Mentaati dan Merawat Kedua Orang Tua
By: Sulaiman Al-Kumayi
Seorang ibu berusia sekitar 60 tahun pernah datang ke rumah penulis untuk berkonsultasi mengenai perlakuan seorang anaknya kepadanya. Ibu itu bercerita, sejak dua tahun ditinggal suaminya, salah seorang anaknya memperlakukannya dengan kasar. Hampir setiap hari si ibu dipukuli, bahkan pernah suatu hari sampai pingsan. Perlakuan ini berlangsung dua bulan.
“Saya sudah tidak tahan diperlakukan demikian,” akunya kepada penulis sambil menangis sesenggukan. “Tetapi hingga saat ini saya belum pernah mengeluarkan kata-kata kutukan, karena saya takut Allah akan mengabulkannya dan anak saya celaka. Saya berharap mudah-mudahan ia menyadari kekeliruannya.”
Di atas hanya penggalan kasus aktual yang terjadi di sekitar kita. Beberapa televisi pernah memberitakan seorang anak tega menghabisi nyawa ayahnya gara-gara ketika kecil diperlakukan dengan kasar oleh sang ayah. Kasus lain, seorang pengusaha sukses merasa malu merawat ibunya yang berusia 70 tahun dan menitipkannya di rumah jompo. Pernahkah kita berpikir bahwa harapan terbesar orang tua ketika melahirkan dan membesarkan anaknya adalah agar ketika mereka sudah berusia lanjut ada yang merawat mereka?
Allah dan Rasul-Nya sangat menganjurkan seorang anak untuk taat dan merawat kedua orang tua yang ganjarannya sama dengan berjuang di jalan Allah. Abdullah bin Umar melaporkan, seorang laki-laki muda menemui Nabi saw. dan menyampaikan maksudnya, “Saya ingin berjuang di jalan Allah.” Nabi bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” “Ya, keduanya masih hidup,” jawabnya. Nabi bersabda, “Melayani dan merawat keduanya merupakan jihad.”
Dalam Tanbîh al-Ghâfilîn karya Abû Laits al-Samarqandî menyebutkan sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu `Abbâs yang menyebutkan: “Tiada seorang mukmin mempunyai kedua orang tuanya [ayah dan ibu], lalu pagi-pagi ia taat dan berbuat baik kepada keduanya, melainkan Allah membukakan untuknya dua pintu sorga. Dan tidak mungkin Allah ridha padanya jika salah seorang dari mereka [ayah atau ibunya] murka kepadanya, sehingga mendapat ridha dari keduanya. Ditanyakan, ‘Sekalipun orang tua itu zalim?’ Jawabnya, ‘Meskipun zalim.’ Sebaliknya, Allah membukakan pintu neraka bagi yang dimarahi kedua orang tuanya.”
Nabi Musa pernah memohon kepada Allah, “Ya Tuhanku, pesanilah aku. Firman Allah, “Aku berpesan supaya kamu tetap dengan-Ku.” “Apalagi,” pinta Musa. Firman Allah, “Aku pesan kepadamu taatilah ibumu.” “Yang lainnya,” kata Musa. Firman-Nya, “Aku pesan taatilah ibumu.” “Yang lainnya lagi,” kata Musa. Firman-Nya, “Aku berpesan kepadamu taatilah ayahmu.”
Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya berkata, saya bertanya kepada Nabi saw, “Ya Rasulullah, siapakah yang harus saya taati?” Jawab Nabi, “Ibumu.” “Siapa lagi?” tanyaku. “Ibumu,” jawab Nabi. “Siapa lagi?” tanyaku lagi. Dijawab, “Ibumu.” “Kemudian siapa lagi” Dijawab Nabi, “Ayahmu, kemudian orang yang terdekat dan yang terdekat dari kerabatmu.”
Mengingat demikian tinggi dan terhormat kedudukan orang tua di mata Allah, Nabi melarang keras kita menyakiti kedua orang tua apa pun alasannya. Bahkan sebagaimana disabdakan beliau, “Semua perbuatan dosa [balasannya] ditangguhkan oleh Allah Swt. sesuai dengan kehendak-Nya hingga hari kiamat, kecuali dosa menyakiti kedua orang tua; karena sesungguhnya azab perbuatan tersebut disegerakan atas pelakunya sewaktu ia masih hidup, sebelum mati” (HR. Thabrânî).
Kasus al-Qamah
Di zaman Nabi saw. ada seorang pemuda yang sangat tekun beribadah, dan banyak amalnya seperti bersedekah. Nama pemuda itu al-Qamah. Suatu ketika ia sakit keras, dan isterinya mengutus seseorang untuk menemui Rasulullah saw. dan memberitahukan bahwa suaminya sedang sakit keras dan dalam sakaratul-maut. Kemudian Rasulullah mengutus Bilal, Ali, Salman dan Ammar supaya pergi ke rumah al-Qamah dan memperhatikan bagaimana keadaannya. Ketika mereka sampai di sana, mereka langsung menemui al-Qamah dan menuntunnya supaya membaca ‘lâ ilâha illâ Allâh’ [Tiada Tuhan selain Allah], tetapi lidah al-Qamah bagaikan terkunci dan tidak dapat mengucapkan kalimat thayyibah tersebut. Menyaksikan bahwa al-Qamah pasti akan mati, mereka menyuruh Bilal untuk menemui Nabi dan melaporkan keadaan al-Qamah sebenarnya.
Rasulullah pun pergi dan langsung bertanya, “Apakah ia masih mempunyai ayah dan ibu?” Isteri al-Qamah menjawab, “Ayahnya telah meninggal, sedangkan ibunya masih hidup. Tetapi sudah berusia lanjut.” Rasulullah berkata, “Wahai Bilal! Carilah ibu al-Qamah dan sampaikan salamku padanya: “Anda harus menemui Rasulullah saw. sekarang, dan jika tidak bisa Rasulullah yang akan menemui Anda.”
Ibu al-Qamah memenuhi panggilan Rasulullah. Kemudian Nabi bertanya, “Jelaskan yang sebenarnya kepadaku; jika Anda dusta kepadaku, niscaya akan turun wahyu memberitahu kepadaku. Bagaimana keadaan al-Qamah?” Jawab ibu al-Qamah, “Al-Qamah disiplin salat, puasa dan bersedekah yang banyak sehingga tidak diketahui berapa harta yang sudah dikeluarkannya.” “Bagaimana hubunganmu dengannya?” tanya Nabi. “Saya marah kepadanya,” jawabnya singkat. “Mengapa Anda marah,” tanya Nabi lagi.
Ibu al-Qamah pun menjelaskan kronologi kemarahannya kepada anaknya itu. Ia lebih mementingkan isterinya ketimbang ibunya sendiri; menurut apa kata isterinya, namun menentangku. Mendengar penjelasan ini, Nabi bersabda, “Kemarahan ibunya itulah penyebab kekeluan lidah al-Qamah untuk mengucapkan lâ ilâha illâ Allâh.”
Kemudian Nabi menyuruh Bilal supaya mengumpulkan kayu sebanyak-banyaknya untuk membakar al-Qamah. Ibu al-Qamah bertanya, “Ya Rasulullah, anakku, buah hatiku akan engkau bakar dengan api ini di depan mataku; hatiku tidak mungkin menerima kenyataan ini. Rasulullah menjawab, “Hai ibu al-Qamah, sika Allah lebih berat dan kekal, karena itu jika Anda ingin melihat Allah mengampuni dosa anakmu, maka relakanlah ia [kau harus ridha kepadanya]; demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak akan berguna salat, sedekahnya selama Anda murka kepadanya.”
Lalu ibu al-Qamah mengangkat kedua tangannya dan berkata, “Ya Rasulullah, saya bersaksi kepada Allah di langit dan kau ya Rasulullah, dan siapa saja yang hadir di tempat ini bahwa saya telah meridhai al-Qamah.”
Rasulullah menyuruh Bilal pergi melihat keadaan al-Qamah, apakah sudah bisa mengucapkan lâ ilâha illâ Allâh ataukah belum. Karena Nabi khawatir bahwa ibu al-Qamah mengucapkan kata-katanya itu hanya karena malu kepada Rasulullah dan bukan lahir dari hatinya yang paling dalam. Sesampai Bilalh di pintu rumah al-Qamah, tiba-tiba terdengar suara al-Qamah mengucapkan lâ ilâha illâ Allâh. Bilal pun masuk dan berpidato, “Para hadirin, sesungguhnya kemarahan ibu al-Qamah yang menyebabkan kekeluan lidah untuk mengucapkan syahadat, dan ridhanya kini telah melepas kekeluan lidahnya.” Al-Qamah pun wafat, dan Rasulullah menyuruh supaya jenazahnya segera dimandikan dan dikafani, kemudian disalati oleh Nabi saw. Dan sesudah dimakamkan, beliau berdiri di tepi kuburan sambil bersabda, “Hai sahabat Muhajir dan Anshar, siapa yang mengutamakan isterinya ketimbang ibunya, maka ia terkena kutukan Allah dan tidak diterima ibadat-ibadat fardhu dan sunnatnya.”
Ibnu Abbas ketika menafsirkan firman Allah: “Tuhan telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain hanya kepada-Nya; dan kepada kedua orang tuamu harus berbakti dengan sebaik-baiknya; dan apabila telah tua salah satunya atau keduanya dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” (QS. al-Isrâ [17]: 23); mengatakan, seandainya kamu membuangkan kencing atau kotoran ibu atau ayahmu, hendaknya jangan kamu tutup hidungmu dan jangan cemberut mukamu sebab keduanya telah mengerjakan semua itu di masa kecilmu, dan jangan membentak keduanya dan berkatalah dengan lemah lembut, sopan santun, ramah tamah, dan hormat.
10 Kewajiban
Al-Samarqandî menyebutkan 10 kewajiban seorang anak kepada kedua orang tuanya yang harus dilaksanakan. Pertama, ketika kedua orang tua menginginkan makan, maka segera dipenuhi makannya; kedua, jika mereka membutuhkan pakaian, maka segeralah diberi pakaian, dan yang lebih baik adalah memberi pakaian baru untuk menyenangkan hati mereka. Ketiga, jika keduanya memerlukan bantuan, segera beri bantuan. Keempat, segera memenuhi panggilan mereka. Kelima, mentaati semua perintahnya sepanjang tidak menyuruh untuk maksiat dan ghibah [membicarakan kejelekan orang lain]. Keenam, ketika berbicara kepada keduanya harus lunak, lemah lembut dan sopan. Ketujuh, tidak boleh memanggil nama kecilnya. Kedelapan, jika berjalan bersamanya harus berada di belakangnya. Kesembilan, senang kepada keduanya sebagaimana senang pada diri sendiri, demikian pula sebaliknya membenci bagi keduanya sebagaimana pada dirinya sendiri. Dan kesepuluh, mendoakan keduanya supaya mendapat pengampunan Allah dan rahmat-Nya; sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Nuh dan Ibrahim: Rabbighfirlî waliwâlidayya walilmu’minîna walmu’minâti yauma yaqûmul hisâb [Ya Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku dan kaum mukminin dan mukminat pada hari perhitungan].
Seorang sahabat menerangkan bahwa seorang anak yang tidak suka mendoakan kedua orang tuanya, niscaya ia akan mengalami kesulitan dalam hidupnya. Karena itu, jika seorang anak menginginkan kesuksesan dalam hidupnya kuncinya terletak pada kedua orang tuanya.
Berbakti kepada kedua orang tua tidak terbatas ketika mereka masih hidup, tetapi untuk selama-lamanya, sepanjang seorang anak masih hidup. Hal ini merujuk pada kasus salah seorang dari Bani Salimah yang pernah bertanya kepada Nabi saw., “Kedua orang tuaku sudah meninggal, apakah ada jalan untuk berbakti kepada keduanya?” Dijawab oleh Nabi, “Ya, membacakan istighfar untuk keduanya, dan melaksanakan wasiat keduanya, serta menghormati sahabat-sahabat atau teman-teman keduanya, dan menghubungi famili dari keduanya.”
Bagi saudaraku semua, yang kebetulan membaca bagian ini, kami sarankan agar sebelum Anda meminta sesuatu kepada Allah, maka diawal doa Anda doakanlah kedua orang tua Anda baik mereka masih hidup maupun sudah meninggal, baru kemudian Anda menyampaikan permintaan Anda kepada-Nya. Inilah cara berbakti Anda, dan yakinlah hidup Anda pasti senantiasa dalam rahmat-Nya.
Hikayat
Dalam Kitab Irsyâd al-`Ibâd, ada memuat sebuah kisah yang bersumber dari al-Yafi`i. Sesungguhnya Allah Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi memberikan wahyu kepada Nabi Sulaiman bin Dawud agar pergi ke tepi laut. Di sana ia akan melihat sesuatu yang mempesona.
Nabi Sulaiman bersama jin dan manusia keluar. Ketika sampai di tepi laut, ia menoleh ke kanan dan ke kiri, tetapi tidak melihat sesuatu pun yang menarik perhatiannya. Kemudian Nabi Sulaiman berkata kepada Ifrit, “Coba kamu menyelam ke dasar laut ini, dan nanti kembalilah dengan membawa sesuatu yang kamu jumpai di dalamnya.” Si Ifrit pun menyelam dan kembali sesaat kemudian. Ifrit melapor, “Wahai Nabi Sulaiman, sungguh aku tidak menemukan apa pun di sana, padahal aku sudah menyelidiki sepanjang dasar laut. Tidak ada sesuatu yang menarik.”
Nabi Sulaiman memerintahkan kepada Ifrit yang lain. Namun, sebagaimana yang pertama, yang kedua ini melaporkan hal yang sama. Kemudian ia menyuruh Ashif bin Burkhiya, menteri Nabi Sulaiman yang disebut dalam al-Quran sebagai orang yang memgerti ilmu kitab. Beberapa saat kemudian Nabi Sulaiman dibawakan sebuah kubah dari kapur putih yang mempunyai empat pintu yang masing-masing terbuat dari intan, yaqut, mutiara dan zabarjad yang hijau.
Seluruh pintu terbuka, namun setetes air pun tidak ada yang masuk ke dalamnya, padahal kubah itu berada di dasar laut, sejauh perjalanan Ifrit yang pertama tiga kali. Kubah itu diletakkan di depan Nabi Sulaiman, dan ternyata di dalamnya terdapat seorang pemuda yang berpakaian bagus, bersih sedang menjalankan salat. Ia masuk dan mengucapkan salam kepadanya, dan bertanya, “Apakah yang membuatmu bisa bertempat tinggal di dasar laut?” Pemuda itu menjawab, “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya ayahku itu seorang yang lumpuh, ibuku tuna netra [buta], dan aku berusaha melayani keduanya selama tujuh puluh tahun.”
Ketika ibuku akan meninggal dunia, ia berdoa, “Ya Allah berilah anakku umur yang panjang sebagai tanda kepada-Mu.” Begitu juga ketika ayahku akan meninggal, ia berdoa, “Ya Allah berilah anakku kesempatan untuk beribadah kepada-Mu di suatu tempat yang kiranya tidak bisa dilalui oleh syetan.”
Kemudian aku pergi ke tepi laut ini setelah aku memakamkan mayat ayah dan ibuku; aku melihat kubah ini di depanku. Aku masuk ke dalamnya untuk melihat keindahan di dalamnya. Tidak berapa lama kemudian, datang malaikat dan membawaku bersama kubah ini ke dasar laut. Nabi Sulaiman bertanya, “Kira-kira kapan kamu sampai ke tepi pantai ini?” Pemuda itu menjawab, “Kira-kira pada zaman Nabi Ibrahim.”
Nabi Sulaiman mengingat tentang sejarah Nabi Ibrahim yang bisa diperkirakan dua ribu empat ratus tahun yang silam. Sekalipun demikian, pemuda itu masih tetap muda, tidak ada satu pun uban di rambut kepalanya.
Nabi Sulaiman bertanya, “Bagaimana dengan makan dan minummu?” Dijawab, “Pada tiap hari ada seekor burung hijau yang membawa sesuatu yang kuning dipatuknya seperti kepala manusia, lalu aku memakannya. Aku bisa merasakan segala kenikmatan dunia. Dengan memakannya aku tidak merasakan lapar dan dahaga, panas dingin, dan tidur pun aku tidak merasa kedinginan lagi; aku juga tidak pernah merasakan susah dan jemu di sini.
Nabi Sulaiman bertanya lagi, “Apakah kamu mau ikut bersama kami, atau kamu aku kembalikan ke tempatmu semula?” Pemuda itu menjawab, “Kembalikan aku ke tempat semula, wahai Nabi Allah.”
Nabi Sulaiman memerintahkan Ashif agar mengembalikan pemuda tersebut ke tempat asalnya. Kemudian Nabi Sulaiman berkata, “Lihatlah oleh kalian semua! Bagaimana Allah mengabulkan doa kedua orang tua pemuda tadi. Oleh karena itu, aku peringatkan kepada kalian jangan sekali-kali durhaka kepada kedua orang tua.” []
.jpg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar