimana yang ada dalam al-Qur’an, merupakan ajaran-ajaran yang penuh hikmah(wisdom). Bukan ajaran yang absurd (sia-sia). Mereka yang mempelajari dan mencerna al-Qur’an dengan tekun dan profesional akan menangkap kebijaksanaan yang ada di dalamnya. Tetapi mereka yang hanya berorientasi pada pencarian “pahala” an sich, tidak akan memperoleh al-hikmah. 
Dalam ayat 2 ini al-Qur’an diatributi oleh al-hakîm. Al-hakîm dipahami oleh sementara ulama dalam arti “yang memiliki hikmah.” Sedang hikmah antara lain berarti mengetahui yang paling utama dari segala sesuatu, baik pengetahuan, maupun perbuatan. Seorang yang ahli dalam melakukan sesuatu dinamai hâkim. Hikmah juga diartikan sebagai sesuatu yang bila digunakan/diperhatikan akan menghalangi terjadinya mudarat atau kesulitan yang lebih besar dan atau mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang lebih besar, makna ini ditarik dari kata ‘hakamah’, yang berarti kendali, karena kendali menghalangi hewan/kendaraan mengarah ke arah yang tidak diinginkan, atau menjadi liar. Memilih perbuatan yang terbaik dan sesuai adalah perwujudan dari hikmah. Memilih yang terbaik dan sesuai dari dua hal yang burukpun dinamai hikmah dan pelakunya dinamai hâkim(bijaksana). Siapa yang tepat dalam penilaiannya, dan dalam peraturannya, dialah pelaku hakim.
 Allah menyifati al-Qur’an dengan al-hakîm pada ayat 2 ini, karena seluruh kandungannya merupakan petunjuk (hudan) yang terbaik guna mendatangkan kemaslahatan dan menhindarkan dari keburukan. Penyifatan ini sangat tepat ketika kita menyimak lebih lanjut ayat-ayat berikutnya, yang berisi peringatan (al-dzikr), ajaran moral (moral teaching), kisah dan sebagainya. Kesemuanya merupakan hikmah yang bisa dipetik oleh umat manusia.

(3). Sesungguhnya engkau adalah salah seorang dari para rasul.
 Dhamir(kata ganti) engkau pada ayat ini secara spesifik merujuk pada Nabi Muhammad SAW. Pada ayat 2 Tuhan bersumpah “Demi al-Qur’an yang penuh kebijaksanaan,”sumpah ini adalah guna menguatkan keterangan yang diberikan Tuhan atau kesaksian Tuhan di ayat 3 ini bahwa Nabi Muhammad benar-benarlah termasuk dari para rasul (utusan Allah). Dengan demikian, kehadiran Nabi Muhammad ke muka bumi ini ada kaitannya dengan ajaran para rasul Allah di masa-masa sebelum beliau.
 Pada ayat ini Allah menggunakan dua huruf taukîd(huruf penguat terhadap suatu pernyataan), yaitu inna dan lâm, hal ini untuk menegaskan bahwa Nabi Muhammad itu adalah Rasul Allah dan merupakan salah seorang dari rasul-rasul. Karena itu tak ada alasan untuk mengingkari kerasulannya.



Senin, 18 Agustus 2008

Tafsir Surah Ya Sin Ayat 1

(1). Yâ Sîn.
Beberapa komentator (mufassirûn) menjelaskan bahwa huruf ya sebagai kata seru (vokatif), dan sîn sebagai singkatan insân, sîn hanya sebagai huruf penguat (firm letter) dalam kata itu. Dalam hal ini huruf itu sebagai panggilan kepada seseorang, “Hai manusia.“ Tetapi dalam hubungan ini “manusia” diartikan sebagai pemimpin umat manusia, orang yang termulia di antara manusia, Muhammad Rasulullah.
 Menurut Ibnu `Abbâs, arti Yâ Sîn merujuk pada dialek Thayy, sebuah dialek bahasa Arab yang diakui. Yâ Sîn merupakan akronim untuk Yâ Insânu (Wahai Manusia) atau “wahai manusia sempurna”(O perfect man). Ibnu Jâbir juga mengemukakan pendapat yang sama, bahwa Yâ Sîn merupakan salah satu nama Nabi Muhammad. Argumen yang diajukan Ibnu Jâbir merujuk pada ayat 3: innaka la min al-mursalîn. Tetapi ada juga yang menafsirkan lain mengenai Yâ Sîn ini. Malik yang bersumber dari Zaid bin Aslam menafsirkan bahwa huruf-huruf singkatan itu mengisyaratkan nama Allah. Kalangan ulama modern Mesir, khususnya Muhammad al-Ghazâlî, menjelaskan bahwa Yâ Sîn tidak merujuk pada nama Nabi Muhammad SAW. melainkan dua huruf dari hurûf al-hijâ’ (alfabet). Hal senada dikemukakan Sayyiq Quthb:
Allah bersumpah dengan dua huruf ini, Yâ Sîn, dan dengan al-Qur’an yang penuh hikmah. Penyatuan antara huruf-huruf abjadiah ini dengan al-Qur’an menguatkan hipotesis yang kami pilih dalam menafsirkan huruf-huruf abjad yang berada di awal surah; dan hubungan antara penyebutannya dengan al-Qur’an. Dan, bukti bahwa al-Qur’an itu berasal dari Allah, adalah ayat yang mereka tak tadaburi itu yang kemudian al-Qur’an kembalikan mereka kepada ayat itu, bahwa al-Qur’an itu terbentuk dari jenis-jenis huruf yang sama yang selama ini mereka gunakan dengan mudah. Namun, rangkaian pikirannya dan redaksionalnya berada di atas kemampuan mereka dalam membuat redaksi dari huruf-huruf yang sama itu.  
Dari beberapa fakta yang dikemukakan oleh para ahli tafsir dan merujuk pada isi yang terdapat dalam surah ini, dan juga bait-bait syair yang dikemukakan oleh para penyair Arab terkemuka. Kami cenderung menganggap huruf-huruf singkatan ini mengindikasikan nama gelar untuk Nabi Muhammad. Ini bisa kita lihat dalam bait-bait syair al-Humairî yang memuji Nabi dengan bersenandung: 
Wahai jiwa!Tidak ada cinta yang paling tulus
  Kecuali cinta kepada Yâ Sîn
 Yang dimaksud al-Humairî dengan Yâ Sîn adalah Nabi Muhammad SAW.
Dari pengertian ini, ada kesepakatan bahwa yang dituju oleh akronim ini adalah Nabi Muhammad SAW., karena beliau adalah representasi manusia sempurna (al-insân al-kâmil). Menarik didiskusikan mengenai Yâ Sîn atau Yâ Insânu ini.
 Jalaluddin Rakhmat telah mengulas secara mendetail mengenai konsep antropologis basyar, insân dan al-nâs, dalam sebuah makalahnya. Kata insân diulamg sebanyak 65 kali dalam al-Qur’an. Berdasarkan informasi Kitab Suci tersebut, kita dapat mengelompokkan konteks insân dalam tiga kategori. Pertama, insân dihubungkan keistimewaannya sebagai khalîfah atau pemikul amanah. Kedua, insân dihubungkan dengan predisposisi negatif diri manusia Ketiga, insân dihubungkan dangan proses penciptaan manusia. Dan keempat, insân menunjuk pada sifat-sifat psikologis atau spiritual.
 Pada kategori pertama, kita melihat keistimewaan manusia sebagai wujud yang berbeda dangan hewani. Dalam pandangan al-Qur’an, manusia adalah makhluk yang diberi ilmu ;”Yang mengajar dangan pena, mengajar insân apa yang tidak diketahuinya”(QS.96:4,5), “Ia (Allah) mengajarkan (insân) al-bayan” ( QS.55:3 ). Manusia diberi kemampuan mengembangkan pengetahuan dan daya nalarnya. Karena itu juga, kata insân berkali-kali dihubungkan dengan kata nazhar. Insân disuruh menazhar(merenungkan, memikirkan, menganalisis dan mengamati) perbuatannya (QS.79:35), proses terbentuknya makanan dari siraman air hujan hingga terbentuknya buah-buahan (QS.80:24-36), dan penciptaannya (QS.86:5). Dalam hubungan inilah setelah Allah menjelaskan sifat insân yang tidak labil, Dia berfirman ,”Akan Kami perlihatkan kepada mereka (insân) tanda-tanda Kami di alam semesta ini pada diri mereka sendiri sehingga jelas baginya bahwa ia itu adalah al-Haq”(QS.41:53).
 Kedua, manusia adalah makhluk yang memikul amanah (QS.33:72). Menurut Fazlur Rahman (1967:9), amanah adalah menemukan hukum alam, menguasainya atau dalam terminologi al-Qur’an “mengetahui nama-nama semuanya”(wa ’allama adama al-asmâ-a kullahâ (QS.2 : 31). Dan kemudian menggunakannya dengan inisiatif moral insâni, untuk menciptakan tatanan dunia yang baik. Muhammad Hussein al-Thabataba`i dalam bukunya “Al-Mizân fî Tafsîr Al-Qur’ân” menerangkan bahwa amanah sebagai predisposisi (isti`dad) untuk beriman dan mentaati Allah. Di dalamnya, tegas Thabâthabâ’î terkandung makna khilafah, manusia sebagai pemikul al-wilâyah al-ilâhiyyah. Amanah inilah yang dalam ayat-ayat lain disebutkan sebagai perjanjian (‘ahd, mitsq,` isr). Predisposisi untuk beriman inilah yang digambarkan secara metaforis oleh al-Qur’an.
 Dan [ingatlah], ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka(seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”Mereka menjawab: “Betul(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.”(QS. 7: 172). 
 Ketiga, karena manusia memikul amanah, maka insân dalam al-Qur’an juga dihubungkan dengan konsep tanggung jawab(QS.75: 3, 36; 50: 16). Ia diwasiatkan untuk berbuat baik(QS. 29: 8; 31:14; 46:15); amalnya dicatat dengan apa yang dikerjakannya(QS.53: 39). Karena itu, insanlah yang dimusuhi setan(QS. 17: 53; 59: 16) dan ditentukan nasibnya di hari Kiamat(QS. 75: 10, 13, 14; 79: 35; 80: 17; 89: 23).
 Keempat kategori tentang insân yang dikemukakan di atas, memang terpresentasikan dalam surah Yâ Sîn. Di sini deskripsi tentang manusia dikemukakan secara kompleksitas.
 Mengikuti asumsi bahwa Yâ Sîn merujuk kepada Nabi Muhammad, ayat pertama ini menggugah pembacanya agar memperhatikan dan meneladani akhlak beliau. Nabi Muhammad adalah insân kâmil(perfect man) dan menjadi uswah(teladan) bagi umat manusia. Dengan demikian, lewat akronim ini, Yâ Sîn bukanlah huruf-huruf tak bermakna, sebaliknya, huruf-huruf itu mengandung kekuatan dan interpretasi misterius.
 Annemarie Schimmel dalam And Muhammad is His Messenger berhasil merekam pemahaman kaum Muslim terhadap kasus huruf-huruf singkatan ini yang tiada lain merupakan gelar bagi Nabi Muhammad. Penganugerahan ini bukanlah hanya sekedar gelar biasa. Tetapi dibalik itu semua tersimpan potensi atau kekuatan yang sangat istimewa bagi yang menyandang gelar tersebut. 
 Didorong oleh kenyataan inilah, sebagian umat Islam menganugerahi dirinya dengan nama-nama Nabi Muhammad. Mengenal nama seseorang berarti mengenal orang itu sendiri. Seorang kekasih tidak boleh mengungkapkan nama kekasihnya, sebab dia tidak ingin orang lain mengetahui rahasia-rahasia cintanya. Karena nama itu merupakan bagian, dan bahkan bagian yang sangat penting, dari sesuatu atau seseorang, ia membawa barakah, kekuatan barakah, dan jika seseorang itu mendapatkan suatu kekuatan khusus atau menempati suatu kedudukan yang sangat tinggi, namanya pun dapat mempengaruhi – dengan yang misterius – orang-orang yang diberi nama sama. Ini berbeda dengan anggapan Shakeaspeare, yang menganggap “apalah artinya sebuah nama”. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan bahwa kaum Muslim beranggapan bahwa nama Nabi mengandung suatu barakah yang sangat istimewa. Perasaan ini terungkap secara ringkas dalam suatu permohonan oleh seorang kelana Anatolia, Yunus Emre, yang ditulis pada sekitar tahun 1300:
 Tolonglah, berdoalah untuk kami di Hari Kiamat-
 Namamu Indah, engkau sendiri indah, Muhammad!
 Kata-katamu diterima di dekat Allah, Tuhanku-
 Namamu Indah, engkau sendiri indah, Muhammad!
 
Nabi sendiri mempunyai banyak gelar, bahkan sampai ada yang menyusun sampai 99 nama, asmâ al-syarîfah (nama-nama mulia) yang setara dengan 99 asmâ al-husnâ, nama-nama Tuhan yang paling indah. Dalam al-Qur’an, dua nama surah, Thâ Hâ dan Yâ Sîn, adalah nama-nama gelar untuk Nabi Muhammad. Huruf Yâ Sîn – sebagaimana telah diuraikan di atas – sapaan untuk Nabi, sebuah sapaan penghormatan dan luapan rasa cinta yang mendalam dengan Sang Nabi. Ungkapan cinta yang sebenarnya sulit dilukiskan dengan kata-kata, karena kata-kata sering bisa membatasi perasaan cinta itu sendiri. Orang bijak mengatakan, cinta sejati adalah cinta yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Bait-bait di bawah ini merupakan salah satu wujud ekspresi ungkapan rasa cinta kepada Sang Nabi. 
 Shalâtullâh salâmullâh - `alâ Thâ Hâ Rasûlillâh
 Shalâtullâh salâmullâh - `alâ Yâ Sîn Habîbillâh.

Tidak hanya dalam bait-bait di atas, di India ada Amir Khusrau yang menafsirkan huruf sîn sebagai “gigi”, sebagai simbolisasi rasa cintanya pada Nabi Muhammad SAW..
 Yâ Sîn telah menyebarkan mutiara dari mulutnya,
 Thâ Hâ telah menerima di dalam yakâdu.
 Kata yakâdu dalam bait terakhir Amir Khusrau di atas dikaitkan dengan tiga ayat surah al-Qalam:
Lalu Tuhannya memilihnya dan menjadikannya Termasuk orang-orang yang saleh(ayat 50). Dan sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengar al-Qur’an dan mereka berkata: “Sesungguhnya ia (Muhammad) benar-benar orang gila”(ayat 51). Dan al-Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan bagi seluruh umat (ayat 52).
   
 Annemarie Schimmel juga mencatat bahwa penggunaan nama-nama sapaan ini masih luas bahkan di sudut-sudut terpencil di dunia Muslim, dan sebagaimana para qawwal di Khuldabat (India) mengulang berkali-kali refrain Urdu nyanyian mereka.
Betapa Allah telah melingkupimu dalam al-Qur’an
dengan nama-nama yang indah!
Kadang-kadang Dia menyapamu dengan Thâ Hâ, 
kadang-kadang dengan Yâ Sîn….


Selasa, 12 Agustus 2008

Tafsir Surah Ya Sin

Menyingkap Rahasia Jantung Al-Quran

"Surah Yâ Sîn"

Oleh:

Sulaiman Al-Kumayi, MA.

Dosen dan Skretaris Jurusan Tasawuf dan Psikoterapi Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo

Kandidat Doktor Islamic Studies Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang

A. Pendahuluan

Surat ini diturunkan sesudah sûrah XXXVI(Shâd) menurut kronologi Regis Blachere.[1] Sedangkan menurut Hubert Grimme, sûrah Yâ Sîn diturunkan sesudah XXXVII (al-Shaffât). Departemen Agama RI, menempatkan surah ini pada urutan nomor 36: “termasuk golongan surah-surah Makkiyyah, diturunkan sesudah surah Jin.”[2] Sûrah Yâ Sîn terdiri atas 83 ayat, 720 kata dan 3.000 huruf. Dan surah ini termasuk surah yang diturunkan pada periode Makkah Tengah menurut aransemen kronologis yang diajukan oleh Regis Blachere. Ahmad Musthafa al-Marâghî mengemukakan bahwa di antara 83 ayat surah Yâ Sîn tersebut, ayat 46 termasuk kategori Madaniyyah.[3]

Bagi kaum Muslimin surah Yâ Sîn mendapatkan tempat tersendiri bagi mereka dibandingkan dengan surah-surah lainnya. Ini dibuktikan dari adanya perkumpulan-perkumpulan, seperti Jamaah Yasinan, yang biasanya mengadakan pembacaan surah ini pada setiap malam Jumat. Untuk berbagai keperluan, seringkali seorang anggota jamaah meminta kepada para jemaah untuk membacakan surah Ya Sin sebanyak 41 kali. Mereka yakin dengan pembacaan 41 kali tersebut permohonan-permohonan mereka kepada Allah pasti dikabulkan. Mungkin ada sekelompok umat Islam lain yang tidak setuju dengan ini. Tetapi, pilihan mereka terhadap Ya Sin yang kemudian menumbuhkan kecintaan yang luar biasa kepada surah ini tentunya suatu sikap yang harus dihormati. Karena dalam hadis-hadis kita temukan Allah memang memberikan keistimewaan-keistimewaan tersendiri untuk beberapa surah.

Kitab Riyâdh Al-Shâlihîn menyebutkan anjuran Nabi Saw untuk membaca surat-surat dan ayat-ayat tertentu. Sebagai contoh, membaca surah Al-Ikhlas setara dengan sepertiga Al-Quran (10 juz). Dari Abu Said Al-Khudri ra bahwasanya Rasulullah Saw menceritakan tentang keutamaan Qul Huwallâhu Ahad [surat Al-Ikhlas], di mana beliau bersabda, "Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sesungguhnya surat ini sebanding dengan sepertiga Al-Quran. Dalam riwayat lain dikatakan: Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda kepada para sahabatnya, "Apakah masing-masing dari kamu sekalian tidak mampu untuk membaca sepertiga Al-Quran setiap malam?" Para sahabat merasa berat terhadap apa yang disabdakan oleh beliau, dan mereka berkata, "Wahai Rasulullah, siapakah di antara kami yang mampu berbuat seperti itu?" Beliau bersabda, " Qul Huwallâhu Ahad Allâhush-Shamad [surat Al-Ikhlas] itu adalah sepertiga Al-Quran." (HR Bukhari).

Di tempat lain disebutkan, dari Anas ra bahwasanya ada seseorang berkata, "Wahai Rasulullah sesungguhnya saya suka pada surat Qul Huwallâhu Ahad." Beliau bersabda, "Sesungguhnya kecintaanmu terhadap surat itu dapat memasukkan kamu ke dalam surga." (HR. Al-Turmidzi).

Mungkin karena keistimewaan surat Al-Ikhlas ini, saya pernah menemukan ada beberapa perkumpulan yang menamakan dirinya Jamaah Surat Ikhlas. Mereka ini sebagaimana Jemaah Yasinan, secara khusus membaca surah ini beberapa kali pada malam Jumat dengan berbagai maksud dan tujuan.

B. Fadhilah dan Khasiat

Kembali ke Surah Yâ Sîn. Mungkin ada yang bertanya: mengapa ada sekelompok umat Islam sangat mengistimewakan Surah Yâ Sîn sehingga mengalahkan surah-surah yang lain?

Tentu saja tidak ada niat mereka untuk mengistimewakan Surah Yâ Sîn dan mengabaikan yang lain. Ada alasan-alasan religius dan empirik yang menyebabkan surah ini memang istimewa. Rasulullah Saw sejak awal misi kenabiannya telah memberitahukan bahwa Allah akan mengangkat derajat beberapa kaum dengan Al-Kitab (Al-Quran) dan Dia akan merendahkan derajat kaum yang lain dengannya (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam Tarjumân al-Mustafîd, sebuah karya tafsir al-Qur’an pertama di Indonesia berbahasa Melayu (Abad XVII), ditulis oleh `Abd al-Raûf ibn `Alî al-Jâwî al-Fanshûrî al-Sinkîlî (1615-1693), pada bagian pengantar penulis sekitar Sûrah Yâ Sîn sebagai berikut:

“Tersebut di dalam Baidhâwî, [sebuah] hadis [menyebutkan bahwa] bagi tiap-tiap sesuatu ada hatinya dan hati al-Qur’an itu Yâ Sîn. Barang di mana Muslim dibaca di sisinya Yâ Sîn, tatkala turun kepadanya Malakal Maut niscaya turun bagi tiap-tiap huruf daripadanya sepuluh malaikat, berdiri mereka itu di hadapannya bersaf-saf, menyembahkyangkan mereka atasnya dan minta ampun mereka itu baginya. Dan hadir mereka itu pada ketika memandikan dia dan mengiringkan mereka itu akan jenazahnya, dan menyembahyangkan mereka itu atasnya, dan hadir mereka itu menemaninya. Dan barang di mana Muslim membaca Yâ Sîn, padahal ia di dalam sakaratul maut tiada diambil oleh Malakal Maut nyawanya hingga datang kepadanya [Malaikat] Ridwan membawa minuman dari dalam surga, maka diminumnya akan dia padahal ia hamparannya kemudian, maka diambil Malakal Maut nyawanya, padahalnya puas dahaga, dan tiada ia berkehendak kepada haudh al-Anbiyâ [kolam para Nabi – pen.] hingga masuk ia ke dalam surga. Padahal ia puas dahaga. Syahdan bahwasanya tersebut di dalam [Tafsir] Khâzin…”barang siapa mengaji Yâ Sîn, niscaya disuratkan Allah Ta`ala baginya dengan mengaji dia itu seperti mengaji Qur’an sepuluh kali.”[4]

Di dalam kitabnya yang lain, Tanbîh al-Mâsyî al-Manshûb ilâ Tharîq al-Qusyasyi (Pedoman bagi orang yang menempuh Tarikat al-Qusyasyi), Abd al-Raûf menambahkan sebagai berikut:

“Mengenai Sûrah Yâ Sîn, disebutkan dalam hadis marfu` dari Anas yang diriwayatkan oleh at-Tirmizi dan lainnya, bahwa Nabi bersabda, “Barang siapa membaca Sûrah Yâ Sîn, Allah mencatat baginya pahala membaca al-Qur’an sepuluh kali.” Dan dalam hadis marfu`[yang] lain dari Ma’qal ibn Yasar., yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dan lainnya, Nabi bersabda, “Sûrah Yâ Sîn adalah inti al-Qur’an. Tidak ada seorangpun yang membacanya karena mengharap rida Allah dan hari akhirat, kecuali ia diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.” Dan dalam kitab Îqâzh al-Wusnân li qirâ’ah al-Qur’ân diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra., Nabi SAW bersabda, “Barang siapa membaca Surah Yâ Sîn malam hari, niscaya diampuni pada pagi hari. “Dan dari Abu Hurairah ra. Nabi bersabda, “Barang siapa membaca Surah Yâ Sîn setiap malam, niscaya diampuni dosa-dosanya.”[5]

Syaikh `Abd al-Shamad al-Palimbani dalam kitabnya Siyar al-Sâlikîn fî Tharîqat al-Sâdât al-Shûffiyyah menerangkan sebagai berikut:

(Ketahui olehmu) bahwasanya Surah Yâ Sîn itu amat besar qadarnya[ketentuan pahalanya] dan nyata berkatnya dan masyhur fadilatnya. [Sebuah riwayat] daripada Nabi SAW. bersabda bagi Sayyidina Ali r.a.:”lazimkanlah olehmu dengan membaca Surah Yâ Sîn, maka bahwasanya di dalamnya dua puluh berkat. Tiada membaca akan dia oleh orang yang lapar melainkan dikenyangkan dia. Dan tiada yang bertelanjang melainkan dipakaikan dia. Dan tiada yang bujang melainkan berkahwin dia. Dan tiada yang takut melainkan diamankan dia, dan tiada yang sakit melainkan disembuhkan dia. Dan tiada membaca yang kena penjara melainkan dikeluarkan, dan tiada yang musafir melainkan ditolongkan atas safar[perjalanannya]. Dan tiada yang duka cita melainkan diringankan Allah daripadanya. Dan tiada membaca oleh orang yang hilang baginya sesuatu melainkan mendapat akan dia. (Dan barangsiapa) ada baginya hajat pada raja-raja atau pada orang besar-besar maka hendaklah membaca akan dia dua puluh lima kali, dan masuk ia atasnya maka bahwasanya dimuliakan dia dan ditunaikan hajatnya bi idznillâh Ta`ala.[6]

Dalam Majmû` Syarîf[7], sebuah kitab yang berisi kumpulan surah-surah tertentu dan berbagai macam doa, menyebutkan ada delapan fadhilah dan khasiat surah Yâ Sîn.

Pertama, jika surah Yâ Sîn dibacakan pada orang yang sedang sekarat akan mati, dapat mempermudah dan mempercepat keluarnya ruh. Rasulullah Saw bersabda, "Bacakanlah untuk orang (yang akan) mati surah Yâ Sîn." (HR Abu Dawud).

Kedua, dengan membaca surah Yâ Sîn Allah menetapkan pahala seperti membaca Al-Quran sepuluh kali. Nabi Saw bersabda, "Sesungguhnya setiap sesuatu itu ada jantungnya, sedangkan jantung Al-Quran adalah surah Yâ Sîn. Barangsiapa membaca surah Yâ Sîn, maka Allah menetapkan baginya seperti membaca Al-Quran sepuluh kali."

Ketiga, dapat memberi syafaat bagi pembacanya, memberi ampunan pendengarnya, mendapatkan kebaikan di dunia, hilang ketakutannya di hari kiamat, menolak kejahatan dan didatangkan segala hajatnya. Rasulullah Saw bersabda, "Bahwasanya di dalam Al-Quran itu ada satu surah yang dapat memberi syafaat kepada pembacanya dan memberi ampunan bagi pendengarnya. Ketahuilah, itulah surah Yâ Sîn, yang dalam Taurat dinamakan Al-Mu`ammah. Ditanyakan, "Ya Rasulullah, apakah Al-Mu`ammah itu" Beliau menjawab, "Yang menjadi penyebab bagi orang yang membaca dan mendengar mendapatkan kebaikan di dunia dan menghilangkan ketakutan di akhirat." Dan surah Yâ Sîn disebut juga Al-Dafi`ah dan Al-Qadhiyah. Ditanyakan oleh sahabat, "Ya Rasulullah, mengapa demikian?" Beliau menjawab, "Karena dapat menolak kejahatan dan dikabulkan segala hajatnya bagi orang yang membacanya."

Keempat, dapat meringankan siksa kubur. Rasulullah Saw bersabda, "Barangsiapa masuk ke pekuburan lalu membaca surah Yâ Sîn, maka Allah meringankan siksa ahli kubur pada hari itu, dan pembacanya memperoleh kebaikan sebanyak orang yang ada di dalamnya."

Kelima, jika dibaca pada malam Jumat maka akan mendapat ampunan. Rasulullah Saw bersabda, "Barangsiapa yang membaca surah Yâ Sîn pada malam Jumat, maka paginya mendapatkan ampunan."

Keenam, dengan membaca surah Yâ Sîn dapat memperoleh kemudahan. Disebutkan dalam hadis Al-Darimi dari Syahr bin Hausab, ia berkata bahwa Ibn Abbas berkata, "Barangsiapa membaca surah Yâ Sîn di waktu pagi, maka akan mendapatkan kemudahan di hari itu hingga sore. Dan siapa yang membacanya di permulaan malam, maka akan mendapat kemudahan pada malam itu sampai pagi."

Ketujuh, aurad surah Yâ Sîn untuk mendatangkan berbagai hajat. Dalam kitab Minhâj Al-Hanîf disebutkan, ada faidah atau manfaat yang besar sekali untuk mendatangkan berbagai hajat dengan aurad (mewiridkan) surah ini. Caranya dengan membaca surah Yâ Sîn tujuh (7) kali waktunya sesudah salat subuh. Aturannya sebagai berikut:

1) Lafaz Yâ Sîn dibaca tujuh (7) kali.

2) Jika sampai ayat

ذٰلِكَ تَقْدِيْرُ اْلعَزِيْزِ اْلعَلِيْمِ

dibaca empatbelas (14) kali.

3) Kalau sampai ayat

سَـلاَمٌ قَوْلاً مِّنْ رَبٍّ رَحَيْمٍ

dibaca tujuh (7) kali.

4) Dan ayat

اَوَلَيْسَ الَّذى....وَهُوَ اْلخَـلاَّقُ اْلعَلِيْمُ

Dibaca dua belas (12) kali.

Setelah selesai membaca surah Yâ Sîn dilanjutkan membaca surah Al-Fatihah satu (1) kali dan Basmalah satu (kali). Kemudian memohon kepada Allah Swt apa yang diinginkan. Insya Allah hajatnya cepat dikabulkan asalkan bukan untuk membahayakan orang lain.

Dari Abdullah bin Zubair, bahwa Nabi Saw bersabda, "Siapa yang menjadikan surah Yâ Sîn dipermulaan hajatnya, maka hajatnya dikabulkan."

Kedelapan, jika surah Yâ Sîn dibaca di tengah malam sebanyak 4 kali atau 35 kali secara rutin, maka khasiatnya dapat memperluas rezeki dan memperlancar datangnya rezeki. Begitu jika dibaca 41 kali, maka hajatnya dikabulkan oleh Allah.

C. Berdasarkan Pengalaman

Secara empirik, surah Yâ Sîn mempunyai banyak keistimewaan. Dalam Tafsîr Al-Azhar, yang dapat digolongkan sebagai representasi tafsir Al-Quran modern, karya Prof. Dr. Hamka mengemukakan pengalaman empiriknya bersama Surah Yâ Sîn. Berikut penulis kutipkan pengalaman Hamka:

“….Bila kita mengerti isi kandungannya, tahu akan maknanya akan besarlah pengaruh atas hati kita. Bersabda Nabi SAW. : “Diriwayatkan al-Imâm Ahmad, Abu Dawud dan al-Nasâ’i , diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari hadis Rasulullah SAW. bersabda, “Bacakanlah atas mayat kalian surah Yâ Sîn.”[8]

Dengan mengutip keterangan Imâm Ahmad, Hamka menambahkan bahwa jika surah ini dibacakan di dekat orang dalam keadaan sakaratul maut (menjelang detik-detik kematian), Allah akan meringankan baginya dan memudahkan rohnya ke luar dari jasad.

Penjelasan Hamka ini diperkuat oleh pengalaman pribadinya sendiri ketika ia berkunjung ke rumah sakit PELNI. Di rumah sakit yang terletak di Jati Pertamburan Jakarta, pada hari Jumat, 6 Dzû al-Qa`dah 1396H atau 29 Oktober 1976, pukul 05.00 sore, Hamka membuktikan sendiri “kehebatan” surah ini. Menurutnya, si sakit saat itu sudah berada dalam kondisi yang sangat kritis dan tidak mungkin diharapkan kesembuhannya lagi. Keluarga si sakit sudah merelakan kalau si sakit tersebut dipanggil Allah. Hanya saja yang sangat memprihatinkan bahwa si sakit tidak mampu mengucapkan kalimah syahadat (kalimah thayyibah). Mulutnya terkunci saat itu. Menyaksikan keadaan seperti ini, Hamka meminta kepada keluarga si sakit untuk tenang dan tidak boleh menangis.

Hamka pun membacakan sûrah Yâ Sîn dengan suara yang tenang, penuh khusyu` dan haru dan mengharap serta memohon kepada Tuhan. Jika memang telah waktunya agar dia jangan dibiarkan lama menderita. Sejak mulai ayat pertama Yâ Sîn dibaca, mulailah si sakit tidak menghempas-hempas lagi, kian lama kian tenang dan sesampai saya membaca pada ayat 77(awalam yara al-insânu annâ khalaqnâhu min nuthfatin fa idzâ huwa khashîmun mubîn) sampai di ujung ayat itu saya membaca dan sampai di situ pulalah nafasnya yang terakhir. Sesudah itu bergerak sekali saja dagunya, dan dia pun pergilah buat selama-lamanya. Maka kedengaranlah pekik ratap, tangis menggarung-garung dari gadis-gadis dan keluarga yang tidak terkendalikan dan bacaan saya teruskan sampai ke akhir sûrah Yâ Sîn.[9]

Pengalaman penulis sama dengan pengalaman Prof. Dr. Hamka di atas. Pada bulan Mei 1992 (waktu kunjungan ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan) dan bulan Agustus 2000 (waktu kunjungan ke Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, tempat kelahiran penulis), penulis diundang oleh keluarga yang sakit agar mendoakan saudaranya yang sedang sekarat itu dengan harapan penyakit yang dideritanya bisa terkurangi. Pada saat itu kondisi yang bersangkutan memang sangat kritis dan tidak mungkin diharapkan lagi kesembuhannya. Tampak oleh penulis, si sakit tidak bisa lagi mengucapkan kalimah thayyibah (lâ ilâha illâ Allâh, tidak ada Tuhan selain Allah). Padahal dalam sebuah hadis, sebagaimana ditulis oleh Imâm Nawâwî dalam Riyâdh al-Shâlihîn (Taman Orang-orang yang Saleh), mengemukakan bahwa apabila seseorang bisa mengucapkan kalimah thayyibah ketika rohnya akan dicabut oleh Malaikat Izrail, maka ia mati dalam keadaan husn al-khâtimah (akhir yang baik) dan bisa dipastikan sebagai ahli sorga (ahl al-jannah). Alhamdu li Allâh si sakit tadi bisa mengucapkan kalimah thayyibah tersebut ketika penulis membaca surah Yâ Sîn hingga akhir.

Pada tahun 2002, penulis diminta oleh seorang ibu ke sebuah rumah sakit di Semarang untuk membimbing ibunya yang sudah dalam keadaan kritis. Menurut keterangan dokter, si ibu menderita kanker stadium empat dan kemungkinan untuk sembuh sangat tipis. Bahkan, sekitar beberapa jam lagi si ibu akan meninggal. Saya melihat kecemasan yang luar biasa terpancar di wajah anak-anaknya yang hadir saat itu. Si ibu itu juga sudah tidak sadarkan diri.

Saya katakan kepada anak-anaknya, bahwa tujuan utama pembacaan surah Yâ Sîn hanya dua kemungkinan: sembuh atau meninggal. Kalau merujuk laporan dokter, maka kemungkinan meninggalnya lebih besar. Maka, tugas saya membacakan surah ini adalah untuk memberikan rasa damai dan tenteram kepada si ibu sehingga ia dapat mengakhiri hidupnya dengan mengucapkan kalimat thayyibah.

Subhanallah. Setelah saya membacakan surah Yâ Sîn, si ibu tadi tampak menggerakkan badannya dan bercakap beberapa saat kepada saya. Kemudian saya memberikan bimbingan keagamaan tentang makna hidup dan mati. Yang paling penting adalah tentang pentingnya mempersiapkan diri menghadapi kematian.

Si ibu tadi mampu bertahan dua hari dari prediksi dokter. Menurut keterangan menantunya, ibunya dapat melaksanakan salat termasuk salat malam selama dua hari tersebut. Dan yang paling membahagikan anak-anaknya adalah bahwa ibu mereka bisa mengucapkan kalimah thayyibah di akhir hayatnya dengan wajah tersenyum penuh kedamaian. Subhanallah.

Keterangan di atas, menurut hemat penulis, sangat baik kita kerjakan ketika melihat orang yang menderita sakit keras apalagi sudah sangat sekarat dan tidak bisa lagi diharapkan kesembuhannya. Karena seseorang yang pada waktu sakaratul maut tidak bisa mengucapkan kalimah thayyibah, maka orang tersebut mati dalam kategori su’u al-khâtimah, akhir yang merugi(sia-sia). Dalam Riyâdh al-Shâlihîn disebutkan dua buah hadis sebagai berikut:

Dari Mu`âdz r.a. berkata , Rasulullah SAW. bersabda, “Barangsiapa yang akhir perkataannya: lâ ilâha illâ Allâh(tidak ada Tuhan selain Allah), maka ia masuk surga(HR. Abu Dawud dan al-Hakim, dan mengatakan isnâd hadis ini sahih).

Dari Sa`îd al-Khudrî r.a. berkata, Rasulullah SAW. bersabda, “Bimbinglah orang yang hendak meninggal dunia dengan ucapan lâ ilâha illâ Allâh(HR. Muslim).

Syetan Hadir Pada Saat Sekarat

Menurut penulis, sangat baik sekali jika ada keluarga kita yang sedang sekarat kita bacakan Yâ Sîn di sisinya, karena pada saat itu ia sangat membutuhkan bantuan kita dan bantuan yang paling tepat adalah membacakan surah ini di sisinya. Ini perlu kita lakukan, karena saat kematian menjelang itu merupakan taruhan baginya di akhirat kelak. Sementara itu, syetan pada saat maut akan menjemput seorang anak Adam sangat antusias. Karena pada saat itu syetan tahu manusia benar-benar dalam keadaan yang sangat lemah dan tidak berdaya.

Dalam Shahîh Muslim disebutkan dari Jâbir bin Abdullâh bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Sungguh syetan mendatangi salah seorang kalian dalam setiap situasi dan kondisi bahkan pada saat makan. Dan jika kunyahan makanan salah seorang kalian jatuh, hendaklah ia membersihkan bagian yang kotor lalu memakannya, dan tidak membiarkannya dimakan syetan. Jika ia telah selesai makan, hendaklah ia menjilat jari-jarinya, karena ia tdak tahu di makanan yang mana terdapat keberkahan.”

Dr. `Umar Sulaiman al-Asyqar telah menghimpun pendapat para ulama mengenai masalah ini. Mereka sepakat bahwa syetan mendatangi manusia pada saat-saat genting itu (sakaratul maut) dengan menyamar sebagai ayah, ibu, atau orang lain yang dikenal sambil memberi nasehat dan mengajak untuk masuk agama Yahudi, Nasrani (Kristen) atau agama lain yang bertentangan dengan Islam. Pada saat itulah Allah menggelincirkan orang-orang yang telah ditakdirkan sengsara. Inilah makna ayat, “(Mereka berdoa), ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, karena sesungguhnya Engkau Maha Pemberi (karunia)” (QS. Ali Imran [3]: 8).[10]

Abdullah, putra Imam Ahmad bin Hanbâl, berkisah, “Aku menyaksikan wafatnya ayahku, dan di tanganku ada kain lap untuk mengusap jenggotnya yang lebat. Pada saat itu beliau pingsan kemudian sadar, lalu beliau berkata sambil menunjuk dengan tangannya, ‘Tidak, enyahlah! Tidak, enyahlah!’ Ia melakukan hal itu berulang-ulang. Lalu aku bertanya kepadanya, ‘Hai ayahku, apa yang engkau lihat?’ Ia menjawab, ‘Syetan berdiri di dekat terompahku sambil menggigit ujung jari, dan berkata “Hai Ahmad, ikutilah bujuk rayuku!” Aku pun berkata, “Tidak, enyahlah! Tidak, enyahlah, sampai aku mati pun!”[11]

Al-Qurthubî berkata: Aku mendengar guru kami, Imam Abû al-Abbâs Ahmad ibn Umar al-Qurthubî, berkata, “Aku menyaksikan ketika saudaraku, Syekh Abû Ja`far Ahmad ibn Muhammad al-Qurthubî, sedang sekarat di Cordova. Dikatakan kepadanya, ‘ucapkanlah lâ ilâha illâ Allâh.’Namun, jawaban yang keluar dari mulutnya, ‘Tidak! Tidak!’ Saat ia siuman, kami menceritakan hal itu kepadanya. Ia pun bercerita, ‘Datang dua syetan di sebelah kanan dan kiriku. Salah satunya berkata, “Matilah dalam keadaan beragama Yahudi, karena Yahudi adalah agama terbaik.” Yang satunya berkata, “Matilah dalam keadaan Nasrani (Kristen), karena Nasrani adalah agama terbaik.” Aku pun menjawab, “Tidak! Tidak!”

Menurut Ibn Taimiyah, kejadian seperti ini tidak mesti berlaku sama bagi setiap orang. Bahkan pada sebagian orang, ditawarkan lebih dari dua agama sebelum matinya. Sedangkan sebagian lagi malah tidak ditawarkan. Ini semua termasuk fitnah kehidupan dan fitnah kematian yang kita dianjurkan untuk memohon perlindungan dari hal itu dalam salat. Ibn Taimiyah menyebutkan bahwa syetan sering menggoda manusia pada saat sekarat, karena saat itu adalah waktu hajat. Beliau mengutip hadis Nabi, “Amal itu tergantung pada pengujungnya. Seorang hamba beramal dengan amalan ahli surga, namun ketika jarak antara dia dan surga tinggal sehasta, takdir mendahuluinya, sehingga ia beramal dengan amalan ahli neraka, maka masuk nerakalah ia. Seorang hamba beramal dengan amalan ahli neraka, namun ketika jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta, takdir mendahuluinya, sehingga ia beramal dengan amalan surga, maka masuk surgala ia.” Karena itu, tegas Ibn Taimiyah, syetan itu paling keras upayanya dalam menggoda anak Adam adalah saat sekarat. Ia berkata kepada kawan-kawannya, “Perhatikan dia, sebab bila ia luput, maka selamanya kalian tidak dapat mengambil keuntungan darinya.”[12]

D. Mengandung Hado

Menurut Jalaluddin Rakhmat, keniscayaa Al-Quran mengandung makna lahiriah dan batiniah disebutkan dalam hadis-hadis yang diriwayatkan oleh semua mazhab dalam Islam.[13]

Jabir bin Yazid al-Ja’fi berkunjung pada gurunya, Imâm Muhammad Al-Baqir a.s. Ia berkata, “Aku bertanya kepada Abu Ja`far a.s. sesuatu yang berkenaan dengan tafsir. Ia menjawab pertanyaanku. Kemudian, untuk kedua kalinya aku bertanya hal yang sama, dan ia memberikan jawaban yang lain. Aku berkata, ‘Semoga aku menjadi tebusanmu, engkau menjawabku untuk masalah ini dengan jawaban yang berbeda dengan jawaban sebelum ini.’ Imâm berkata, ‘Hai Jabir, sesungguhnya Al-Quran ini ada lahirnya. Setiap batin ada batinnya lagi. Al-Quran juga ada lahirnya. Setiap lahir ada lahirnya lagi.”[14]

Kandungan batiniah ini memang tidak semua orang mampu memahaminya. Salah satu kandungan batiniah Al-Quran adalah fakta bahwa setiap ayat Al-Quran yang kita baca menghasilkan energi atau gelombang Ilahi yang sulit dilihat yang mampu menggetarkan lingkungan sekitarnya. Dalam frekuensi tertentu gelombang tersebut mampu mempengaruhi obyek-obyek yang berada di dekatnya. Dr. Masaru Emoto[15] menyebut energi ini dengan Hado.

Menurut Masaru Emoto, semua benda yang ada di dunia ini memunyai gelombang atau Hado. Energi ini bisa berbentuk positif atau negatif, dan mudah dipindahkan dari satu benda ke benda lainnya. Emoto telah membuktikan hal ini secara ilmiah. Kata "Kamu Bodoh" mempunyai Hado tersendiri. Jika kata "Kamu Bodoh" ini diletakkan di dekat air, maka air akan menyerap Hado dari kata tersebut dan membentuk kristal tertentu. Di sisi lain, jika air diperlihatkan makna-makna positif, kristal yang indah akan terbentuk sebagai refleksi dari Hado yang positif. Hado, seperti yang dapat kita lihat, membentuk respon air terhadap informasi yang diterima.

Ditambahkan Masaru Emoto, setiap benda memunyai gelombang instrinsik tersendiri. Benda yang dimaksud di sini adalah semua materi atom yang membentuk molekul, dan partikel sub-atom yang membentuk atom. Dengan kata lain, setiap partikel sub-atom memunyai gelombang instrinsik tersendiri.

Pikiran dan tubuh kita dipengaruhi oleh gelombang intrinsik benda lain yang kita gunakan untuk membentuk resonansi. Dalam hubungan antar-manusia, kerapkali kita mengatakan bahwa kita tidak cocok dengan seseorang. Sebenarnya hal ini ada kaitannya dengan gelombang dan resonansi.

Merujuk pendapat Masaru Emoto ini, maka setiap kata atau kalimat surah Yâ Sîn yang dibaca menghasilkan Hado tersendiri. Hado Yâ Sîn ini diserap oleh tubuh dan pikiran kita, sehingga kalau sudah selesai membaca surah ini kita merasa damai dan tenang.

Pendapat Masaru Emoto ini diperkuat melalui penelitian Herbert Benson[16] dan Larry Dossey.[17] Penelitian ini melaporkan bahwa kata-kata zikir dapat menjadi salah satu frasa fokus (kata-kata yang menjadi titik perhatian) dalam proses penyembuhan diri dari kecemasan, ketakutan, bahkan dari keluhan fisik seperti sakit kepala, nyeri dada, dan hipertensi.

Ditambahkan Taufik Pasiak, frasa fokus itu bila dikombinasikan dengan respons relaksasi dapat menghambat kerja sistem saraf simpatis yang mengatur kecepatan denyut jantung, nadi, pernapasan, dan metabolisme. la berfungsi seperti obat-obat beta blacker (penghambat reseptor beta) dalam kerja saraf simpatis. Pada sisi lain, zikir dapat membuat alur gelombang otak berada pada gelombang alfa ketika seseorang menjadi sangat kreatif dan berdaya renung tinggi. Perubahan gelombang otak inilah yang terjadi ketika seseorang bertafakur.

Lebih dari sekadar menenangkan diri seperti halnya respons relaksasi, tafakur mampu membawa seseorang pada "diri sejati" (istilah abstrak ini menjadi tujuan semua agama dan filsafat timur yang begitu marak diikuti oleh orang-orang Barat). Jika respons relaksasi hanya sanggup membawa pada kondisi relaks secara fisik dan mental, tafakur dapat membawa jiwa yang tidak tenang, kehilangan makna (meaningless) dan rasa terasing (alienasi) menuju jiwa yang tenang. Respons relaksasi, besar kemungkinan, sulit menyembuhkan "penyakit makna" yang dialami oleh kebanyakan orang modern. Ini karena tafakur mampu memadukan komponen fisik, emosional, mental, dan spiritual manusia. Tafakur, misalnya, dapat memperbaiki akhlak seseorang. Dengan mengubah pikiran tentang diri, sedikit demi sedikit seseorang dapat mengubah akhlaknya.[18]

Membaca surah Yâ Sîn baik sendiri-sendiri maupun berjamaah pada hakikatnya untuk tujuan di atas. Pembaca surah Yâ Sîn akan berada dalam suasana yang rileks dan jauh dari stres, sehingga berpengaruh terhadap peningkatan efisiensi dan kinerja kerja. Rasulullah Saw bersabda bahwa orang yang membaca Al-Quran akan memperoleh rahmat (ketenangan) (HR Bukhari dan Muslim).

Para ilmuwan India melakukan penelitian mengenai hubungan antara stres akibat premenstruasi dan penurunan dalam tes kecerdasan, dan mereka mendukung kebenaran penemuan Yerkes-Dodson (Psychological Reports 78 [1996]: 51-58). Kemudian seorang peneliti Swedia menyelidiki penerapan Hukum Yerkes dan Dodson terhadap memburuknya ingatan saksi yang mengalami stres yang berlebihan {Psychological Bulletin 112 [1992]: 284-309).

Disusul penelitian Herbet Benson dan William Proctor (The Breakout Principle, 2004), yang menunjukkan adanya kaitan positif antara stres dan kinerja kerja. Dalam artikelnya ditulis bersama dengan Robert L Alien, mantan Direktur Eksekutif Henry P. Kendall Foundation di Harvard Business Review, Herbert Benson yang mengacu pada Hukum Yerkes-Dodson sebagai batu loncatan untuk mendiskusikan bagaimana para eksekutif menyeimbangkan stres yang mereka alami untuk mencapai produktivitas yang maksimum dalam dunia perusahaan. Ditemukan bahwa orang-orang yang ada dalam stres yang sangat besar dalam pekerjaannya harus mundur sejenak, sebelum stres itu mulai menyebabkan penurunan produktivitas dan kreativitas (HER 58 [1980]: 86-92). "Pada akhirnya, orang yang berhasil menyeimbangkan stres yang dihadapinya dengan memerhatikan Hukum Yerkes-Dodson akan berada pada posisi yang kuat untuk mengalami Pembebasan Diri. Namun, orang yang berharap untuk memicu Pembebasan Diri harus mendidik diri agar mereka mengenali keadaan-keadaan khas yang menyertai fenomena itu," demikian simpulan Herbert Benson.

E. Isi dan Kandungan

Selanjutnya, penulis mengajak pembaca semuanya untuk menyelami lebih lanjut isi dan kandungan dari surah Yâ Sîn ini. Sebagaimana disebutkan di dalam sebuah hadis yang dikutip hampir semua ahli tafsir, Rasulullah Saw. bersabda, “Inna likulli syai’in qalban wa qalb al-Qur’ân Yâ Sîn” (“Sesungguhnya segala sesuatu memiliki hati [jantung] dan hati [jantung] al-Qur’an itu adalah Yâ Sîn”)[19], mengindikasikan bahwa surah ini menduduki posisi yang sangat penting dalam al-Qur’an. Pernyataan ini tidak berarti menafikan, apalagi mengkultuskan suatu surah. Tetapi pernyataan ini harus dipahami lebih arif bahwa surah Yâ Sîn berisi ajaran yang menjadi petunjuk (hudan) dan pedoman bagi kehidupan manusia di dunia ini.

Ibarat tubuh kita, seluruh anggota tubuh manusia merupakan sebuah kesatuan yang saling berkait, tak terpisahkan. Di dalam tubuh kita itu terdapat jantung yang menjadi pusatnya. Selama jantung masih berdenyut, tubuh manusia akan tetap hidup. Bila berhenti berdenyut, seluruh aktivitas tubuh seketika itu akan langsung berhenti.[20]

Surah ini menjunjung tinggi kebenaran al-Qur’an, dan itu diterangkan dalam ruku` pertama; walaupun mula-mula terjadi perlawanan sengit terhadap al-Qur’an, tetapi akhirnya al-Qur’an memberi hidup kepada orang yang mati(rohaninya). Ruku` kedua, menerangkan dengan kalam ibarat tentang gambaran wahyu yang terdahulu. Ruku` ketiga menarik perhatian akan suatu tanda bukti tentang kebenaran al-Qur’an pada kodrat alam – tentang bagaimana sesudah kematian akan menyusul kehidupan, dan bagaimana sesudah gelap menyusul terang – dengan demkian menunjukkan bahwa ada undang-undang yang serupa yang bekerja di alam rohani. Ruku` keempat menerangka bahwa orang yang menerima al-Qur’an akan diperlakukan sendiri-sendiri, sehingga ganjaran dan pembalasan mereka akan membuktikan kebenaran al-Qur’an. Ruku` kelima atau ruku` terakhir menarik perhatian akan adanya hari kiamat atau hidup sesudah mati, karena hanya itu sajalah yang dapat membuat manusia bertanggung jawab atas perbuatan sendiri dan dapat mendatangkan perubahan yang sebenarnya, dan dapat mencapai kesempurnaan.

F. Mengapa Saya Menulis Tafsir Surah Ya Sin?

Keinginan saya menulis "Tafsir" Surah Yâ Sîn ini berawal dari pertanyaan yang agak "sinis" dari seorang teman yang memahami agama sedikit rasionalistik dan rigid (kaku). Menurutnya, trend pembacaan Yâ Sîn secara berjamaah itu bidah, tidak pernah dipraktikkan oleh Rasulullah dan sahabat. Apa benar dengan membaca surah Yâ Sîn, maka segala hajat atau keinginan akan dikabulkan oleh Allah? Lagi, apakah para pembaca (maksudnya: Jemaah Yasinan) itu memahami isi dan kandungan surah Yâ Sîn? Jangan-jangan mereka membaca surah tersebut hanya sekedar seremonial? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang bernada menggugat ketimbang memberikan solusi.

Pertanyaan-pertanyaan ini sedikit banyak menggugah saya untuk lebih serius lagi memahami fenomena ayat-ayat dalam satu surah, terutama surah yang tengah kita kaji saat ini. Dengan memadukan berbagai metode atau sudut pandang dalam memahami Al-Quran, saya mencoba untuk menjawab pertanyaan teman tadi. Terlepas puas atau tidak puas.

Buku yang berada di depan pembaca ini memang tidak mengikuti satu metode penafsiran tertentu. Seperti dikemukakan Hasan Al-Bana saat seorang murid bertanya tentang tafsir manakah di antara sekian banyak karya tafsir yang terbaik; beliau menjawab bahwa tafsir terbaik adalah memahami Al-Quran dengan hati. Tentu hati di sini, bukanlah sembarang hati, melainkan hati yang suci dan bersih, yang terbimbing oleh cahaya Allah. Karena melalui hati seperti inilah pesan-pesan Al-Quran itu dipahami. Tanpa itu, kata Al-Bana, meskipun orang berkali-kali membaca Al-Quran tetap saja mereka tidak mampu menangkap maksud yang terkandung di dalamnya.

Di sini secara jujur saya katakan bahwa saya bukanlah seorang mufasir, karena menjadi mufasir itu harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang sangat ketat. Karena itu, kata "tafsir" saya tempatkan dalam tanda kutip. Sebagai gambaran, Prof. Hasbi Ash-Shiddieqy—sebagaimana dikutip Federspiel—menunjukkan tujuh belas cabang yang harus dikuasai oleh calon-calon mufasir untuk menyusun sebuah tafsir Al-Quran:

"…dia harus mengetahui tempat (Makkah dan Madinah) diturunkannya ayat tersebut, dan dalam musim apa ayat tersebut diturunkan;…susunan ayat-ayat Al-Quran pada waktu diturunkan;…asbabun nuzul ayat yang bersangkutan;…cara diturunkannya ayat yang bersangkutan;…ciri ayat dan kondisi yang berhubungan dengan ayat tersebut;…arti kata-kata tertentu yang memiliki makna lebih dari satu;…pengetahuan tentang ayat-ayat yang jelas;…pengetahuan tentang ayat-ayat yang mansukh;…apresiasi atau penilaian bahasa Al-Quran;…pemahaman tentang kehebatan Al-Quran sehingga ia diakui sebagai suatu mukjizat;…memahami suatu ayat dalam konteksnya;…mengetahui tujuan firman Tuhan dalam Al-Quran;…penggunaan contoh-contoh dalam Al-Quran;…pengetahuan tentang bentuk-bentuk perdebatan yang digunakan untuk menentang musuh-musuh Muhammad; dan…pengetahuan tentang susunan ilmu-ilmu yang digunakan dalam menganalisis Al-Quran." [21]

Saya teringat dengan Prof. Dr. Hamka, penulis Tafsir Al-Azhar, yang dengan kerendahanhatinya menyampaikan alasan-alasan penulisan tafsirnya itu. Meskipun, seperti diakuinya, ia belum sepenuhnya memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh ulama untuk menulis sebuah tafsir Al-Quran: penguasaan bahasa Arab, mengetahui penafsiran para mufasir sebelumnya, mengetahui Asbab An-Nuzul, nasikh mansukh, ilmu hadis, dan ilmu fikih.

Syarat-syarat itu memang berat dan patut. Kalau tidak ada syarat demikian tentu segala orang dapat berani saja menafsirkan Al-Quran. Ilmu-ilmu yang dijadikan syarat oleh ulama-ulama itu alhamdulillah telah penulis ketahui ala kadarnya, tetapi penulis tidaklah mengakui bahwa penulis sudah sangat alim dalam segala ilmu itu. Tuhan di dalam Al-Quran sendiri pun pernah berfirman, bahwasanya di atas orang yang mempunyai ilmu ada lagi yang lebih alim. Maka kalau menurut syarat yang dikemukakan ulama tentang ilmu-ilmu itu, wajiblah sangat dalam benar lebih dahulu, tidaklah akan jadi "Tafsir" ini dilaksanakan. Jangankan bahasa Arab dengan segala nahwu dan sharafnya, sedangkan bahasa Indonesia sendiri, tempat Al-Quran ini akan diterjemah dan ditafsirkan, tidaklah penulis "Tafsir" ini termasuk ahli bahasa yang sangat terkemuka, meskipun telah menulis lebih daripada 100 buku besar di dalam bahasa Indonesia…Tetapi, sebagai kita katakan tadi ada soal lain yang mendesak, sehingga pekerjaan ini wajib diteruskan.[22]

Alasan yang sama dengan "Tafsir" Yâ Sîn ini. Tetapi—meminjam kata-kata Hamka—pekerjaan ini wajib diteruskan, karena saya merasa mempunyai kewajiban menjawab kegelisahan sebagian umat Islam yang merasa seolah-olah ada gap yang lebar antara membaca Al-Quran pada satu sisi (biasanya orientasi hanya reward oriented) dan pemahaman yang memadai tentang ayat-ayat yang dibaca di sisi yang lain.

Harapan saya, mudah-mudahan usaha kecil ini dapat membantu saudara-saudara saya yang sudah jatuh cinta kepada surah Yâ Sîn baik secara individul (seperti kebiasaan membaca surah Yâ Sîn pada malam Jumat) maupun secara kolektif (seperti kebiasaan membaca surah Yâ Sîn secara berjamaah pada malam Jumat) dalam memahami dan menghayati isi dan kandungan surah ini. Seperti dikatakan oleh orang bijak: pencinta sejati adalah orang yang sangat paham lahir dan batin obyek yang dicintainya. Demikian pula dengan surah Yâ Sîn ini. Dengan mengetahui isi dan kandungan surah ini, tentunya kecintaan tersebut semakin hari semakin mendalam, sehingga tiada hari tanpa surah Yâ Sîn. []



Catatan Akhir

[1]Lih. Regis Blachere, Le Coran Traduction Selon un Essai de Reclassement des Sourates, 3 vol., 1947-1951.

[2]Dep. Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya,(Semarang: Thoha Putra, 1989), hlm. 705.

[3] Ahmad Musthafa al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Jil. VIII (Beirut: Dâr al-Fikr,1394H/1974M), hlm.144.

[4]`Abd al-Ra’ûf ibn `Ali al-Jâwî al-Fanshûrî al-Sinkîlî, Tarjumân al-Mustafîd,(Beirut: Dâr al-Fikr, 1410H/1990M), hlm. 441.

[5]Dikutip dari Oman Fathurman, Tanbih al-Masyi: Menyoal Wahdatul Wujud Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 145.

[6]`Abd al-Samad al-Palimbani, Siyar al-Sâlikîn fî Tarîqat al-Sâdât al-Suffiyyah, vol. II(Semarang: Ta Ha Putra, tt.), hlm. 247-248.

[7] Pengarang dari kitab ini anonim [tanpa diketahui siapa pengarangnya]. Penerbitnya juga beragam.

[8]Prof. Dr. Hamka, Tafsir al-Azhar, Juzu’ XXIII(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), hlm. 4.

[9] Ibid.

[10] `Umar Sulaiman al-Asyqar, Ensiklopedi Kiamat: Dari Sakaratulmaut hingga Surga-Neraka, penerj. Irfan Salim et. Al (Jakarta: Serambi, 2002), hlm. 42.

[11] Ibid.

[12] Ibid., hlm. 43.

[13] Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Sufi al-Fatihah: Mukadimah(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 22.

[14] Ibid.

[15] Lihat lebih lengkap: Dr. Masaru Emoto, The True Power of Water: Hikmah Air Dalam Olah Jiwa (Bandung: MQ Publishing, 2006).

[16] Lebih jauh lihat: Herbert Benson dan Mirriam K. Zlipper, Relaxation Response (New York: Avon Books, 1976); juga Herbert Benson dan William Proctor, Beyond the Relaxation Response (Berkeley Books and Time Books, 1984).

[17]Lihat: Larry Dossey, Healing Words (Kata-kata yang menyembuhkan): Kekuatan Doa dan Penyembuhan (Jakarta: Gramedia, 1997).

[18] Taufik Pasiaq, Revolusi IQ/EQ/SQ Antara Sains dan Al-Quran (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 181.

[19] Lih. antara lain, Al-`Allâmah al-Sayyid Muhammad Husain al-Thbâthabâ`î, Tafsîr al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân, Jil. XVII (Beirut: Mu’assasah al-A`lamî li al-Mathbu`ât, 1411/1991), hlm. 62.

[20]Prof. Dasteghib, Mengungkap Rahasia Surat Ya Sin, penerj. Ibnu Fauzi al-Muhdar (Jakarta: Qorina, 1424/2003), hlm. xix.

[21]Lihat: Howard M. Federspiel, Kajian Al-Quran di Indonesia: Dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, penerj. Drs. Tajul Arifin, MA (Bandung: Mizan, 1417/1996), h. 125-126. Sumber asli: Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang, cet. 13, 1990), h. 102-107).

[22] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzu I (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), h. 3-4.