Minggu, 28 Desember 2008

HAL IHWAL KUBUR: SIKSA, NIKMAT, DAN PENYELAMATAN SIKSA KUBUR

HAL IHWAL KUBUR:
SIKSA, NIKMAT, DAN PENYELAMATAN SIKSA KUBUR
Oleh: Sulaiman Al-Kumayi
    Ketika ruh seseorang dikembalikan ke dalam jasadnya di dalam kubur, dan datanglah dua Malaikat yang mendudukkannya lalu bertanya: “Siapa Tuhanmu?” Dijawab: “Aku tidak tahu.” Ditanya lagi: “Apa agamamu?” Dijawab: “Aku tidak tahu.” Ditanya sekali lagi: “Bagaimana pendapatmu terhadap orang yang diutus ditengah-tengah kamu?” Dijawab: “Aku tidak tahu.” Maka, terdengarlah suara seruan dari langit: “Hamba-Ku bohong, hamparkan untuknya dari neraka dan bukakan baginya pintu neraka. Karena itu terasalah baginya panas hawa neraka, dan disempitkan kuburnya sehingga terhimpit dan rusak tulang-tulang rusuknya, kemudian datang kepadanya seseorang yang berwajah jelek dan berbau busuk, sembari berkata ‘sambutlah hari yang sangat jelek bagimu, inilah saat yang telah diperingatkan Allah kepadamu.’ Ia pun bertanya: “Siapakah kamu ini?” Ia menjawab: “Aku adalah amalmu yang jelek.” Mendengar itu, ia pun berkata: “Ya Tuhan janganlah buru-buru Engkau datangkan hari kiamat.”
Di bagian lain, Rasulullah Saw juga menerangkan: “Seorang mukmin jika sakaratul-maut mendatanginya, maka malaikat datang dengan membawa sutra yang berisi misik (kasturi) dan tangkai-tangkai bunga, lalu ruhnya dicabut bagaikan mengambil rambut di dalam adonan sambil berseru: Hai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya, kembalilah kepada rahmat Allah Ta`ala dan keridaan-Nya. Setelah ruh keluar dari jasad, ia diletakkan di atas misik dan bunga-bungaan kemudian dilipat dengan kain sutra dan dibawa ke illiyyin. 
    Adapun orang kafir jika sakaratulmaut tiba, didatangi oleh Malaikat yang membawa kain bulu yang di dalamnya ada api. Ruhnya dicabut dengan kasar dan keras sambil dikatakan kepadanya:
Hai ruh yang jahat! Keluarlah menuju Tuhanmu ke tempat yang rendah hina dan siksa-Nya. Maka, ketika ruh tersebut telah keluar ia diletakkan di atas api dan bersuara seperti sesuatu yang mendidih kemudian dilipat dan dibawa ke sijjin.
    Abu Ja`far meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra, berkata: “Seorang mukmin jika diletakkan di kubur, maka diperluas kuburnya itu hingga 70 hasta dan ditaburkan padanya bunga-bunga dan dihamparkan sutra, dan bila ia hafal dari Al-Qur’an cukup untuk penerangannya, jika tidak maka Allah memberikan kepadanya cahaya penerangan yang menyerupai penerangan matahari, dan ia dalam kubur bagaikan pengantin baru. Jika tidur, tidak ada yang berani membangunkan kecuali kekasihnya sendiri. Ketika ia bangun dari tidurnya itu, ia seperti kurang puas tidurnya. Adapun orang kafir, kuburnya akan dipersempit sehingga menghancurkan tulang rusuknya dan menembus perutnya. Dikirimkan kepadanya ular sebesar onta, yang memakan dagingnya hingga habis dan hanya tersisa tulang-belulang. Kepadanya didatangkan malaikat yang akan menyiksanya. Malaikat ini buta dan tuli dengan membawa pemukul besi yang langsung dipukulkannya. Malaikat ini tidak mendengar jeritan kesakitan dari orang ini dan juga tidak melihat keadaan orang yang dipukulnya dengan keras ini. Karena keadaan Malaikat yang demikian inilah, maka ia sama sekali tidak pernah memberikan belas kasih kepada orang yang dipukulnya. Setelah itu, orang kafir ini dihidangkan siksaan neraka pada setiap pagi dan sore. 
    Abu Nashr bin Muhammad As-Samarqandi—lebih dikenal dengan Abul-Laits—mengatakan bahwa siapa saja yang ingin selamat dari siksa kubur, ia harus secara terus-menerus dan istiqamah untuk mengamalkan empat hal: [1] menjaga salat lima waktu, [2] memperbanyak sedekah, [3] memperbanyak membaca Al-Qur’an, dan [4] memperbanyak membaca tasbih (subhânallâhi walhamdulillâhi wa lâ ilâha illallâh wallâhu akbar wa lâ haula wa lâ quwwata illâ billâh). Sedangkan empat hal yang harus ditinggalkan ialah: [1] dusta, [2] khianat, [3] adu domba, dan [4] air kencing yang tidak bersih, karena Rasulullah Saw bersabda:
تَنَزَّهُوْاعَنِ اْلبَوْلِ فَاِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ اْلقَبْرِ مِنْهُ
Bersih-bersihlah kamu dari air kencing, karena umumnya siksa kubur itu disebabkan kencing (maksudnya: ketika buang air kecil, maka bersihkanlah sisa-sisa air dari kemaluan dan jangan sampai ada tetesan yang keluar darinya). 
Muhammad bin As-Sammak ketika melihat kubur berkata: “Kamu jangan tertipu dengan tenangnya dan diamnya kubur-kubur ini, karena alangkah banyaknya orang yang sudah bingung di dalamnya. Dan jangan tertipu dengan ratanya kubur ini, karena alangkah jauh berbeda antara yang satu dengan yang lainnya di dalamnya. Hendaklah orang yang berakal memperbanyak ingat pada kubur sebelum masuk ke dalamnya.”
Sufyan Ats-Tsauri berkata: “Siapa yang memperbanyak mengingat kubur, ia akan mendapatkan kebun dari kebun-kebun surga; dan siapa yang melupakannya, ia akan mendapatkan jurang dari jurang-jurang api neraka.”
Ali bin Abi Thalib Kw berkata dalam sebuah khutbahnya: 
“Hai hamba Allah! Berhati-hatilah kamu dari maut yang tidak dapat dihindari, ketika kamu berada di tempat ia datang menjemputmu. Jika kamu lari darinya, ia pasti mengejarmu. Maut selalu terikat di ubun-ubunmu. Karena itu, carilah jalan selamat. Carilah jalan selamat. Segera dan jangan tunda-tunda lagi, sebab di belakangmu ada yang mengejar kamu, yakni kubur. Ingatlah bahwa kubur itu adakalanya kebun dari kebun-kebun surga. Tapi kubur juga adalah jurang dari jurang-jurang neraka. Setiap hari kubur berkata ‘akulah rumah yang gelap, akulah tempat sendirian, akulah rumah ulat-ulat.’
Ingatlah sesudah itu, ada hari yang lebih ngeri. Hari di mana anak kecil segera beruban. Orang tua bagaikan orang mabuk. Seorang ibu yang sedang menyusui anaknya lupa terhadap bayinya, dan wanita yang mengandung menggugurkan kandungannya. Juga, engkau akan melihat orang-orang bagaikan orang mabuk padahal mereka tidak mabuk khamr. Itu semua karena dahsyatnya siksaan Allah. Ingatlah bahwa sesudah itu ada api neraka yang sangat panas dan sangat curam. Perhiasannya besi. Airnya darah bercampur nanah. Tidak ada rahmat Allah di sana. [Mendengarkan khutbah Ali ini, kaum Muslimin pun menangis]. Namun, di sana ada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, tersedia untuk orang-orang yang bertakwa. Semoga Allah melindungi kita dari siksa yang pedih, dan menempatkan kita dalam surga yang penuh kenikmatan (darun-na`im).”
Usaid bin Abdurrahman berkata: “Aku telah mendapat keterangan bahwa seorang mukmin jika mati dan diangkat, ia berkata, ‘Segerakan aku’, dan bila telah dimasukkan dalam lahad (kubur), bumi berkata kepadanya ‘aku sayang kepadamu ketika di atas punggungku, dan kini lebih sayang lagi kepadamu.’ Dan bila orang kafir yang mati dan jenazahnya diangkat, ia berkata, ‘Kembalikanlah aku’, dan bila diletakkan di lahadnya, bumi berkata kepadanya, ‘Aku sangat benci kepadamu ketika kamu di atas punggungku, dan kini aku lebih benci lagi kepadamu.’”
Utsman bin Affan ketika berhenti di atas kubur selalu menangis, sehingga ada yang menegurnya: “Anda jika menyebut surga dan neraka tidak menangis, tetapi Anda menangis karena kubur ini, kenapa?” Utsman menjawab dengan mengutip sabda Rasulullah Saw: "Kubur itu adalah permulaan akhirat, maka jika selamat dalam kubur, maka yang dibelakangnya lebih ringan, dan jika tidak selamat dalam kubur, maka yang dibelakangnya lebih berat darinya." 
    Abdul-Hamid bin Al-Mughuli berkata: “Ketika saya duduk bersama Ibnu Abbas ra, tiba-tiba datang kepadanya beberapa orang berkata: “Kami rombongan haji, dan bersama kami ini ada seorang ketika sampai di daerah Dzatish-Shahifah tiba-tiba ia mati, lalu kami siapkan segala keperluannya, dan ketika menggali kubur untuknya tiba-tiba ada ular sebesar lahad, sehingga kami tinggalkan dan menggali di tempat lain. Namun, kami juga mendapatkan ular di dalamnya. Kami pun menggali kubur lagi di tempat yang lain, tapi lagi-lagi kami mendapati ular di dalamnya. Sekarang kami bertanya kepada Anda, bagaimana seharusnya kami berbuat terhadap mayit tersebut?” Ibnu Abbas menjawab: “Itu adalah bagian dari amal perbuatannya sendiri, lebih baik kamu kuburkan saja dia. Demi Allah, seandainya kamu menggali bumi ini semuanya, niscaya akan kamu dapatkan ular di dalamnya.” Mereka pun kembali dan mengubur mayit itu di salah satu lubang kubur yang sudah digali tadi, dan ketika mereka kembali ke daerahnya mereka menemui keluarganya untuk mengembalikan barang-barangnya sambil bertanya kepada isterinya ‘apakah amal perbuatan yang telah dilakukan suaminya?’ Istrinya tadi menjawab: “Dia biasa menjual gandum dalam karung, lalu dia mengambil sekedar untuk makannya sehari, dan menaruh tangkai-tangkai gandum itu ke dalam karung seberat yang diambilnya itu.”
    Kasus di atas seharusnya menjadi pelajaran dan peringatan bagi kita agar tidak berkhianat. Karena khianat adalah salah satu sebab siksa kubur. Dan Allah telah menunjukkan siksaan-Nya itu di dunia ini.
    Ada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa bumi ini tiap hari berseru sampai lima kali: Hai anak Adam! Engkau berjalan di atas punggungku, dan kembalimu di dalam perutku. Hai anak Adam! Engkau makan berbagai macam di atas punggungku, dan engkau akan dimakan ulat di dalam perutku. Hai anak Adam! Engkau tertawa di atas punggungku, dan akan menangis di dalam perutku. Hai anak Adam! Engkau bergembira di atas punggungku, dan akan berduka di dalam perutku. Hai anak Adam! Engkau berbuat dosa di atas punggungku, dan akan tersiksa di dalam perutku.
    Amr bin Dinar mengisahkan tentang seorang penduduk kota Madinah yang mempunyai saudara perempuan di ujung kota yang sedang sakit dan akhirnya meninggal dunia. Setelah selesai dimandikan, dikafani dan disalatkan, jenazah perempuan tadi dimakamkan dan orang-orang pun pulang ke rumah. Namun, sesampainya di rumah, saudara almarhumah perempuan tadi teringat sebuah bungkusan yang berisi barang berharga yang terbawa ke dalam kuburan saudara perempuannya tadi. Ia pun meminta penggali kuburan untuk menggali kuburan tersebut. Usai digali tampaklah bungkusan yang dicarinya. Ia berkata kepada penggali kubur: “Tolong kamu minggir sebentar. Saya ingin mengetahui bagaimana keadaan saudaraku ini.” Ia buka sedikit lahadnya. Betapa kagetnya ia ketika menyaksikan api menyala dari dalam kubur saudaranya itu. Dengan tergesa-gesa ia menutupi kembali kuburan saudaranya itu, kemudian pulang dan langsung menemui ibunya untuk menanyakan perihal perbuatan saudaranya itu semasa hidupnya.
    Sang ibu menjelaskan bahwa semasa hidupnya saudara perempuannya itu mempunyai kebiasaan mengakhirkan salat lima waktu, suka teledor dalam bersuci, dan di malam hari suka mengintai rumah-rumah tetangga untuk mendengarkan pembicaraan-pembicaraan mereka lalu disebarkan kepada orang lain sehingga sering terjadi keributan antar tetangga. Inilah penyebab ia disiksa di kuburnya. Karena itu, siapa yang ingin selamat dari siksa kubur serta selamat dan mudah menjawab pertanyaan Munkar dan Nakir hendaknya menjauhkan diri dari sifat namîmah (mengadu domba).  
Pertanyaan Munkar dan Nakir
    Di antara soal yang berhubungan dengan fitnah barzakh dan kubur, ialah pertanyaan Munkar dan Nakir. Beriman kepada pertanyaan yang diajukan oleh Malaikat Munkar dan Nakir adalah wajib pada Syara' berdasarkan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW yang sahih.
Dalam Shahihain Bukhari Muslim dari hadis Anas Ibn Malik, tersebut bahwa Rasulullah saw. bersabda: Bahwasanya seseorang manusia telah diletakkan di dalam kuburnya dan teman sejawatnya pulang, semasih ia lagi mendengar suara sepatu mereka, datanglah kepadanya dua orang malaikat, lalu mendudukkannya. Keduanya bertanya: "Apa yang engkau katakan terhadap lelaki ini, yakni Muhammad SAW?" Orang mukmin menjawab: "Saya naik saksi bahwasanya ia adalah hamba Allah dan utusan-Nya". Maka kepadanya dikatakan: "Lihatlah tempatmu di neraka telah diganti oleh Tuhan dengan tempatmu di surga". Lalu ia melihat dua tempat itu sekaligus. Orang munafik dan kafir, ketika ditanyakan apa yang engkau katakan terhadap lelaki ini, yakni Muhammad SAW? Mereka menjawab: "Aku tidak tahu, aku hanya mengatakan sebagaimana orang lain mengatakannya.". Lalu orang ini dipukul dengan besi sehingga ia berteriak-teriak yang suaranya terdengar oleh makhluk sekelilingnya dari yang selain Jin dan manusia. (Riwayat Bukhari-Muslim).
    Abu Daud menambah dalam riwayatnya, bahwa orang mukmin apabila ditanya: "Apakah yang engkau sembah", maka ia menjawab: "Aku menyembah Allah", apabila ditanya: "Apa yang engkau katakan terhadap laki-laki ini, yakni Muhammad saw.", ia menjawab: "Ia adalah hamba Allah dan utusan-Nya". Orang itu tidak ditanya lagi selain dua hal ini. Abu Daud menambah lagi dalam riwayatnya, bahwa orang mukmin mengatakan, berilah kesempatan aku menggembirakan keluargaku. Maka dikatakan kepadanya, "Berdiamlah". Orang kafir juga ditanya tentang sesuatu yang dia sembah, dan tentang Muhammad saw., namun mereka tidak bisa menjawab sehingga mereka berteriak-teriak karena menerima pukulan yang sangat dahsyat dari kedua malaikat tadi, Munkar dan Nakir.
    Dari Asma' binti Abu Bakar ash-Shiddiq, ia berkata: Bahwasanya Rasulullah berkata dalam khutbah di hari gerhana matahari: "Sungguh telah diwahyukan kepadaku bahwa kamu mendapat fitnah di dalam kubur, fitnah seumpama fitnah dajjal. Malaikat mendatangi salah seorang kamu lalu ditanyakan kepadanya bagaimana pengetahuanmu tentang laki-laki ini, yakni Muhammad saw." Maka orang mukmin atau orang yang yakin menjawab: "Muhammad itu Rasulullah yang telah membawa kepada kami keterangan-keterangan dan petunjuk-petunjuk yang telah kami menerimanya, mengimaninya dan mengikutinya". Maka dikatakan kepadanya: "Tidurlah dengan aman dan tenteram, sungguh Kami telah mengetahui tentang keyakinanmu itu". Adapun orang munafik dan orang yang ragu-ragu menjawab: "Saya tidak tahu; saya mendengar orang mengatakan sesuatu, lalu saya pun mengatakannya pula". (Riwayat Bukhari-Muslim).
    Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Tiada seorang pun yang mati melainkan ia menjerit yang didengar oleh semua binatang kecuali manusia, dan andaikan ia mendengarnya pastilah pingsan. Ketika ia diantar ke kuburnya, jika ia shalih (orang yang baik), ia berkata: “Segerakanlah aku, andaikan kalian tahu apa yang di depanku kebaikan [sebagai balasan atas amal perbuatanku], niscaya kalian akan menyegerakan aku.” Namun, jika ia orang tidak baik, ia berkata: “Jangan segerakan aku, andaikan kalian tahu apa yang di depanku bahaya niscaya kalian tidak akan buru-buru [menguburku].” Kemudian jika telah ditanam dalam kubur, datanglah dua Malaikat yang hitam kebiru-biruan dari arah kepalanya, namun ditolak oleh salatnya dengan berkata: “Kalian tidak boleh datang dari arahku sebab adakalanya ia tidak tidur semalaman karena takut dengan saat-saat seperti ini.” Lalu Malaikat datang dari arah kakinya, namun ditolak oleh baktinya kepada kedua orang tuanya: “Jangan datang dari arahku, karena ia biasa berjalan tegak karena takut pada saat yang seperti ini.” 
    Malaikat datang dari arah kanannya namun ditolak oleh sedekahnya: “Tidak boleh datang dari arahku karena ia biasa sedekah karena takut dari saat yang seperti ini.” 
Malaikat datang dari arah kirinya, namun ditolak oleh puasanya: “Jangan datang dari arahku, karena ia biasa lapar dan haus karena takut saat yang seperti ini.” Kemudian ia dibangunkan bagaikan dibangunkan dari tidur, dan ditanya: “Bagaimana pendapatmu tentang orang yang membawa ajaran kepadamu itu? Siapakah ia? Ia menjawab: “Muhammad Saw; aku bersaksi bahwa ia adalah utusan Allah. 
    Kedua Malaikat itu pun berkata: “Engkau hidup sebagai orang mukmin, dan mati juga mukmin. Kuburnya pun diluaskan, dan dibukakan baginya segala kehormatan yang dikaruniakan Allah kepadanya. Semoga Allah memberi kita taufik dan dipelihara serta dihindarkan dari hawa nafsu yang menyesatkan, dan menyelamatkan kami dari siksa kubur, karena Nabi Saw juga berlindung kepada Allah dari siksa kubur.”
    A`isyah ra berkata: “Aku dahulunya tidak mengetahui adanya siksa kubur sehingga datang kepadaku seorang perempuan Yahudi minta-minta, dan setelah aku beri ia berkata, ‘Semoga Allah melindungimu dari siksa kubur.’ Semula aku mengira omongan perempuan itu hanya tipuan kaum Yahudi saja, sehingga aku pun menceritakannya kepada Nabi Saw. Beliau Saw memberitahu kepadaku bahwa siksa kubur itu benar, karena itu seharusnya seorang Muslim berlindung kepada Allah dari siksa kubur, dan bersiap-siap untuk menghadapi kubur dengan amal saleh, sebab selama ia masih hidup maka Allah telah memudahkan baginya segala amal saleh. Sebaliknya, bila ia telah masuk dalam kubur, ia ingin sekiranya diizinkan untuk melakukan satu kebaikan saja, tetapi tidak diizinkan, sehingga ia sangat menyesal. Karena itu seorang yang berakal harus berfikir dalam hal orang-orang yang telah mati. Mereka sangat mengharapkan agar diberi kesempatan untuk salat meski hanya dua rakaat, berzikir dengan tasbih, tahmid dan tahlil, sebagaimana ketika di dunia, namun tidak diizinkan. Untuk itulah mereka heran pada orang-orang yang masih hidup yang menghambur-hamburkan waktu dengan berfoya-foya dan melalaikan perintah-perintah agama. Saudaraku! Jagalah dan siapkan harimu, sebab ia sebagai pangkal kekayaanmu. Selama Anda memerhatikan pangkal kekayaanmu, maka mudah bagimu mendapatkan atau mencari untung. Di akhirat nanti daganganmu tak laku lagi. Mumpung hidup, giat-giatlah mengumpulkan kekayaanmu [maksudnya: amal saleh] agar Anda tidak menderita kerugiaan di sana nanti. Kita memohon kepada Allah semoga Dia memberi taufik untuk bersiap-siap menghadapi saat kebutuhan, dan jangan sampai menjadikan kita dari golongan yang menyesal sehingga ingin kembali ke dunia tetapi tidak diizinkan. Juga, semoga Allah memudahkan atas kita sakaratul-maut dan kesulitan kubur. Demikian pula untuk semua kaum muslimin dan muslimat. Amin ya Rabbal `alamin. Allah telah mencukupi kami, dan sebaik-baik Zat Yang memimpin. Sebaik-baik Pelindung dan Penolong (QS. Al-Anfal [8]: 40). Tidak ada daya dan kekuatan, kecuali dengan pertolongan Allah.
Apakah Kaum Muslim Disiksa di Dalam Kubur?
    Imam Al-Qurthubi dengan mengutip perkataan Abu Muhammad Abdul Haq berkata: “Ketahuilah bahwa azab kubur tidak hanya terkhusus bagi orang-orang kafir dan munafik saja, akan tetapi juga menimpa segolongan kaum mukmin. Semua tergantung amalnya serta akibat dosa dan kesalahannya.”
Siksa kubur ini tentunya karena adanya sebab-sebab khusus yang menyebabkan penghuninya disiksa di dalamnya. Dr. `Umar Sulaiman Al-Asyqar telah menghimpun beberapa hadis yang menerangkan sebab-sebab seseorang disiksa di kuburnya. Berikut kutipan dari buku tersebut.
Tidak Memakai Penutup Saat Buang Air Kecil dan Namimah 
    Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas ra berkata bahwa Nabi SW melewati dua kuburan, lalu beliau bersabda: “Sungguh keduanya sedang disiksa, dan mereka tidak disiksa karena dosa besar.” Kemudian beliau melanjutkan: “Ya, yang satu karena melakukan namimah (mengadu domba), dan yang satunya lagi tidak memakai penutup saat buang air kecil.” Kemudian beliau SAW mengambil sebuah kayu basah dan membelahnya menjadi dua, lalu menancapkannya pada dua kubur tersebut, dan bersabda: “Semoga siksa keduanya menjadi ringan selama kayu ini tidak kering.”
    An-Nasa’i meriwayatkan bahwa Aisyah berkata: “Seorang wanita Yahudi masuk ke kamarku dan berkata, ‘Sungguh azab kubur (bisa) berasal dari air seni.’ Aku menyahut, ‘Dusta engkau.’ Ia berkata, ‘Ya, sungguh kami (penganut Yahudi) memotong kulit dan pakaian kami bila terkena air seni.’ Sementara itu, Rasulullah SAW keluar hendak salut pada saat suara kami meninggi. Beliau SAW bertanya, ‘Ada apa ini?’ Aku menceritakan apa yang wanita itu katakan. Beliau bersabda, “Ia benar.’ Lalu beliau tidak salat kecuali berdoa setelahnya, ‘Ya Tuhan Jibril, Mikail dan Israfil, lindungilah aku dari panasnya neraka dan azab kubur.’”
    Menurut Dr. `Umar Sulaiman Al-Asyqar, hadis di atas mengisyaratkan bahwa Bani Israil memotong kulit dan pakaian yang terkena air seni. Ini merupakan syariat yang ditetapkan Allah bagi mereka. Karena itu ketika ada orang yang melarang hal tersebut untuk dikerjakan, maka konsekuensinya Allah akan menyiksa mereka karena pelanggaran tersebut. 
Dalam hadis Abdurrahman ibn Hasanah, Rasulullah SAW bersabda: “Apakah kalian tidak tahu apa yang menimpa seorang Bani Israil. Jika mereka terkena air seni, mereka memotong bagian yang terkena air seni tersebut. Lalu ia melarang mereka melakukan itu, maka ia diazab di dalam kubur.”
    Rasulullah SAW memberitahukan bahwa umumnya siksa kubur berawal dari air seni. Anas ra meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Bersihkan dirimu dari air seni, karena umumnya azab kubur berasal dari air seni.” Ibnu Abbas meriwayatkan dengan redaksi: “Umumnya azab kubur berasal dari air seni maka bersihkanlah dirimu darinya.” 
Mencuri Rampasan Perang
Mencuri ghanimah (rampasan perang) termasuk dosa yang dapat mengakibatkan pelakunya disiksa di dalam kubur. Abu Hurairah berkata, “Seorang laki-laki memberi hadiah seorang budak bernama Mid`am kepada Rasulullah SAW. Ketika Mid`am ikut bepergian bersama Rasulullah SAW tiba-tiba ia terkena anak panah nyasar. Ia tewas. Orang-orang berkata, ‘Semoga ia masuk surga!’ Mendengar ini, Rasulullah SAW bersabda, ‘Sekali-kali tidak! Demi Yang menguasai diriku, sungguh lilin yang ia ambil pada Perang Khaibar termasuk ghanimah yang belum dibagi. Lilin ini akan menyalakan api neraka buatnya.’ Ketika orang-orang mendengar hal itu, tiba-tiba seorang laki-laki datang membawa satu atau dua tali kulit terompah untuk diserahkan kepada Nabi SAW. Beliau lalu bersabda, ‘Satu atau dua tali kulit terompah dari neraka.’” (HR. Bukhari dan Muslim).
Abdullah ibnu `Amru berkata, “Dulu ada laki-laki bernama Karkarah yang bertugas menjaga barang bawaan milik Nabi yang diletakkan di punggung hewan. Ketika ia meninggal, Rasulullah SAW bersabda, ‘Ia di neraka.’ Para sahabat pergi untuk melihatnya, lalu mereka menemukan pakaian yang diambilnya.” (HR. Bukhari).
Dusta, Zina, Riba, dan Meninggalkan Al-Qur’an
Allah menunjukkan beberapa dosa yang membuat pelakunya diazab. Dalam Shahih Al-Bukhari diriwayatkan bahwa Samurah ibnu Jundub berkata:
Biasanya setelah salat Nabi SAW menghadapkan wajahnya ke arah kami, dan bertanya, “Siapa di antara kalian yang mimpi tadi malam?” Jika ada yang bermimpi, orang itu akan menceritakannya, lalu Nabi SAW mengatakan Masya Allah. 
Suatu hari beliau bertanya kepada kami, “Apakah di antara kalian ada yang bermimpi tadi malam?” Kami menjawab, “Tidak.” Beliau berkata, “Aku tadi malam bermimpi ada dua orang mendatangiku. Mereka memegang tanganku dan membawa ke tanah yang suci. Di sana ada laki-laki yang sedang duduk dan laki-laki yang berdiri di sampingnya dengan besi pengait di tangannya. Besi itu dimasukkan ke sudut mulut laki-laki yang duduk, lalu ditarik sampai mencapai tengkuk, kemudian sudut mulut yang lain ditarik seperti itu, sehingga kedua sudut mulutnya terpaut. Setelah itu, keadaannya pulih seperti sediakala, dan ia diperlakukan lagi seperti itu.
Aku bertanya, “Apa ini?” Kedua orang yang membawaku menjawab, “Jalanlah!” Lalu kami berjalan sampai bertemu dengan seorang laki-laki yang sedang berbaring dan seorang lagi yang berdiri dekat kepalanya sambil memegang batu, lalu dengan batu itu ia menghancurkan kepala laki-laki yang berbaring. Setelah ia memukulnya, batu tersebut menggelinding, lalu ia pergi untuk mengambilnya lagi. Ketika ia kembali, kepala laki-laki yang hancur tadi sudah menyatu kembali dan pulih seperti sediakala, lalu ia memukulnya lagi.
Aku bertanya, “Siapa ini?” Kedua orang yang membawaku menjawab, “Jalanlah!” Kami berjalan dan menemukan sebuah lubang mirip tungku dari tembikar untuk membakar roti, yang atasnya sempit, bawahnya luas, dan di bawahnya api menyala. Jika api itu mendekat, orang-orang di dalamnya segera naik sampai mereka nyaris keluar. Jika api padam, mereka kembali turun ke bawah. Di dalam lubang itu terdapat laki-laki dan perempuan telanjang.
Aku bertanya, “Siapa mereka ini?” Kedua orang yang membawaku menjawab, “Jalanlah!” Kami lalu berjalan dan sampai ke sebuah sungai darah yang di dalamnya ada seorang laki-laki berdiri, dan di tengah sungai (menurut versi Yazid dan Wahab ibnu Jarir dan Jarir ibnu Hazim: di pinggir sungai) ada seorang laki-laki yang di hadapannya ada batu. Jika orang itu ingin keluar dari sungai, laki-laki di pinggir atau di tengah sungai melempari mulutnya dengan batu sehingga ia kembali ke tempatnya semula. Setiap kali ia keluar dari sungai, ia dilempar dengan batu sehingga kembali lagi.
Aku bertanya, “Siapa ini?” ?” Kedua orang yang membawaku menjawab, “Jalanlah!” Lalu kami berjalan sampai kami berhenti di sebuah taman hijau yang di dalamnya ada sebuah pohon besar dan di dekat akarnya ada seorang kakek dan beberapa anak kecil. Di dekat pohon ada seorang laki-laki yang di hadapannya ada api yang menyala. Lalu kedua orang yang membawaku menaikkanku ke pohon dan memasukkan aku ke suatu tempat yang sangat indah. Di dalamnya, ada orang-orang tua, pemuda-pemuda, wanita-wanita, dan anak-anak. Kemudian keduanya mengeluarkan aku dari tempat itu, lalu menaikkanku ke pohon da memasukkan aku ke dalam tempat yang lebih bagus dan lebih indah, yang di dalamnya terdapat orang-orang tua dan pemuda-pemuda.
Aku berkata, “Kalian telah membawaku berkeliling pada malam ini, maka beritahukanlah padaku mengenai peristiwa-peristiwa yang kulihat tadi!” Keduanya menjawab, “Baik. Orang yang mulutnya dirobek adalah seorrang pendusta yang menceritakan kabar dusta sehingga dusta itu tersebar ke mana-mana, dan ia terus diperlakukan begitu sampai hari kiamat. Orang yang kepalanya diremukkan adalah laki-laki yang diajarkan padanya Al-Qur’an tetapi ia mengabaikannya di malam hari dan tidak mengamalkannya di siang hari. Ia diperlakukan seperti itu sampai hari kiamat. Orang yang di dalam lubang adalah para pezina. Orang yang di sungai adalah pemakan riba. Orang tua yang berada di akar pohon adalah Ibrahim, sedang anak-anak di sekelilingnya adalah anak-anak manusia. Yang menyalakan api adalah (malaikat) Malik penjaga neraka. Tempat pertama yang kau masuki adalah tempat umumnya kaum mukmin, sedangkan tempat ini adalah tempat para syuhada. Aku ini Jibril dan ini Mikail. Angkatlah kepalamu!” Aku mengangkat kepalaku, lalu tiba-tiba di atasku ada sesuatu seperti awan. Mereka berkata, “Itu tempat tinggalmu.” Aku berkata, “Biarkan aku memasuki rumahku.” Mereka berkata, “Umurmu masih ada. Jika umurmu telah habis, kau boleh masuk ke rumahmu.” (HR. Bukhari).
Orang Yang Berhutang Ditahan di Dalam Kubur
Hutang adalah salah satu perkara yang dapat membahayakan orang mati di dalam kuburnya. Sa`ad ibnu Al-Athwal ra menceritakan bahwa saudaranya wafat. Saudaranya itu meninggalkan hutang sebesar tiga ratus dirham dan sebuah keluarga. Sa`ad berkata, “Aku ingin menginfakkan harta tersebut kepada keluarganya. Nabi SAW berkata kepadaku, ‘Sesungguhnya saudaramu tertahan karena hutangnya, maka pergi dan bayarlah hutangnya.’ Lalu aku pergi dan membayar hutangnya, kemudian datang dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku telah membayar hutangnya kecuali dua dinar yang diklaim oleh seorang perempuan, sebab ia tidak memiliki bukti.’ Beliau menjawab, ‘Berikanlah, sebab ia berhak.’” (HR. Ibnu Majah dan Al-Baihaqi).
Orang yang Terpelihara dari Fitnah dan Azab Kubur
Sebagian kaum mukmin yang melakukan amal-amal besar atau tertimpa musibah besar akan terjaga dari fitnah dan azab kubur. Di antara mereka adalah:
1. Orang yang Mati Syahid
Miqdam ibnu Ma`dikariba berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang mati syahid di sisi Allah memperoleh enam hal: diampuni sejak rohnya dicabut, melihat tempat tinggalnya di surgam terpelihara dari azab kubur, aman dari ketakutan besar (di hari kiamat), di atas kepalanya diletakkan mahkota kehormatan yang nilai satu batu mulia mahkota itu lebih baik dari dunia dan seisinya, mengawini tujuh puluh dua bidadari, dan dapat memberi syafaat kepada tujuh puluh kerabatnya” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
2. Orang Yang Mati Ketika Bertugas Jaga (sebagai prajurit) di Jalan Allah
Fadhdhalah ibnu Ubaid meriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: “Setiap yang mati akan selesai amalnya kecuali yang meninggal ketika bertugas jaga di jalan Allah. Amalnya terus tumbuh sampai hari kiamat dan ia akan aman dari fitnah kubur” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud).
3. Orang yang Meninggal Pada Hari Jumat
Dalam hadis dari Abdullah ibnu Amru, Nabi SAW bersabda: “Setiap Muslim yang meninggal pada hari Jumat akan dijaga oleh Allah dari fitnah kubur” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
4. Orang yang Meninggal karena Sakit Perut
Abdullah ibnu Yasar berkata, “Aku pernah duduk bersama Sulaiman ibnu Shard dan Khalid ibnu `Urafthah. Mereka menceritakan bahwa ada seorang laki-laki yang mati karena sakit perut. Keduanya ingin menyaksikan jenazahnya. Salah satunya mengatakan kepada yang lain, ‘Bukankah Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang mati karena sakit perut tidak akan diazab di dalam kubur?” Yang satunya menjawab, “Ya.’” (Dalam riwyat lain, “Benar kamu.”) (HR. An-Nasa’i, Tirmidzi, Ibnu Hibban, Ath-Thayalisi, dan Ahmad).
Memohon Perlindungan kepada Allah dari Fitnah dan Azab Kubur
Mengingat fitnah dan azab kubur itu adalah suatu kenyataan yang pasti dihadapi oleh manusia, maka Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita dengan memohon perlindungan dari hal itu dalam salat dan di luar salat. Selain itu beliau juga menganjurkan para sahabat untuk memohon perlindungan dari hal tersebut. Berikut adalah doa-doa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW untuk kita amalkan.
Dari Anas diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW berdoa:
اَللَّهُمَّ إِنِّىْ أَعُوْذُبِكَ مِنَ اْلعَجْزِ وَاْلكَسَلِ وَاْلجُبْنِ وَاْلبُخْلِ وَاْلهَرَمِ وَأَعُوْذُبِكَ مِنْ عَذَابِ اْلقَبْرِ وَ أَعُوْذُبِكَ مِنْ فِتْنَةِ اْلمَحْيَاوَاْلمَمَاتِ
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari sifat lemah dan malas, sifat penakut, bakhil dan pikun. Aku berlindung kepada-Mu dari azab kubur. Aku juga berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan fitnah kematian (HR. Ahmad, Bukhari, dan Muslim).
Dari Aisyah diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW berdoa:
اَللَّهُمَّ إِنِّىْ أَعُوْذُبِكَ مِنَ اْلكَسَلِ وَاْلهَرَمِ وَاْلمَأْثَمِ وَاْلمَغْرَمِ وَمِنْ فِتْنَةِ اْلقَبْرِ وَ عَذَابِ اْلقَبْرِ
Ya aku berlindung kepada-Mu dari sifat malas, kepikunan, perbuatan dosa, dan hutang, serta dari fitnah kubur dan azab kubur (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah).
Rasulullah SAW juga memerintahkan kita untuk memohon perlindungan dari azab kubur dalam salat setelah tasyahud. Dari Abu Hurairah diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Jika kalian selesai membaca tasyahud, maka hendaklah memohon perlindungan kepada Allah dari empat hal:
اَللَّهُمَّ إِنِّىْ أَعُوْذُبِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَ مِنْ عَذَابِ اْلقَبْرِ وَ مِنْ فِتْنَةِ اْلمَحْيَاوَاْلمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ اْلمَسِيْحِ الدَّجَّالِ
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari azab jahanam, azab kubur, fitnah kehidupan dan kematian, dan dari kejahatan fitnah Al-Masih Dajal (HR. Tirmidzi dan An-Nasa’i).
Dari Ibnu Abbas diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mengajarkan doa berikut ini kepada para sahabat seperti mengajarkan sebuah surat Al-Qur’an:
اَللَّهُمَّ إِنِّىْ أَعُوْذُبِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَ أَعُوْذُبِكَ مِنْ عَذَابِ اْلقَبْرِ وَ أَعُوْذُبِكَ مِنْ فِتْنَةِ اْلمَسِيْحِ الدَّجَّالِ وَ أَعُوْذُبِكَ مِنْ فِتْنَةِ اْلمَحْيَاوَاْلمَمَاتِ
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari azab jahanam, azab kubur, kejahatan fitnah Al-Masih Dajjal, serta fitnah kehidupan dan kematian (HR. Muslim).


Rabu, 10 Desember 2008

Kewajiban Orang Tua Kepada Anaknya

By: Sulaiman Al-Kumayi

Seorang ayah sambil menyeret anaknya mendatangi Khalifah Umar bin Khaththab, “Anakku ini durhaka kepadaku; aku besarkan dengan susah payah, tetapi sekarang perlakuannya sungguh-sungguh menyakitiku.” Umar bertanya kepada si anak, “Apakah kamu tidak takut kepada Allah; kamu telah durhaka kepada ayahmu, engkau tahu kewajiban anak kepada orang tua begini dan begitu.” Namun anak itu balik bertanya kepada Umar, “Wahai amîr al-mu’minîn [pemimpin orang-orang beriman], apakah anak tidak berhak menuntut haknya kepada ayahnya?” 

Umar menjelaskan, tiga hak anak yang harus dipenuhi seorang ayah, yakni [1] berkewajiban memilihkan ibu yang baik, jangan sampai terhina akibat ibunya, [2] memberi nama yang baik, dan [3] mengajari al-Quran. Anak itu pun berkata, “Demi Allah, ayahku tidak memilihkan ibu yang baik, dia wanita yang dibeli 400 dirham, itulah ibuku. Di samping itu, aku diberi nama kelelawar jantan, dan juga aku sama sekali tidak pernah diajari al-Quran.
Umar pun menoleh balik kepada sang ayah, “Anda telah durhaka kepada anakmu sendiri sebelum ia durhaka kepadamu. Enyahlah kamu dari sini.”
Seorang ulama terkenal di Samarkand, Abu Hafsh pernah didatangi seorang ayah yang mengeluh karena dipukuli anaknya hingga sakit. Abu Hafsh terkejut, “Subhâna Allâh [Maha Suci Allah], masak ada anak memukul ayahnya?” “Sungguh, saya dipukul hingga sakit,” jelasnya. Kemudian ia ditanya, “Apakah Anda pernah mengajari anakmu dengan al-Quran?” “Tidak pernah,” jawabnya. “Lalu apa pekerjaan anakmu?” Dijawab, “Tani.”
Abu Hafsh—yang mempunyai visi spiritual yang matang itu—berkata, “Tahukah Anda mengapa anakmu sendiri tega memukulmu?” “Aku tidak tahu,” jawabnya kebingungan. Sang ulama pun menjelaskan, “Mungkin ketika anakmu sedang di atas himar [keledai] menuju ke sawah bernyanyi dan bersiul sementara di kiri kanannya kerbau dan lembu, di belakangnya anjing, kemudian Anda tiba-tiba menegurnya. Sehingga ia mengira Anda itu lembu yang sedang mengganggu, maka ia pun memukul Anda. Sungguh untung dan ucapkan al-Hamdu lillâh karena ia tidak memukul kepalamu.
Tsabit al-Bunani menuturkan, ada seorang anak memukul ayahnya di suatu tempat. Ketika anak itu ditegur orang-orang yang menyaksikan, ia menjawab, “Biarkan saja, karena dulu ketika aku masih remaja pernah memukul ayahku di tempat ini, dan sekarang aku dibalas anakku sendiri di tempat yang sama. Semoga kejadian ini menjadi tebusan atas kesalahanku. Karenanya anakku tidak dapat disalahkan.
Ahli hikmah menasehati: “Siapa durhaka kepada kedua orang tuanya ketika remaja, maka ketika kelak menjadi orang tua, ia tidak akan merasakan kesenangan dari anak-anaknya.”
Dikisahkan, ada seorang saleh, namanya Khalaf bin Ayyub, jika ia mempunyai memerlukan sesuatu tidak menyuruh anaknya, dan lebih suka menyuruh orang lain. Ketika ditanya, ia menjawab, “Aku khawatir kalau-kalau anakku tidak menuruti apa yang kuinginkan sehingga berdosa kepadaku dan masuk neraka. Dan aku tidak suka anakku masuk neraka.”
Berikan Tiga Hal Pada Anak
Berangkat dari kasus-kasus di atas, sebaiknya orang tua berkaca dan memeriksa diri sendiri. Mengapa anak-anak Anda tidak menghormati Anda sebagaimana harapan Anda?
Untuk melahirkan anak-anak yang sesuai dengan yang diidam-idamkan, maka penuhilah tiga hal yang menjadi hak anak. Nabi saw. bersabda, “Hak anak yang harus dilaksanakan oleh orang tua tiga: [1] memilihkan nama yang baik ketika lahir, [2] mengajarkan kepadanya kitab Allah [al-Quran], dan [3] mengawinkannya jika telah dewasa.”
Sebagai tambahan bagi para orang tua, hendaknya setiap selesai salat lima waktu senantiasa berdoa kepada Allah agar kiranya Dia berkenan memaafkan kesalahan Anda jika pada suatu ketika pernah menyakiti kedua orang tua, dan berharap semoga anak-anaknya menjadi anak yang saleh dan salehah. Sumber kebahagiaan dan ketenteraman jiwa. Insya Allah, dengan cara ini Allah pasti memaafkan kesalahan Anda dan anak-anak Anda tidak akan menyakiti Anda. []


Merawat Kedua Orang Tua

Mentaati dan Merawat Kedua Orang Tua
By: Sulaiman Al-Kumayi

Seorang ibu berusia sekitar 60 tahun pernah datang ke rumah penulis untuk berkonsultasi mengenai perlakuan seorang anaknya kepadanya. Ibu itu bercerita, sejak dua tahun ditinggal suaminya, salah seorang anaknya memperlakukannya dengan kasar. Hampir setiap hari si ibu dipukuli, bahkan pernah suatu hari sampai pingsan. Perlakuan ini berlangsung dua bulan. 
“Saya sudah tidak tahan diperlakukan demikian,” akunya kepada penulis sambil menangis sesenggukan. “Tetapi hingga saat ini saya belum pernah mengeluarkan kata-kata kutukan, karena saya takut Allah akan mengabulkannya dan anak saya celaka. Saya berharap mudah-mudahan ia menyadari kekeliruannya.”
Di atas hanya penggalan kasus aktual yang terjadi di sekitar kita. Beberapa televisi pernah memberitakan seorang anak tega menghabisi nyawa ayahnya gara-gara ketika kecil diperlakukan dengan kasar oleh sang ayah. Kasus lain, seorang pengusaha sukses merasa malu merawat ibunya yang berusia 70 tahun dan menitipkannya di rumah jompo. Pernahkah kita berpikir bahwa harapan terbesar orang tua ketika melahirkan dan membesarkan anaknya adalah agar ketika mereka sudah berusia lanjut ada yang merawat mereka?
Allah dan Rasul-Nya sangat menganjurkan seorang anak untuk taat dan merawat kedua orang tua yang ganjarannya sama dengan berjuang di jalan Allah. Abdullah bin Umar melaporkan, seorang laki-laki muda menemui Nabi saw. dan menyampaikan maksudnya, “Saya ingin berjuang di jalan Allah.” Nabi bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” “Ya, keduanya masih hidup,” jawabnya. Nabi bersabda, “Melayani dan merawat keduanya merupakan jihad.”
Dalam Tanbîh al-Ghâfilîn karya Abû Laits al-Samarqandî menyebutkan sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu `Abbâs yang menyebutkan: “Tiada seorang mukmin mempunyai kedua orang tuanya [ayah dan ibu], lalu pagi-pagi ia taat dan berbuat baik kepada keduanya, melainkan Allah membukakan untuknya dua pintu sorga. Dan tidak mungkin Allah ridha padanya jika salah seorang dari mereka [ayah atau ibunya] murka kepadanya, sehingga mendapat ridha dari keduanya. Ditanyakan, ‘Sekalipun orang tua itu zalim?’ Jawabnya, ‘Meskipun zalim.’ Sebaliknya, Allah membukakan pintu neraka bagi yang dimarahi kedua orang tuanya.”
Nabi Musa pernah memohon kepada Allah, “Ya Tuhanku, pesanilah aku. Firman Allah, “Aku berpesan supaya kamu tetap dengan-Ku.” “Apalagi,” pinta Musa. Firman Allah, “Aku pesan kepadamu taatilah ibumu.” “Yang lainnya,” kata Musa. Firman-Nya, “Aku pesan taatilah ibumu.” “Yang lainnya lagi,” kata Musa. Firman-Nya, “Aku berpesan kepadamu taatilah ayahmu.”
Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya berkata, saya bertanya kepada Nabi saw, “Ya Rasulullah, siapakah yang harus saya taati?” Jawab Nabi, “Ibumu.” “Siapa lagi?” tanyaku. “Ibumu,” jawab Nabi. “Siapa lagi?” tanyaku lagi. Dijawab, “Ibumu.” “Kemudian siapa lagi” Dijawab Nabi, “Ayahmu, kemudian orang yang terdekat dan yang terdekat dari kerabatmu.”
Mengingat demikian tinggi dan terhormat kedudukan orang tua di mata Allah, Nabi melarang keras kita menyakiti kedua orang tua apa pun alasannya. Bahkan sebagaimana disabdakan beliau, “Semua perbuatan dosa [balasannya] ditangguhkan oleh Allah Swt. sesuai dengan kehendak-Nya hingga hari kiamat, kecuali dosa menyakiti kedua orang tua; karena sesungguhnya azab perbuatan tersebut disegerakan atas pelakunya sewaktu ia masih hidup, sebelum mati” (HR. Thabrânî).
Kasus al-Qamah
Di zaman Nabi saw. ada seorang pemuda yang sangat tekun beribadah, dan banyak amalnya seperti bersedekah. Nama pemuda itu al-Qamah. Suatu ketika ia sakit keras, dan isterinya mengutus seseorang untuk menemui Rasulullah saw. dan memberitahukan bahwa suaminya sedang sakit keras dan dalam sakaratul-maut. Kemudian Rasulullah mengutus Bilal, Ali, Salman dan Ammar supaya pergi ke rumah al-Qamah dan memperhatikan bagaimana keadaannya. Ketika mereka sampai di sana, mereka langsung menemui al-Qamah dan menuntunnya supaya membaca ‘lâ ilâha illâ Allâh’ [Tiada Tuhan selain Allah], tetapi lidah al-Qamah bagaikan terkunci dan tidak dapat mengucapkan kalimat thayyibah tersebut. Menyaksikan bahwa al-Qamah pasti akan mati, mereka menyuruh Bilal untuk menemui Nabi dan melaporkan keadaan al-Qamah sebenarnya.
Rasulullah pun pergi dan langsung bertanya, “Apakah ia masih mempunyai ayah dan ibu?” Isteri al-Qamah menjawab, “Ayahnya telah meninggal, sedangkan ibunya masih hidup. Tetapi sudah berusia lanjut.” Rasulullah berkata, “Wahai Bilal! Carilah ibu al-Qamah dan sampaikan salamku padanya: “Anda harus menemui Rasulullah saw. sekarang, dan jika tidak bisa Rasulullah yang akan menemui Anda.” 
Ibu al-Qamah memenuhi panggilan Rasulullah. Kemudian Nabi bertanya, “Jelaskan yang sebenarnya kepadaku; jika Anda dusta kepadaku, niscaya akan turun wahyu memberitahu kepadaku. Bagaimana keadaan al-Qamah?” Jawab ibu al-Qamah, “Al-Qamah disiplin salat, puasa dan bersedekah yang banyak sehingga tidak diketahui berapa harta yang sudah dikeluarkannya.” “Bagaimana hubunganmu dengannya?” tanya Nabi. “Saya marah kepadanya,” jawabnya singkat. “Mengapa Anda marah,” tanya Nabi lagi. 
Ibu al-Qamah pun menjelaskan kronologi kemarahannya kepada anaknya itu. Ia lebih mementingkan isterinya ketimbang ibunya sendiri; menurut apa kata isterinya, namun menentangku. Mendengar penjelasan ini, Nabi bersabda, “Kemarahan ibunya itulah penyebab kekeluan lidah al-Qamah untuk mengucapkan lâ ilâha illâ Allâh.”  
Kemudian Nabi menyuruh Bilal supaya mengumpulkan kayu sebanyak-banyaknya untuk membakar al-Qamah. Ibu al-Qamah bertanya, “Ya Rasulullah, anakku, buah hatiku akan engkau bakar dengan api ini di depan mataku; hatiku tidak mungkin menerima kenyataan ini. Rasulullah menjawab, “Hai ibu al-Qamah, sika Allah lebih berat dan kekal, karena itu jika Anda ingin melihat Allah mengampuni dosa anakmu, maka relakanlah ia [kau harus ridha kepadanya]; demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak akan berguna salat, sedekahnya selama Anda murka kepadanya.”
Lalu ibu al-Qamah mengangkat kedua tangannya dan berkata, “Ya Rasulullah, saya bersaksi kepada Allah di langit dan kau ya Rasulullah, dan siapa saja yang hadir di tempat ini bahwa saya telah meridhai al-Qamah.” 
Rasulullah menyuruh Bilal pergi melihat keadaan al-Qamah, apakah sudah bisa mengucapkan lâ ilâha illâ Allâh ataukah belum. Karena Nabi khawatir bahwa ibu al-Qamah mengucapkan kata-katanya itu hanya karena malu kepada Rasulullah dan bukan lahir dari hatinya yang paling dalam. Sesampai Bilalh di pintu rumah al-Qamah, tiba-tiba terdengar suara al-Qamah mengucapkan lâ ilâha illâ Allâh. Bilal pun masuk dan berpidato, “Para hadirin, sesungguhnya kemarahan ibu al-Qamah yang menyebabkan kekeluan lidah untuk mengucapkan syahadat, dan ridhanya kini telah melepas kekeluan lidahnya.” Al-Qamah pun wafat, dan Rasulullah menyuruh supaya jenazahnya segera dimandikan dan dikafani, kemudian disalati oleh Nabi saw. Dan sesudah dimakamkan, beliau berdiri di tepi kuburan sambil bersabda, “Hai sahabat Muhajir dan Anshar, siapa yang mengutamakan isterinya ketimbang ibunya, maka ia terkena kutukan Allah dan tidak diterima ibadat-ibadat fardhu dan sunnatnya.”
Ibnu Abbas ketika menafsirkan firman Allah: “Tuhan telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain hanya kepada-Nya; dan kepada kedua orang tuamu harus berbakti dengan sebaik-baiknya; dan apabila telah tua salah satunya atau keduanya dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” (QS. al-Isrâ [17]: 23); mengatakan, seandainya kamu membuangkan kencing atau kotoran ibu atau ayahmu, hendaknya jangan kamu tutup hidungmu dan jangan cemberut mukamu sebab keduanya telah mengerjakan semua itu di masa kecilmu, dan jangan membentak keduanya dan berkatalah dengan lemah lembut, sopan santun, ramah tamah, dan hormat.
10 Kewajiban 
Al-Samarqandî menyebutkan 10 kewajiban seorang anak kepada kedua orang tuanya yang harus dilaksanakan. Pertama, ketika kedua orang tua menginginkan makan, maka segera dipenuhi makannya; kedua, jika mereka membutuhkan pakaian, maka segeralah diberi pakaian, dan yang lebih baik adalah memberi pakaian baru untuk menyenangkan hati mereka. Ketiga, jika keduanya memerlukan bantuan, segera beri bantuan. Keempat, segera memenuhi panggilan mereka. Kelima, mentaati semua perintahnya sepanjang tidak menyuruh untuk maksiat dan ghibah [membicarakan kejelekan orang lain]. Keenam, ketika berbicara kepada keduanya harus lunak, lemah lembut dan sopan. Ketujuh, tidak boleh memanggil nama kecilnya. Kedelapan, jika berjalan bersamanya harus berada di belakangnya. Kesembilan, senang kepada keduanya sebagaimana senang pada diri sendiri, demikian pula sebaliknya membenci bagi keduanya sebagaimana pada dirinya sendiri. Dan kesepuluh, mendoakan keduanya supaya mendapat pengampunan Allah dan rahmat-Nya; sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Nuh dan Ibrahim: Rabbighfirlî waliwâlidayya walilmu’minîna walmu’minâti yauma yaqûmul hisâb [Ya Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku dan kaum mukminin dan mukminat pada hari perhitungan].
Seorang sahabat menerangkan bahwa seorang anak yang tidak suka mendoakan kedua orang tuanya, niscaya ia akan mengalami kesulitan dalam hidupnya. Karena itu, jika seorang anak menginginkan kesuksesan dalam hidupnya kuncinya terletak pada kedua orang tuanya. 
Berbakti kepada kedua orang tua tidak terbatas ketika mereka masih hidup, tetapi untuk selama-lamanya, sepanjang seorang anak masih hidup. Hal ini merujuk pada kasus salah seorang dari Bani Salimah yang pernah bertanya kepada Nabi saw., “Kedua orang tuaku sudah meninggal, apakah ada jalan untuk berbakti kepada keduanya?” Dijawab oleh Nabi, “Ya, membacakan istighfar untuk keduanya, dan melaksanakan wasiat keduanya, serta menghormati sahabat-sahabat atau teman-teman keduanya, dan menghubungi famili dari keduanya.”
Bagi saudaraku semua, yang kebetulan membaca bagian ini, kami sarankan agar sebelum Anda meminta sesuatu kepada Allah, maka diawal doa Anda doakanlah kedua orang tua Anda baik mereka masih hidup maupun sudah meninggal, baru kemudian Anda menyampaikan permintaan Anda kepada-Nya. Inilah cara berbakti Anda, dan yakinlah hidup Anda pasti senantiasa dalam rahmat-Nya. 
Hikayat
Dalam Kitab Irsyâd al-`Ibâd, ada memuat sebuah kisah yang bersumber dari al-Yafi`i. Sesungguhnya Allah Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi memberikan wahyu kepada Nabi Sulaiman bin Dawud agar pergi ke tepi laut. Di sana ia akan melihat sesuatu yang mempesona.
Nabi Sulaiman bersama jin dan manusia keluar. Ketika sampai di tepi laut, ia menoleh ke kanan dan ke kiri, tetapi tidak melihat sesuatu pun yang menarik perhatiannya. Kemudian Nabi Sulaiman berkata kepada Ifrit, “Coba kamu menyelam ke dasar laut ini, dan nanti kembalilah dengan membawa sesuatu yang kamu jumpai di dalamnya.” Si Ifrit pun menyelam dan kembali sesaat kemudian. Ifrit melapor, “Wahai Nabi Sulaiman, sungguh aku tidak menemukan apa pun di sana, padahal aku sudah menyelidiki sepanjang dasar laut. Tidak ada sesuatu yang menarik.”
Nabi Sulaiman memerintahkan kepada Ifrit yang lain. Namun, sebagaimana yang pertama, yang kedua ini melaporkan hal yang sama. Kemudian ia menyuruh Ashif bin Burkhiya, menteri Nabi Sulaiman yang disebut dalam al-Quran sebagai orang yang memgerti ilmu kitab. Beberapa saat kemudian Nabi Sulaiman dibawakan sebuah kubah dari kapur putih yang mempunyai empat pintu yang masing-masing terbuat dari intan, yaqut, mutiara dan zabarjad yang hijau.
Seluruh pintu terbuka, namun setetes air pun tidak ada yang masuk ke dalamnya, padahal kubah itu berada di dasar laut, sejauh perjalanan Ifrit yang pertama tiga kali. Kubah itu diletakkan di depan Nabi Sulaiman, dan ternyata di dalamnya terdapat seorang pemuda yang berpakaian bagus, bersih sedang menjalankan salat. Ia masuk dan mengucapkan salam kepadanya, dan bertanya, “Apakah yang membuatmu bisa bertempat tinggal di dasar laut?” Pemuda itu menjawab, “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya ayahku itu seorang yang lumpuh, ibuku tuna netra [buta], dan aku berusaha melayani keduanya selama tujuh puluh tahun.”
Ketika ibuku akan meninggal dunia, ia berdoa, “Ya Allah berilah anakku umur yang panjang sebagai tanda kepada-Mu.” Begitu juga ketika ayahku akan meninggal, ia berdoa, “Ya Allah berilah anakku kesempatan untuk beribadah kepada-Mu di suatu tempat yang kiranya tidak bisa dilalui oleh syetan.”
Kemudian aku pergi ke tepi laut ini setelah aku memakamkan mayat ayah dan ibuku; aku melihat kubah ini di depanku. Aku masuk ke dalamnya untuk melihat keindahan di dalamnya. Tidak berapa lama kemudian, datang malaikat dan membawaku bersama kubah ini ke dasar laut. Nabi Sulaiman bertanya, “Kira-kira kapan kamu sampai ke tepi pantai ini?” Pemuda itu menjawab, “Kira-kira pada zaman Nabi Ibrahim.”
Nabi Sulaiman mengingat tentang sejarah Nabi Ibrahim yang bisa diperkirakan dua ribu empat ratus tahun yang silam. Sekalipun demikian, pemuda itu masih tetap muda, tidak ada satu pun uban di rambut kepalanya.
Nabi Sulaiman bertanya, “Bagaimana dengan makan dan minummu?” Dijawab, “Pada tiap hari ada seekor burung hijau yang membawa sesuatu yang kuning dipatuknya seperti kepala manusia, lalu aku memakannya. Aku bisa merasakan segala kenikmatan dunia. Dengan memakannya aku tidak merasakan lapar dan dahaga, panas dingin, dan tidur pun aku tidak merasa kedinginan lagi; aku juga tidak pernah merasakan susah dan jemu di sini.
Nabi Sulaiman bertanya lagi, “Apakah kamu mau ikut bersama kami, atau kamu aku kembalikan ke tempatmu semula?” Pemuda itu menjawab, “Kembalikan aku ke tempat semula, wahai Nabi Allah.” 
Nabi Sulaiman memerintahkan Ashif agar mengembalikan pemuda tersebut ke tempat asalnya. Kemudian Nabi Sulaiman berkata, “Lihatlah oleh kalian semua! Bagaimana Allah mengabulkan doa kedua orang tua pemuda tadi. Oleh karena itu, aku peringatkan kepada kalian jangan sekali-kali durhaka kepada kedua orang tua.” []



Kamis, 20 November 2008

AMROZI CS BUKAN MUJAHID

Amrozi Dkk Bukan Mujahid

Oleh: Abd. A’la , guru besar IAIN Sunan Ampel, Surabaya

Belakangan ini beredar SMS dengan isi, heli yang membawa mayat Amrozi cs diikuti burung bertulisan lafaz “Allah” dan kuburan mereka -kata SMS itu- harum, kendati tidak ditaburi bunga. Terlepas apakah kabar burung itu benar atau tidak, SMS tersebut ingin menegaskan Amrozi cs sebagai mujahid dan bukan teroris.

Pandangan semacam itu diperkuat dengan penyambutan kedatangan jenazah Amrozi dan Mukhlas di desa kelahirannya di Lamongan pada 10 November 2008 yang dielu-elukan sebagai mujahid oleh sebagian masyarakat atau kelompok muslim. Dalam ungkapan lain, mereka menganggap bahwa tindakan Amrozi cs meluluhlantakkan daerah Legian, Bali, dan membunuh ratusan penduduk sipil -termasuk turis asing- pada 12 Oktober 2002 enam tahun lalu adalah benar.

Keterjebakan masyarakat ke dalam pandangan tersebut memperlihatkan adanya sebagian masyarakat yang belum memahami konsep jihad secara utuh. Mereka terperangkap dalam keberagamaan naif yang menyikapi ajaran agama secara parsial dan distorsif. Pandangan seperti itu niscaya dibincang lebih jauh dalam kerangka konsep jihad sebagaimana dalam Alquran dan Sunah Rasul serta pandangan ulama sepanjang kesejarahan umat Islam. Perbincangan itu diharapkan dapat mengantarkan kita untuk tidak terlalu gegabah dalam melihat persoalan dan menggunakan simbol-simbol agama, apalagi untuk hal-hal yang justru akan menohok Islam dan merugikan umatnya serta seluruh manusia.

Hakikat Jihad

Sejak awal hingga saat ini, Islam menegaskan bahwa jihad bukan sinonim kata qital dan harb (perang/perlawanan fisik). Dalam Alquran, qital selalu merujuk pada pertahanan diri dan perlawanan fisik serta baru muncul pada periode Madinah, sedangkan jihad memiliki nuansa kekayaan makna sebagai ajaran agama sejak periode Makkah. Hal itu dapat dilacak, antara lain, dari ayat 25 surat Al-Furqan yang menyuruh umat Islam berjihad terhadap kaum musyrik Makkah dengan menggunakan Alquran. Karena ayat tersebut turun di Makkah, jihad yang dimaksudkan di sini jelas bukan perlawanan fisik, tapi argumentasi dan sejenisnya.

Kekayaan makna jihad juga disebutkan, antara lain, dalam Musnad Imam Ahmad yang menyatakan, orang yang disebut mujahid adalah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya untuk menaati ajaran Allah. Juga dalam Sunan Imam Nasa-i yang menegaskan, jihad orang dewasa maupun yang belum, laki-laki atau perempuan, dan yang kuat maupun lemah adalah melakukan haji dan umrah. Makna tersebut jelas berbeda dengan qital yang baru diizinkan ketika umat Islam hijrah ke Madinah. Tujuan jihad model itu semata-mata untuk pertahanan diri serta mutlak harus dibingkai etika luhur.

Makna jihad yang sangat luas itu ditegaskan Hossein Nasr (2005). Dalam pandangannya, segala upaya keras yang berpijak pada moralitas luhur, termasuk salat, puasa, haji, pengentasan masyarakat dari kemiskinan, adalah jihad. Dalam perspektif tersebut, Khaled Abou El Fadl (2005:21) meletakkan jihad sebagai powerful symbol bagi ketekunan, kerja keras, dan keberhasilan. Sampai derajat tertentu, jihad memiliki keserupaan dengan etika Protestanisme. Melalui jihad itu, umat Islam dalam sejarahnya merajut peradaban dan menggapai puncak prestasi dalam ilmu humaniora, keagamaan, dan sains.

Kalaupun jihad pada masa-masa awal sering berkonotasi qital, hal ini tidak terlepas dari kondisi dunia masa itu. Arab, Byzantium, Parsi, dan lainnya saat itu dalam state of war. Realitas tersebut menjadikan Rasulullah (SAW) dan umat Islam setelah hijrah ke Madinah diizinkan untuk melakukan perlawanan terhadap kaum politeis/musyrikun. Namun, qital-jihadi (jihad perlawanan fisik) diizinkan sebatas untuk pertahanan dan pembelaan serta pembebasan diri dari belenggu penindasan. Lebih dari itu, pengaitan perlawanan dengan jihad menunjukkan, perlawanan tersebut harus tetap berpijak pada keluhuran etika-moral dan merupakan cara terakhir manakala upaya lain sudah tertutup sama sekali.

Di tangan para fuqaha (ahli hukum Islam) -baik Sunni maupun Syiah- persyaratan qital-jihadi dirumuskan dengan sangat ketat. Berpijak pada Alquran dan Sunah Rasul, mereka menegaskan, perlawanan fisik yang dilakukan umat Islam sama sekali tidak boleh diarahkan kepada penduduk sipil dan lingkungan hidup. Apalagi, sasarannya para turis, yang menurut Al-Qardhawi, bukan hanya tidak boleh diserang, tapi juga jangan sampai diganggu. Selain itu, hanya pemimpin yang berhak untuk menyatakan pemberlakuan dan penegakan jihad-qitali. Dalam konteks Sunni, pemimpin yang dimaksud adalah kepala negara, sedangkan dalam perspektif Syiah adalah imam.

Memperjelas hal itu, al-Jabiri (2003) menegaskan, ayat-ayat pedang (qital) -yang sering disalahgunakan kelompok muslim tertentu untuk melakukan terorisme- sangat kontekstual dengan kondisi umat Islam saat itu. Bahkan, al-Faqih Abu Bakr ibnu Arabi -sebagaimana dikutip al-Jabiri- menyatakan, makna kaum kafir dalam ayat-ayat yang berhubungan dengan perang adalah kaum kafir Makkah. Dengan demikian, kaum kafir saat ini, apalagi nonmuslim yang lain, tidak bisa serta-merta disikapi sama seperti kaum kafir Makkah. 

Jika hal itu ditarik ke konteks kekinian, saat dunia tidak lagi berada dalam state war dan konflik antar duanegara atau lebih harus melalui badan internasional, pada satu pihak qital-jihadi niscaya lebih diperketat dari aspek syarat, proses, dan lain sebagainya. Pada pihak lain, jihad dalam makna yang komperehensif, humanistis, dan bermoral perlu disebarluaskan.

Bertentangan dengan Jihad

Pelacakan makna jihad mengantarkan pada kesimpulan, serangan yang dilakukan Amrozi cs sama sekali tidak memiliki kaitan, bahkan bertentangan, dengan jihad. Dilihat dari proses dan sasaran yang mereka lakukan, mereka bukan hanya tidak sebagai mujahid, tapi juga mereka berada dalam posisi yang berseberangan diametral dengan nilai-nilai jihad.

Melihat keterperangkapan sebagian masyarakat ke dalam pemaknaan jihad parsial dan distorsif, umat Islam Indonesia mutlak meletakkan konsep tersebut sesuai dengan substansi ajaran Islam. Seiring itu, pembumian jihad melalui kerja-kerja kemanusiaan, mulai pemberantasan korupsi hingga kemiskinan dan kebodohan (pembodohan), niscaya untuk dijadikan praksis jihad umat Islam dari saat ke saat. (telah diterbitkan di harian jawapos, 19/11/08).


Rabu, 15 Oktober 2008

Khasiat Pasak Bumi

Khasiat Pasak Bumi

Sejak beberapa tahun silam pasak bumi dikenal sebagai afrodisiak. Bahkan menurut Ir Nurliani Bermawie, Ph.D, peneliti di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aromatik ( Balittro ), Cimanggu, Bogor, sejak zaman dulu masyarakat suku Banjar di Kalimantan Selatan menggunakan pasak bumi sebagai obat kuat. Menurut Nurliani, khasiat pasak bumi yang paling dipercaya adalah pasak bumi dari pedalaman Kalimantan Barat khasiat itu telah dibuktikan oleh Prof Madya Dr Johari Mohd. Saad, Ph.D yang melakukan penelitian pada beberapa tikus jantan dan betina. Menurut penelitian tersebut, tikus jantan yang diberi ektrak pasak bumi menunjukan perilaku lebih agresif terhadap tikus betina. Hal itu diperkuat penelitian Dr H. H Ang dari School of Pharmaceutical Sciences, University Science Malaysia. 

Ekstrak ethanolic yang terkandung dalam pasak bumi dapat menambah jumlah hormon testosteron pria. Ethanolic merangsang bekerjanya chorionic gonadotropin (hCG) yang bisa membantu terbentuknya testosteron. 

Akar pasak bumi selain sebagai afrodisiak juga manjur untuk malaria. Penyakit yang menghancurkan sel-sel darah merah ini disebabkan plasmodium yang hidup dalam nyamuk anopeles betina. Kandungan senyawa kuasinoid pada akar pasak bumi dapat melumpuhkan plasmodium falcifarum. Selain kuasinoid akar pasak bumi juga mengandung senyawa erikomanon yang ampuh mengobati malaria. 

Selain sebagai afrodisiak dan antimalaria, pasak bumi mencegah serangan kanker. Senyawa kuasinoid dan alkaloid yang terkandung dalam pasak bumi terbukti menghambat pertumbuhan sel kanker berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Abdul Razak Mohd Ali dari Forest Research Institute of Malaysia. Sebanyak 8 alkaloid ditemukan dalam akar pasak bumi, salah satunya 9-methoxycanthin 6 yang berfungsi sebagai antikanker payudara. 

Penelitian yang dilakukan oleh Department pf Pharmacognocy, Tokyo College of Pharmacy & The Faculty of Medicine, Tokyo University, Jepang. Menemuka senyawa antileukimia dari pasak bumi. Selain afrodisiak, antikanker, antimalaria, dan antileukimia, pasak bumi juga bermanfaat untuk meningkatkan kekebalan tubuh bagi para penderita HIV.


Rabu, 08 Oktober 2008

SEMANGAT RAMADHAN UNTUK BEKAL MENGARUNGI 
KEHIDUPAN SELANJUTNYA
Oleh: Sulaiman Al-Kumayi, M.A.
Kandidat Doktor Islamic Studies
IAIN WALISONGO SEMARANG

Suatu kali Rasulullah saw melaksanakan shalat idul Fitri lebih siang dari biasanya, bukan karena beliau lupa, apalagi tertidur setelah shalat subuh. Beliau terlambat ke tempat berkumpulnya jama’ah shalat Id karena beberapa saat menjelang keberangkatannya, beliau mendapati seorang anak yang bermurung durja di tengah teman-temannya yang lagi asyik bermain dan bersuka cita. 
Mendapati situasi seperti itu beliau menghampiri anak tersebut, lalu didekapnya dan dielus-elus kepalanya. Setelah cukup mendapatkan kehangatan, beliau lalu bertanya, “Wahai anakku, mengapa kamu bersedih hati di saat teman-temanmu bersuka ria? Di mana rumahmu? Siapa orangtuamu?” Dengan mata nanar anak kecil itu menjawab, ayahku telah lama meninggal dalam suatu peperangan membela agama Islam, sedang ibuku menikah lagi dengan lelaki lain dan tak lagi menghiraukanku.
Rasulullah saw mendekap lebih hangat lagi, lalu bertanya: “Maukah kau jadikan aku sebagai ayahmu, ‘Aisyah sebagai ibumu, sedang Fathimah dan Ali sebagai bibi dan pamanmu? Kemudian beliau membimbing anak itu ke rumah beliau dan meminta agar ‘Aisyah memandikannya, membersihkan kotorannya, dan memberinya pakaian terbaik yang dimilikinya. Anak kecil yang berpakaian kotor, lusuh, dan berwajah muram itu seketika berubah penampilannya. Ia kini kelihatan bersih dengan rambut yang tersisir rapih. Pakaiannya bagus dan wajahnya berubah menjadi ceria. Ia keluar dari rumah Rasulullah saw sambil berteriak-teriak kepada teman-temannya, akulah anak yang hari ini paling bahagia. Muhammad telah menjadi ayahku, ‘Aisyah menjadi ibuku. Fathimah dan Ali menjadi bibi dan pamanku. Betapa bahagia anak itu. Betapa berbunga-bunga hatinya di tengah orang-orang lain yang juga berbahagia saat itu. Kebahagiaan yang tak terlukiskan dengan kata-kata. 
Di hari idul fitri seperti ini seharusnya tak seorangpun bersedih hati. Semua gembira. Semua bahagia. Tetapi pengalaman saya selama 15 tahun di kota-kota besar di Pulau Jawa, kebahagiaan dan kegembiraan anak-anak kita hari ini tidak dirasakan oleh anak-anak yang saat ini mereka harus mengemis di perempatan lampu lalu lintas demi melanjutkan hidup. Anak-anak yatim di panti asuhan yang merindukan dirinya diajak oleh ayah dan ibunya bersilaturrahmi dari rumah ke rumah sambil menikmati sajian Idul Fitri. Karenanya, bersyukurlah yang sebesar-besarnya kepada Allah, karena kita dan keluarga kita dapat berkumpul bersama menikmati hari kemenangan ini. Anak-anak kita ceria karena dibelikan baju baru.
Sejak tadi malam telah berkumandang alunan suara takbir, tasbih, tahmid dan tahlil sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas kemenangan besar yang kita peroleh setelah menjalankan ibadah puasa Ramadhan selama satu bulan penuh. Sebagaimana firman Allah SWT:

وَلِتُكْمِلُوااْلعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُاللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ ولَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah[2]: 85).

Rasulullah SAW bersabda:
زَيِّنُوْا اَعْيَادَكُمْ بِالتَّكْبِيْرِ 
“Hiasilah hari rayamu dengan takbir.”

Takbir kita tanamkan ke dalam lubuk hati sebagai pengakuan atas kebesaran dan keagungan Allah SWT sedangkan selain Allah semuanya kecil semata. Kalimat tasbih dan tahmid, kita tujukan untuk mensucikan Tuhan dan segenap yang berhubungan dengan-Nya.
Tidak lupa puji syukur juga kita tujukan untuk Rahman dan Rahim-Nya yang tidak pernah pilih kasih kepada seluruh hamba-Nya. Sementara tahlil kita lantunkan untuk memperkokoh keimanan kita bahwa Dia lah Dzat yang maha Esa dan maha kuasa. Seluruh alam semesta ini tunduk dan patuh kepada perintah-Nya.
Setelah satu bulan penuh kita menunaikan ibadah puasa dan atas karunia-Nya pada hari ini kita dapat berhari raya bersama, maka sudah sepantasnya pada hari yang bahagia ini kita bergembira, merayakan sebuah momentum kemenangan dan kebahagiaan berkat limpahan rahmat dan maghfirah-Nya sebagaimana yang tersurat dalam sebuah hadis Qudsi:
اِذَا صَامُوْا شَهْرَ رَمَضَانَ وَخَرَجُوْا اِلىَ عِيْدِكُمْ يَقُوْلُ اللهُ تَعَالىَ: يَا مَلاَئِكَتِى كُلُّ عَامِلٍ يَطْلُبُ اُجْرَهُ اَنِّى قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ فَيُنَادِى مُنَادٌ: يَا اُمَّةَ مُحَمَّدٍ اِرْجِعُوْااِلَى مَنَازِلِكُمْ قَدْ بَدَلْتُ سَيِّئَاتِكُمْ حَسَنَاتٍ فَيَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: يَا عِبَادِى صُمْتُمْ لِى وَاَفْطَرْتُمْ لِى فَقُوْمُوْا مَغْفُوْرًا لَكُمْ
“Apabila mereka berpuasa di bulan Ramadhan kemudian keluar untuk merayakan hari raya kamu sekalian maka Allah pun berkata: 'Wahai Malaikatku, setiap orang yang mengerjakan amal kebajikan dan meminta balasannya sesungguhnya Aku telah mengampuni mereka'. Sesorang kemudian berseru: 'Wahai ummat Muhammad, pulanglah ke tempat tinggal kalian. Seluruh keburukan kalian telah diganti dengan kebaikan'. Kemudian Allah pun berkata: 'Wahai hambaku, kalian telah berpuasa untukku dan berbuka untukku. Maka bangunlah sebagai orang yang telah mendapatkan ampunan.” 
Seiring dengan berlalunya Bulan suci Ramadhan. Banyak pelajaran hukum dan hikmah, faidah dan fadhilah yang dapat kita petik untuk menjadi bekal dalam mengarungi kehidupan yang akan datang. Jika bisa diibaratkan, Ramadhan adalah sebuah madrasah. Sebab 12 jam x 30 hari mulai terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, semula sesuatu yang halal menjadi haram. Makan dan minum yang semula halal bagi manusia di sepanjang hari, maka di bulan Ramadhan menjadi haram. 
Sementara dari aspek sosial, semua orang pernah merasa kenyang tapi tidak semuanya pernah merasakan lapar. Oleh karena itu, ada tiga pesan dan kesan Ramadhan yang sudah semestinya kita pegang teguh bersama. Pesan pertama Ramadhan adalah Pesan moral atau Tahdzibun Nafsi. Artinya, kita harus selalu mawas diri pada musuh terbesar umat manusia, yakni hawa nafsu sebagai musuh yang tidak pernah berdamai. Rasulullah SAW bersabda: Jihad yang paling besar adalah jihad melawan diri sendiri. Di dalam kitab Madzahib fît Tarbiyah diterangkan bahwa di dalam diri setiap manusia terdapat nafsu/naluri sejak ia dilahirkan. Yakni naluri marah, naluri pengetahuan dan naluri syahwat. Dari ketiga naluri ini, yang paling sulit untuk dikendalikan dan dibersihkan adsalah naluri Syahwat.
Hujjatul Islam, Abû Hâmid al-Ghazâlî berkata: “Pada diri manusia terdapat empat sifat, tiga sifat berpotensi untuk mencelakakan manusia, satu sifat berpotensi mengantarkan manusia menuju pintu kebahagiaan. Pertama, sifat kebinatangan (بَهِيْمَةْ); tanda-tandanya menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan tanpa rasa malu. Kedua, sifat buas (سَبُعِيَّةْ) ; tanda-tandanya banyaknya kezhaliman dan sedikit keadilan. Yang kuat selalu menang sedangkan yang lemah selalu kalah meskipun benar. ketiga sifat syaithaniyah; tanda-tandanya mempertahankan hawa nafsu yang menjatuhkan martabat manusia.”
Jika ketiga tiga sifat ini lebih dominan atau lebih mewarnai sebuah masyarakat atau bangsa niscaya akan terjadi sebuah perubahan tatanan sosial yang sangat mengkhawatirkan. Di mana keadilan akan tergusur oleh kezhaliman, hukum bisa dibeli dengan rupiah, undang-undang bisa dipesan dengan Dollar, sulit membedakan mana yang hibah mana yang suap, penguasa lupa akan tanggungjawabnya, rakyat tidak sadar akan kewajibannya, seluruh tempat akan dipenuhi oleh keburukan dan kebaikan menjadi sesuatu yang terasing, ketaatan akhirnya dikalahkan oleh kemaksiatan dan seterusnya dan seterusnya.
Sedangkan satu-satunya sifat yang membahagiakan adalah sifat rububiyah (رُبُوْبِيَّةْ); ditandai dengan keimanan, ketakwaan dan kesabaran yang telah kita bina bersama-sama sepanjang bulan Ramadhan. Orang yang dapat dengan baik mengoptimalkan sifat rububiyah di dalam jiwanya niscaya jalan hidupnya disinari oleh cahaya Al-Qur'an, prilakunya dihiasi budi pekerti yang luhur (akhlaqul karimah). Selanjutnya, ia akan menjadi insan muttaqin, insan pasca Ramadhan, yang menjadi harapan setiap orang. Insan yang dalam hari raya ini menampakkan tiga hal sebagai pakaiannya: menahan diri dari hawa nafsu, memberi ma`af dan berbuat baik pada sesama manusia sebagaimana firman Allah:
"…dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS Ali Imran [3]: 134).
Kemudian ia berusaha mengendalikan dirinya dengan tidak mencari-cari kesalahan orang lain. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Tsauban, bahwa Rasulullah Saw bersabda:
لاَتُـؤْذُوْا عِبَادَ اللهِ وَلاَتُعَيِّرُوْهُمْ وَلاَتَطْلُبُوْا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ طَلَبَ عَوْرَةَ اَخِيْهِ اْلمُسْلِمِ طَلَبَ اللهُ عَوْرَتَهُ حَتَّى يَفْضَحَهُ فِى بَيْتِهِ
"Janganlah mengganggu hamba-hamba Allah, mengolok-olok mereka dan mencari-cari aurat (hal-hal yang dirahasiakan) mereka. Karena barangsiapa mencari-cari aurat sesama saudara Muslimnya Allah akan mencari auratnya sehingga ia menjadi malu di rumahnya." 

Pesan kedua adalah pesan sosial. Pesan sosial Ramadhan ini terlukiskan dengan indah justru pada detik-detik akhir Ramadhan dan gerbang menuju bulan Syawwal. Yakni, ketika umat muslim mengeluarkan zakat fithrah kepada Ashnafuts-Tsamaniyah (delapan kategori kelompok masyarakat yang berhak menerima zakat), terutama kaum fakir miskin tampak bagaimana tali silaturrahmi serta semangat untuk berbagi demikian nyata terjadi. Kebuntuan dan kesenjangan komunikasi dan tali kasih sayang yang sebelumnya sempat terlupakan tiba-tiba saja hadir, baik di hati maupun dalam tindakan. Semangat zakat fitrah ini melahirkan kesadaran untuk tolong-menolong (ta`awun) antara orang-orang kaya dan orang-orang miskin, antara orang-orang yang hidupnya berkecukupan dan orang-orang yang hidup kesehariannya serba kekurangan, sejalan hatinya sebab كُلُّكُمْ عِيَالُ اللهِ , kalian semua adalah ummat Allah. 
Dalam kesempatan ini orang yang menerima zakat akan merasa terbantu beban hidupnya sedangkan yang memberi zakat mendapatkan jaminan dari Allah SWT; sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah:
اِنّىِ رَأَيْتُ اْلبَارِحَةَ عَجَاً رَأَيْتُ مِنْ اُمَّتِى يَتَّقِى وَهَجَ النَّارَ وَشِرَرَهَا بِيَدِهِ عَنْ وَجْهِهِ فَجَاءَتْ صَدَقَتُهُ فَصَارَتْ سِتْرًا مِنَ النَّارِ
"Aku semalam bermimpi melihat kejadian yang menakjubkan. Aku melihat sebagian dari ummatku sedang melindungi wajahnya dari sengatan nyala api neraka. Kemudian datanglah shadaqah-nya menjadi pelindung dirinya dari api neraka." 
Para pemberi zakat, shadaqah, dan infak, maka pada hari ini hendaknya bersyukur kepada Allah, karena telah mampu mengalahkan dorongan nafsu yang selalu membisikkan secara halus ke dalam hati: “Jangan keluarkan hartamu, nanti kamu bangkrut. Nanti kami jatuh miskin. Kalau kamu miskin siapa yang mau menolong kamu. Siapa yang akan peduli kepada kamu.” Kalahkan nafsu buruk ini. Jangan sampai ketika tiba detik-detik kematian, kita merengek-rengek kepada Allah: "Ya Tuhan kami, beri tangguhlah kami (kembalikanlah kami ke dunia) walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul". Tetapi dijawab dengan tegas oleh Allah: "Bukankah kamu telah bersumpah dahulu (di dunia) bahwa sekali-kali kamu tidak akan binasa? Dan kamu telah berdiam di tempat-tempat kediaman orang-orang yang menganiaya diri mereka sendiri, dan telah nyata bagimu bagaimana Kami telah berbuat terhadap mereka dan telah Kami berikan kepadamu beberapa perumpamaan." (QS. Ibrahim [14]: 42-45).
Sedekah atau infaq adalah sarana yang dapat mempermudah bagi seseorang dalam mencari rezeki. Semakin ia banyak bersedekah, semakin mudah ia mencari rezekinya. Sebaliknya, semakin ia bakhil dengan hartanya, maka rezeki pun semakin menjauh dari dirinya. Ini sudah ditetapkan oleh Allah sendiri: Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)". Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezeki yang sebaik-baiknya. (QS. Saba [34]: 39).
 Di sini ada kaitan erat antara kelapangan dan nafkah. Keduanya berbanding lurus. Jika Anda mengeluarkan sebagian harta yang Anda miliki, maka saat itu juga Allah melapangkan rezeki Anda. Sebaliknya, jika Anda masih hitung-hitung untuk mengeluarkan harta, maka Allah pun akan menghentikan pemberian-Nya. Sekilas, dari penglihatan lahiriah, saat Anda mengeluarkannya memang berkurang, tetapi dari aspek batiniah harta Anda diganti berlipat-lipat seperti dijelaskan Allah sendiri: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi MahamMengetahui." (QS. Al-Baqarah [2]: 261).
Pesan ketiga adalah pesan jihad. Jihad yang dimaksud di sini, bukan jihad dalam pengertiannya yang sempit; yakni berperang di jalan Allah akan tetapi jihad dalam pengertiannya yang utuh, yaitu: 
بَذْلُ مَاعِنْدَهُ وَمَا فِى وُسْعِهِ لِنَيْلِ مَا عِنْدَ رَبِّهِ مِنْ جَزِيْلِ ثَوَابِ وَالنَّجَاةِ مِنْ اَلِيْمِ عِقَابِهِ
"Mengecilkan arti segala sesuatu yang dimilikinya demi mendapatkan keridhaannya, mendapatkan pahala serta keselamatan dari Siksa-Nya."

Pengertian jihad ini lebih komprehensif, karena yang dituju adalah mengorbankan segala yang kita miliki, baik tenaga, harta benda, atapun jiwa kita untuk mencapai keridhaan dari Allah; terutama jihad melawan diri kita sendiri yang disebut sebagai Jihadul Akbar, jihad yang paling besar. Dengan demikian, jihad akan terus hidup di dalam jiwa ummat Islam baik dalam kondisi peperangan maupun dalam kondisi damai. Jihad tetap dijalankan. 
Dalam konteks masyarakat Indonesia saat ini, jihad yang kita butuhkan bukanlah jihad mengangkat senjata. Akan tetapi jihad mengendalikan diri dan mendorong terciptanya sebuah sistem sosial yang bermartabat, berkeadilan dan sejahtera serta bersendikan atas nilai-nilai agama dan ketaatan kepada Allah. 
Mengingat adanya aliran Islam yang mengkampanyekan jihad dengan senjata di negara damai Indonesia ini, maka perlu untuk ditekankan lebih dalam bahwa jihad seharusnya dilandasi niat yang baik dan dipimpin oleh kepala pemerintahan, bukan oleh kelompok atau aliran tertentu. Jangan sampai mengatasnamakan kesucian agama, akan tetapi tidak bisa memberikan garansi bagi kemaslahatan umat Islam. Islam haruslah didesain dan bergerak pada kemaslahatan masyarakat demi mencapai keridhaan Allah dan kemajuan ummat. Pengalaman pahit salah mengartikan jihad menjadikan Islam dipandang sebagai agama teroris. Padahal Islam sebenarnya adalah rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil alamin), agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kedamaian.
Dalam konteks masyarakat Indonesia saat ini, jihad yang kita butuhkan adalah upaya mendukung terbangunnya sebuah sistem sosial yang bermartabat, berkeadilan dan sejahtera yang bersendikan pada ketaatan kepada Allah. Jihad untuk mengendalikan hawa nafsu dari seluruh hal yang dapat merugikan diri kita sendiri, terlebih lagi merugikan orang lain. 
رُوِىَ اَنَّ بَعْضَ الصَّحَابَةِ قَالُوْا يَا نَبِيَّ اللهِ لَوَدَدْنَا اَنْ نَعْلَمَ اَيَّ التِّجَارَةِ اَحَبُّ اِلَى اللهِ فَنَتَجَرُّ فِيْهَا فَنُزِلَتْ (يآاَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا هَلْ اَدُلُّكُمْ عَلىَ تِجَارَةٍ تُنْجِيْكُمْ مِنْ عَذَابٍ اَلِيْمٍ. تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ وَتُجَاهِدُوْنَ فِى سَبِيْلِ اللهِ بِاَمْوَالِكُمْ وَاَنْفُسِكُمْ ذَالِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ. يَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَيُدْخِلْكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِى مِنْ تَحْتِهَا اْلاَنْهَارُ وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِى جَنَّاتِ عَدْنٍ ذَلِكَ اْلفَوْزُ اْلعَظِيْمُ

"Diriwayatkan bahwa sebagian sahabat mendatangi Rasulullah. Ketika berjumpa, salah seorang dari mereka berkata: "Wahai Nabi Allah, kami ingin sekali mengetahui bisnis apa yang paling dicintai oleh Allah agar kami bisa menjadikannya sebagai bisnis kami". Kemudian diturunkan ayat:
يآاَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا هَلْ اَدُلُّكُمْ عَلىَ تِجَارَةٍ تُنْجِيْكُمْ مِنْ عَذَابٍ اَلِيْمٍ. تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ وَتُجَاهِدُوْنَ فِى سَبِيْلِ اللهِ بِاَمْوَالِكُمْ وَاَنْفُسِكُمْ ذَالِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ. يَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَيُدْخِلْكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِى مِنْ تَحْتِهَا اْلاَنْهَارُ وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِى جَنَّاتِ عَدْنٍ ذَلِكَ اْلفَوْزُ اْلعَظِيْمُ
"Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam jannah 'Adn. Itulah keberuntungan yang besar." (QS Ash-Shaff:10-12)

Dalam konteks sosial masyarakat kita saat ini, dimana masih banyak sektor sosial yang perlu pembenahan lebih lanjut. Maka makna jihad harus mengacu pada pengentasan masalah-masalah sosial. Oleh sebab itu, sudah selayaknya pada momentum lebaran saat ini, bukan hanya pakaian yang baru akan tetapi gagasan-gagasan baru juga harus dikedepankan untuk mengentaskan masalah-masalah sosial yang selama ini membelenggu kemajuan umat Islam Indonesia pada khususnya dan bangsa dan negara Indonesia pada umumnya.
Demikianlah tiga pesan yang disampaikan oleh Ramadhan. Oleh sebab itu, marilah kita bersama-sama memikul tanggung jawab untuk merealisasikan ketiga pesan ini ke dalam bingkai kehidupan nyata. Marilah kita bersama-sama mengendalikan hawa nafsu kita sendiri, untuk tidak terpancing pada hal-hal yang terlarang dan merugikan orang lain; menjalin hubungan silaturrahim serta kerjasama sesama muslim tanpa membeda-bedakan status sosial, serta menyandang semangat jihad untuk membangun sebuah sistem sosial yang bermartabat, berkeadilan dan sejahtera. []


Rabu, 17 September 2008

Kuliah Tafsir: Surah Al-Fatihah

Surah Al-Fatihah

1.Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

2.Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

3.Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

4.Yang menguasai hari Pembalasan.

5.Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.

6.Tunjukilah kami jalan yang lurus,

7.(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Fadhilah dan Khasiat Surah Al-Fatihah

Surah al-Fâtihah mempunyai keutamaan-keutamaan yang sangat banyak. Kedudukan surah ini sama dengan dua pertiga al-Quran (20 juz al-Quran atau 76 surah). Ini merujuk sabda Nabi Muhammad saw. yang menyatakan:

فَاتِحَةُ اْلكِـتَابِ تَعْدِلُ بِثُلُثِى اْلقُرْانِ (رواه عبد الله بن احمد)

Pembuka al-Kitâb [surah al-Fâtihah] itu menyamai dua pertiga al-Quran (HR. Abdullah b. Ahmad).

Tingginya kedudukan surah al-Fâtihah, karena ia diturunkan langsung dari `Arasy Allah. Dari Ja`far bin Muhammad dari ayahnya dari kakeknya sampai kepada Nabi SAW., beliau bersabda, “Ketika Allah SWT. bermaksud menurunkan al-Fâtihah, ayat Kursi [QS. al-Baqarah [2]: 163], Syahidallâhu [QS. Ali `Imrân [3]: 18], Qul lillâhumma malik al-mulk [QS. Ali `Imrân [3]: 26], semua ayat itu bergantung di Arasy Tuhan. Tidak ada penghalang di antaranya dengan Allah. Semua ayat itu berkata, ‘Tuhanku, Engkau turunkan kami ke kampung yang penuh dosa, kepada orang yang menentangmu, padahal kami bergantung pada kebersihan dan kesucian-Mu.’ Allah SWT. berfirman, ‘Demi keagungan dan kemuliaan-Ku, jika seorang hamba membaca kalian sesudah Shalatnya, Aku akan tempat dia di wisma kesucian [sorga], Aku akan perhatikan dia dengan mata-Ku yang terpelihara setiap hari tujuhpuluh kali pandangan. Aku akan penuhi setiap hari tujuhpuluh keperluannya, paling sedikit di antaranya adalah ampunanku. Aku lindungi ia dari semua musuh. Aku akan membelanya. Tidak ada yang mencegahnya masuk surga, kecuali kematian."

Di bagian lain, Nabi SAW. juga menerangkan bahwa surah al-Fâtihah hanya diberikan kepada beliau dan umat beliau (umat Islam). Diriwayatkan dari Hasan bin Ali, “Pada suatu hari, serombongan orang Yahudi menemui Nabi SAW. Di antara pertanyaan mereka, ‘Kabarkan kepada kami tujuh hal yang Allah berikan kepadamu dan tidak diberikan kepada nabi yang lain; Allah berikan kepada umatmu, tidak kepada umat yang lain?’ Nabi SAW. bersabda, “Allah memberikan kepadaku surah al-Fâtihah, azan, jemaah di mesjid, hari Jumat, menjaharkan tiga Shalat, keringanan bagi umatmu dalam keadaan sakit, safar, Shalat jenazah, dan syafaat bagi pelaku dosa besar di antara umatku."

Al-Hakim mengatakan bahwa surah ini mempunyai seribu khasiat lahir dan batin. Di antara khasiatnya, barangsiapa mendawamkan atau melazimkan membaca surah al-Fâtihah dengan basmalah sesudah Shalat subuh sebanyak empat puluh [40] kali, maka jika ia tidak mempunyai posisi, ia akan memperolehnya; jika miskin, Allah akan mencukupkannya; jika berutang, Allah akan membayarkan utangnya; jika lemah, Allah akan menguatkannya; jika terpinggirkan, Allah akan memuliakannya di antara manusia dengan kemuliaan yang tidak pernah ia bayangkan. Ia akan dicintai di alam tinggi dan alam rendah. Pembicaraannya akan didengarkan. Perbuatannya akan diterima. Ia akan ditakuti musuhnya dan dicintai pencintanya. Ia selalu berada dalam perlindungan Allah SWT, selama ia mendawamkan [membaca terus-menerus].

Diamalkan Sesudah Shalat Maghrib

Syekh Muhyiddîn ibn `Arabî—semoga Allah mensucikan batinnya dan memasukkan ke sorga-Nya—berkata, “Barangsiapa yang mempunyai hajat, bacalah surah al-Fâtihah empat puluh [40] kali sesudah Shalat Maghrib, setelah menyelesaikan fardu dan sunatnya. Ia tidak boleh berdiri dari tempat duduknya sebelum menyelesaikan surah al-Fâtihah. Sesudahnya, bermohonlah kepada Allah SWT. Kemudian bacalah doa ini setelah selesai dari bacaan surah al-Fâtihah (kami sudah mencobanya dan mendapatkan manfaatnya):

اِلهِى، عِلْمُكَ كَافٍ عَنِ السُّؤَالِ اِكْفِنِى بِحَقِّ اْلفَاتِحَةِ سُـؤَلاً وَكَرَامُكَ كَافٍ عَنِ اْلمَـقَالِ، اَكْرِمْنِى بِحَقِّ اْلفَاتِحَةِ مَـقَالاً وَحَصِّلْ مَافِى ضَمِيْرِيْ

Ilâhî, `ilmuka kâfin `anissu’âli ikfinî bihaqqil-fâtihati su’âlan. Wakaramuka kâfin `anil-maqâli, akrimnî bihaqil-fatihâti maqâlan wa hashshil mâ fî dhamîrî.

Tuhanku, ilmu-Mu mencukupi untuk semua permohonan, cukupkanlah permohonanku demi hak surah al-Fâtihah. Kemurahan-Mu mencukupi segala pembicaraan. Anugerahkanlah kepadaku pembicaraan demi hak surah al-Fâtihah dan wujudkanlah apa yang terbetik atau terbersit dalam batinku.

Sabtu, 06 September 2008

Tentang Sulaiman Al-Kumayi

Biografiku

Sulaiman (di Jawa dikenal dengan: Sulaiman Al-Kumayi), dilahirkan di Kumai, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, 27 Juni 1973. Jenjang Pendidikan Dasar hingga SLTA dihabiskan di Kotawaringin Barat: MIBS I Kumai (lulus 1986), SMPN I Kumai (lulus 1989), dan SMAN I Pangkalan Bun (lulus 1992). Pendidikan Tinggi dilanjutkan di Semarang (Jawa Tengah): S1 IAIN Walisongo Semarang (lulus 1998), S2 Pascasarjana IAIN Walisongo (lulus 2001), dan Program Doktor/S3 Pascasarjana IAIN Walisongo, masuk 2005-hingga sekarang dalam proses penulisan Disertasi Doktor dengan subyek penelitian Islam Bubuhan Kumai, sebuah kajian terhadap masyarakat Muslim etnik Melayu yang mendiami Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, dengan pendekatan Antropologi). 

Sejak 2003, saya dipanggil untuk mengabdi di almamater sebagai Dosen di Fakultas Ushuluddin, dan kemudian diangkat sebagai Sekretaris Jurusan Tasawuf dan Psikoterapi (2007-2012) Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang. Selain sebagai dosen, saya juga produktif menulis dan juga aktif dalam berbagai kegiatan di masyarakat baik di bidang dakwah, pers, dan sosial. Saat ini ia tercatat sebagai Sekretaris DPD. Ittihadul Muballighin Kota Semarang (2002-2007; 2007-2012). Pernah menjabat sebagai Ketua Umum Ikatan Jurnalis Muslim Indonesia (IJMI, 2001-2003; 2003-2005). Pemimpin Redaksi Majalah Reformasi dan Dinamika Reformasi (2000-2003). Ketua Yayasan Al-Wahidiyyah Semarang dan Pengasuh TK Hj. Anisah Semarang (sebuah taman kanak-kanak yang diabdikan untuk orang-orang miskin); Wakil Ketua DPW. Keluarga Besar Bismillah (1999-2004); Vice Director Brilliant Society Network (Jaringan Masyarakat Unggulan [JaMaN] Jawa Tengah; Anggota Forum Persaudaraan Bangsa Indonesia (FPBI) Semarang. 

Sekarang, selain menjabat sebagai Direktur Institut Studi Islam dan Perdamaian [INSISMA, Institute for Islamic Studies and Peace]; sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang kajian ke-Islaman, terutama Urban and Positive Sufism, dan Ninenty Nine Quotient Training for Motivation and Personality. Juga, Direktur Limited Small Group (LSG) Semarang dan Direktur Pena Walisongo Center (PWC), sebuah wadah yang melakukan pembinaan terhadap penulis-penulis pemula untuk diarahkan menjadi penulis andal dan professional. Selain itu, juga sebagai Pembina LSM Hati Nurani Masyarakat untuk Keadilan (HAMUK) yang berkedudukan di Kumai.
Saya telah menulis puluhan artikel di Surat Kabar dan Jurnal-jurnal Ilmiah. Buku-buku yang telah diterbitkan, [1]Seni Penyembuhan Alami (Jakarta: Gugus Press, Jakarta, 2002), [2]Sehat dan Damai Bersama Yâ Sîn (Jakarta: Intimedia, 2002), [3] Anda Bertanya Pak Wahid Menjawab: Dialog Semalam, Seputar Agama Islam (Semarang: Insisma Pers-Yayasan Al-Wahidiyyah, 2002); [4] Haji Mistik (Jakarta: Intimedia-Nalar, 2003], [5] Anak Luar Nikah: Status dan Implikasi Hukumnya [editor] (Jakarta: Atmaja, 2003], [6]Allah di Mata Sufi [terjemahan] (Jakarta: Atmaja, 2003), [7]Indahnya Berpikir Positif (Jakarta: Atmaja, 2003), [8] Nikmatnya Beramal (Jakarta: Atmaja, 2003), [9] Kecerdasan 99 [99 Quotient]: Cara Meraih Kemenangan dan Ketenangan Hidup Lewat Penerapan 99 Nama Allah (Jakarta: Hikmah, 2003]; [10] Meraih Kebahagiaan Dunia dan Akhirat [terj.] (Semarang: Mutiara Persada, 2003], [11] Kearifan Spiritual Dari Hamka ke Aa Gym (Semarang: Pustaka Nuun, 2004), [12] Jihad ala Pesantren: Di Mata Antropolog Amerika [Tim Penerj.] (Yogyakarta: Gamamedia, 2004); [13]. "Membedah" Jantung Al-Qur'an: Hidup Sehat dan Bahagia Bersama Ya Sin (Semarang: Mediatama Press, 2005); [14] Menuju Hidup Sukses: Kontribusi Spiritual-Intelektual Aa Gym dan Arifin Ilham (Semarang: Pustaka Nuun, 2005); [15] Ekspresikan Cintamu: Belajar Dari Kecerdasan 99 Nama Nabi (Jakarta: Hikmah, 2005); [16] Cahaya Hati, Penenteram Jiwa: Syarah Al-Hikam (Semarang: Pustaka Nuun, 2005); [17] Berdzikir dan Sehat [editor] (Semarang: Syifa Press, 2006); [18] 99Q for Family: Menerapkan Prinsip Asmaul Husna Dalam Kehidupan Rumah Tangga (Jakarta: Hikmah-Mizan, 2006); [19] Inilah Islam: Mengungkap Pemikiran Hasbi Ash-Shiddieqy tentang Tafsir, Feminisme, Teologi, Neo-Sufisme dan Gagasan Menuju Fiqh Indonesia (Jakarta-Semarang: Yayasan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy-Pustaka Rizki Putra, 2006); [20] Pemikiran Tasawuf Panglima Utar (Muhtar ibn Abd al-Rahim): Studi atas Pemikiran Sufi Pinggiran (Semarang: INSISMA Press, 2006); [21] Integrasi Konsep Lathifah dan Konsep Cakra: Ikhtiar Membangun Psikoterapi Religius (Semarang: Pusat Penelitian IAIN Walisongo, 2006); [22] Poligami Aa Gym Di antara Pro dan Kontra (Semarang: Pustaka Adnan, 2007); [23] Shalat: Penyembahan dan Penyembuhan (Jakarta: Erlangga, 2007); [24]Ruqyah: Ayat-ayat Al-Quran untuk Menyembuhkan Kesurupan Jin dan Gangguan-gangguan Psikis (Semarang: INSISMA Press, 2007); [25] Melacak Konflik Etnik antara Etnik Melayu dan Etnik Madura: Studi Kasus Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah (Semarang: Puslit IAIN Walisongo, 2007); [26] editor untuk buku Amru Khalid, Berakhlak Seindah Rasulullah, Menuju Akhlak Seorang Mukmin Sejati (Semarang: Pustaka Nuun, 2007); [27]Materi Dakwah (Semarang: Ittihadul Muballighin-INSISMA, 2007); [28]Quantum Rezeki (Semarang: Pustaka Nuun, 2008); [29] Hari-hari Dalam Naungan Al-Qur’an (Jakarta: Erlangga, 2008); [30]Ensiklopedi Wanita (Bandung: Nuansa, 2008); [31] editor untuk buku Khalid Abdurrahman Al-`Ikk, Cinta Tiada Akhir (Semarang: Pustaka Adnan, 2008); [32] buku bertaraf internasional: 99Q, Kecerdasan Berasaskan Asmaul-Husna: Membuka Pintu Keajaiban Melalui Nama-nama Mulia [Asmaul-Husna] (Selangor, Malaysia: PTS. Millenia Sdm Bhd, 2008); dan [33] Tasawuf Falsafi di Kotawaringin (Semarang: Walisongo Press, 2008).

Korespondensi: email: alkumayi97@yahoo.co.id
Kunjungi : http://insisma.blogspot.com/ atau http://kumaistudies.blogspot.com/ 
Alamat Kantor: Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo
  Jl. Prof. Dr. Hamka Km.2, Kampus II, Ngaliyan-Semarang
  Telp. (024) 7601294
 



Kamis, 28 Agustus 2008

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani

Teladan Keteguhan Jiwa Sang Sufi


Setiap 11 Rabi’ul Akhir, kaum muslimin memperingati haul Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, pendiri Thariqah Qadiriyyah. Sayang, selama ini yang menjadi kekaguman orang ialah keajaiban karamahnya. Padahal, keteguhan jiwa dan istiqamahnya dalam beribadah justru merupakan karamah terbesar yang seharusnya diteladani.

Baghdad, Ahad, 3 Shafar 555 Hijriyyah. Guru mursyid itu baru saja menyelesaikan wudhunya. Dengan terompah yang masih basah, ia berjalan menuju sajadahnya yang telah terhampar di lantai masjid, lalu menunaikan shalat sunnah dua rakaat, sementara beberapa murid duduk penuh ta’zhim menunggu, tak jauh dari tempat sang mursyid shalat. 

Ketika sang allamah mengucap salam, dan baru saja mengalunkan dua-tiga kalimat dzikir, tiba-tiba sang guru paruh baya bertubuh tegap itu melontarkan salah satu terompahnya ke angkasa sambil berteriak keras. Belum lagi lenyap keterkejutan para santri, tiba-tiba ia melemparkan terompah yang satu lagi. Sepasang terompah itu pun lenyap di angkasa. 

Setelah itu ia melanjutkan dzikir, seolah tak terjadi apa-apa. Tak seorang santri pun berani menanyakan keanehan perilaku sang mursyid besar, yang tiada lain Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani. 


Sekitar 23 hari kemudian, dua orang santri Syaikh Abdul Qadir, yaitu Syaikh Abu Umar Utsman As-Sairafi dan Syaikh Abu Muhammad Abdul Haqqi Al-Harimiyyah, dikejutkan oleh kedatangan serombongan kafilah dagang di pintu gerbang madrasah mereka. Mereka menyatakan ingin bertemu dengan sang guru untuk menyampaikan nadzar. 

Maka Syaikh Abu Umar pun menghadap Syaikh Abdul Qadir, menyampaikan pesan tamunya. Dengan tenang Syaikh Abdul Qadir memerintahkan agar Abu Umar menerima apa pun yang akan diberikan oleh tamunya. Kafilah itu menyerahkan hadiah, terdiri atas perhiasan emas dan pakaian dari sutra, serta sepasang terompah tua – yang sangat mereka kenal sebagai terompah Syaikh Abdul Qadir. 

“Bagaimana terompah guru kami berada di tangan kalian?” tanya kedua santri thariqah itu terheran-heran. 

Pemimpin kafilah itu pun berkisah. Pada 3 Shafar 555 Hijriyyah, mereka dihadang gerombolan perampok di sebuah gurun pasir di luar Jazirah Arab. Karena ketakutan, semua anggota kafilah melarikan diri meninggalkan sebagian barang dagangan mereka. 

Namun tiba-tiba mereka berhenti, karena di depan mereka mulut jurang menganga lebar. Sementara gerombolan perampok semakin mendekat. Sambil bersorak sorai mereka mengejar anggota kafilah yang membawa lari sisa-sisa barang dagangan. Apa boleh buat, anggota kafilah itu pun pasrah. Di tengah ketakutan yang mencekam, pemimpin kafilah itu berdoa, “Ya Allah, dengan berkah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, selamatkanlah kami. Jika selamat, kami bernadzar akan memberikan hadiah kepada beliau.” 

Ajaib, tiba-tiba sorak sorai perampok itu terhenti, berganti dengan teriakan histeris ketakutan. Dan sesaat kemudian sepi, hening. Tak lama sesudah itu kepala perampok mendatangi kafilah dagang dengan wajah ketakutan. Katanya dengan suara gemetar terbata-bata, “Saudaraku, ikutlah denganku, ambillah kembali barang-barang kalian yang kami rampok, dan tolong ampuni kami.” 

Para anggota kafilah terheran-heran dan saling berpandangan. Dengan takut-takut mereka mengikuti si perampok. Sampai di tempat mereka semula meninggalkan barang dagangan, mereka menyaksikan pemandangan yang lebih aneh lagi. Dua orang tetua perampok tewas dengan kepala luka parah. Di sebelah masing-masing tergeletak sebuah terompah yang masih basah, sementara sebagian besar anggota perampok terduduk lemas dengan wajah ketakutan. 


Menurut salah seorang perampok, ketika mereka tengah berpesta pora, tiba-tiba sebuah terompah melesat dan menghantam kepala salah seorang pemimpin begal. Belum hilang keterkejutan mereka, tiba-tiba sebuah terompah lagi melesat dan menghantam kepala pemimpin begal lainnya. Keduanya tewas seketika. “Melesatnya terompah itu diiringi dengan teriakan keras yang membuat lutut kami gemetaran dan terduduk lemas,” katanya. 

Sang guru mursyid, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, memang termasyhur sebagai salah seorang sulthanul awliya’ (penghulu para wali Allah) yang banyak memiliki karamah, bahkan sejak sebelum ia lahir. Ketika ia masih dalam kandungan ibundanya, Fatimah binti Abdullah Al-Shama’i Al-Husaini, ayahandanya, Abu Shalih Musa Zanki Dausath, bermimpi bertemu Rasulullah SAW bersama sejumlah sahabat, para mujahidin, dan para wali. Dalam mimpi itu Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Abu Shalih, Allah SWT akan memberi amanah seorang anak laki-laki yang kelak akan mendapat pangkat tinggi dalam kewalian, sebagaimana aku mendapat pangkat tertinggi dalam kenabian dan kerasulan.” 

Saat melahirkan bayi Abdul Qadir pada 1 Ramadhan 471 Hijriyyah di Desa Jilan, dekat Tabaristan, Irak, sang ibunda telah berusia 60 tahun lebih – bukan usia yang lazim bagi perempuan untuk melahirkan seorang bayi. Keajaiban lainnya, tak seperti bayi pada umumnya, bayi Abdul Qadir tidak pernah menyusu kepada ibundanya di siang hari bulan Ramadhan. Sang bayi baru menangis minta disusui saat mentari tenggelam di ufuk barat, yang menandakan datangnya waktu maghrib. Uniknya, keanehan luar biasa itu dimanfaatkan oleh warga Jilan sebagai pedoman waktu imsak dan berbuka puasa. 

Kematian dalam Mimpi
Kedekatan Syaikh Abdul Qadir dengan Allah SWT dan ketinggian maqamnya sudah tampak sejak belia. Suatu hari, Abul Muzhaffar Hasan bin Tamimi, seorang saudagar, ketika hendak melakukan perjalanan niaga, seperti lazimnya tradisi saat itu, menghadap Syaikh Hammad bin Muslim Ad-Dabbas, ulama sepuh yang waskita, untuk mohon doa restu. Namun, tak seperti yang diharapkan, Syaikh Hammad malah mengatakan, rombongan kafilahnya akan dirampok dan ia akan mati dibunuh. Maka Abul Muzhaffar pun pulang dengan cemas dan hati berdebar-debar.

Di tengah jalan ia berjumpa dengan Abdul Qadir, yang saat itu baru berusia 17 tahun. Melihat wajah gundah sang saudagar, Abdul Qadir menyapa dan menanyakan keadaannya. Dengan sedih Abul Muzhaffar menceritakan ramalan Syaikh Hammad. Namun, dengan tenang Abdul Qadir berkata, “Pergilah, Tuan akan selamat dan mendapat untung besar.”

Ternyata benar. Abul Muzhaffar mendapat untung besar.

Dalam perjalanan pulang, ketika ia buang air besar di WC umum, dompetnya yang berisi hasil perniagaan ketinggalan. Malamnya, ia tertidur pulas di penginapan karena kelelahan, dan bermimpi dirampok sekelompok orang Badui. Dalam mimpinya, salah seorang perampok menghunjamkan pisau ke dadanya. Abul Muzhaffar terkejut dan terbangun. Anehnya, ia merasakan nyeri di dada meski tak ada luka sama sekali. Seketika ia teringat dompet yang ketinggalan di WC umum. Ia pun lari, kembali WC umum. Ternyata dompet itu masih ada, lengkap dengan isinya.

Ia pun segera pulang. Sampai di Baghdad ia berniat menemui Syaikh Hammad dan Syaikh Abdul Qadir. Ia berpikir keras, sowan ke Syaikh Hammad yang lebih tua dulu, ataukah menemui Abdul Qadir, yang meski masih belia ucapannya benar. Tiba-tiba ia berpapasan dengan Syaikh Hammad, yang langsung menyuruhnya menemui Abdul Qadir. “Pemuda itu adalah waliyullah yang benar-benar dicintai Allah. Ia telah mendoakan keselamatanmu sebanyak 17 kali, sehingga takdir kematianmu hanya kamu rasakan dalam mimpi, sedangkan takdir kefakiranmu hanya berupa lupa meletakkan dompet,” tuturnya.

Dengan bergegas Abul Muzhaffar menemui sang waliyullah. Begitu berjumpa, belum sempat ia membuka mulut, Syaikh Abdul Qadir sudah mendahului berkata, “Ia memang benar. Aku memang telah mendoakanmu 17 kali, kemudian berdoa lagi sampai 70 kali, sehingga terjadilah seperti yang diungkapkan oleh Syaikh Hammad itu.” Ajaib, Syaikh Abdul Qadir tahu belaka apa yang diucapkan oleh Syaikh Hammad.

Masih banyak karamah pendiri Thariqah Qadiriyyah yang mendunia ini. Bahkan, dalam salah satu manaqibnya, An-Nurul Burhani fi Manaqibi Sulthanil Awliya’ Syaikh Abdil Qadir Al-Jilani, terdapat satu bab khusus yang mengisahkan berbagai karamah sang wali yang pernah disaksikan oleh banyak orang.

Karamah-karamah Syaikh Abdul Qadir memang melegenda, hingga tak jarang masyarakat awam menyebut-nyebut namanya sebagai upaya mendapatkan keluarbiasaan atau kesaktian. Beberapa perguruan bela diri tenaga dalam yang “Islami”, misalnya, menjadikan pembacaan manaqib Syaikh Abdul Qadir sebagai ritus untuk meyempurnakan ilmu kesaktian, dan sebagainya.

Sayang sekali jika untuk menghormati atau meneladani perikehidupan sang waliyullah, selama ini (sebagian) kaum muslimin hanya mengingat atau mengagumi keajaiban karamah-karamahnya. Padahal, yang paling afdhal ialah mempelajari manaqib alias biografi Syaikh Abdul Qadir, yang sarat dengan perilaku keshalihan dan kegigihan dalam belajar serta beribadah, yang membuatnya layak diangkat sebagai wali quthb alias penghulu para wali. Dalam manaqib, misalnya, dikisahkan betapa dengan keluhuran budi dan semangat baja untuk mencapai kebenaran sejati, Syaikh Abdul Qadir melakukan riyadhah bathiniyyah, tirakat yang sangat berat.

Salah satu contohnya kisah kejujuran Abdul Qadir kecil – sebagai warisan dari leluhurnya yang mulia – ketika akan berangkat nyantri ke Baghdad. Ketika itu ibundanya membekalinya 40 keping uang emas warisan ayahandanya. Supaya aman dalam perjalanan, uang yang sangat berharga itu dijahitkan dalam jubahnya. Ibunya berpesan agar Abdul Qadir selalu bersikap benar dan jujur, tidak berbohong. Maka, selama hayatnya pesan ibundanya itu senantiasa ia pegang teguh.


Dalam perjalanan ia dihadang sekelompok perampok. Salah seorang perampok bertanya, apakah ia memiliki barang berharga. Abdul Qadir menjawab dengan jujur, ia memiliki 40 keping uang emas. Anehnya, perampok itu malah tidak percaya, dan berlalu pergi.

Tak lama kemudian Abdul Qadir dihadang lagi oleh perampok yang lain. Kali itu mereka adalah para perampok yang jeli. Mereka menguras habis semua harta milik rombongan kafilah yang seperjalanan dengan Abdul Qadir.

Ketika tiba giliran untuk memeriksa Abdul Qadir, mereka membentak apakah dia punya harta berharga. Abdul Qadir menjawab dengan jujur, ia punya 40 keping emas, sambil menunjukkan jahitan tempat menyimpan bekal dari ibundanya itu. Tapi, pemimpin perampok yang memeriksanya malah terkejut dan heran, mengapa dia mengaku dengan jujur.
“Aku sudah berjanji kepada Ibu untuk selalu jujur dan benar dalam keadaan apa pun,” kata Abdul Qadir.

Karena penasaran, perampok itu membentak lagi, “Tapi, sekarang ibumu kan tidak ada di sini. Ia tidak akan tahu jika engkau berbohong.”

“Betul. Tetapi janjiku untuk selalu jujur dan benar itu disaksikan Allah SWT, yang tidak pernah tidur dan alpa dalam mengawasi hamba-hamba-Nya,” jawab Abdul Qadir dengan tenang.

Ajaib. Kontan si pemimpin perampok langsung lemas, kemudian bersimpuh di hadapan Abdul Qadir, yang masih muda itu. “Engkau telah menjaga janji kepada ibumu, sedangkan kami melupakan janji kami kepada Sang Pencipta,” ujarnya, yang kemudian bertobat.
Sejak itu, para perampok tersebut menjadi murid Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani.

Suci Sepanjang Malam
Usai menuntut ilmu dari para ulama dan sufi besar, Syaikh Abdul Qadir mengembara mengarungi sahara Irak selama 25 tahun, melewati rumput berduri dan tanah terjal. Pengembaraan ini merupakan jawaban atas kegelisahannya melihat kebobrokan moralitas sebagian besar masyarakat waktu itu, sekaligus untuk mengasah kepekaan batiniahnya. Selama pengembaraan spiritual itu, sang sufi selalu berusaha menghindari pertemuan dengan manusia lain. Ia hanya mengenakan pakaian sederhana berupa jubah dari bulu domba serta tutup kepala dari sesobek kain, tanpa alas kaki.

Selama mengembara, ia hanya makan buah-buahan segar dari pepohonan, rerumputan muda di tepi sungai, dan sisa sayur-mayur yang sudah dibuang. Minum pun hanya secukupnya. Sementara waktu tidurnya begitu singkat, sehingga nyaris selalu terjaga. Di kemudian hari, kesederhanaan itu tetap dipertahankannya: mengenakan jubah thoilusan, yang menutup sampai kepala, dan selalu mengendarai bighal alias keledai ke mana pun ia pergi

Upaya pembersihan jiwa itu juga dengan cara menghindarkan diri secara total dari segala hal yang meragukan, bahkan juga mengurangi makan dan minum yang halal. Berkat upayanya yang sangat keras itulah, ia kemudian mendapat penjagaan dari Allah SWT.

Pernah, dalam suatu perjalanan ketika ia tidak makan dan minum selama beberapa hari, tiba-tiba datanglah seseorang menyerahkan sekantung uang dirham. Meski uang itu cukup untuk bekal perjalanan selama beberapa hari, Syaikh Abdul Qadir hanya mengambil sedikit untuk membeli beberapa kerat roti sebagai pengganjal perut.

Namun, inilah penjagaan Allah SWT itu. Belum lagi makanan itu masuk ke mulutnya, tiba-tiba selembar kertas jatuh dari langit bertuliskan peringatan yang sangat mengejutkan: Sesungguhnya syahwat itu hanya untuk hamba-Ku yang lemah, sebagai penolong dalam melaksanakan ketaatan kepada-Ku. Sedangkan hamba-Ku yang kuat seharusnya tidak lagi mempunyai syahwat apa pun.

Tentu saja Syaikh Abdul Qadir terkejut. Ia pun segera meninggalkan makanan halal tersebut.

Riyadhah lain yang dilakukan oleh waliyullah ini sebagai upaya untuk membersihkan jiwa ialah dengan selalu menjaga kesucian dari hadats kecil maupun besar. Salah seorang khadimnya, Syaikh Abu Abillah Muhammad bin Abdul Fatah Al-Harawi, yang melayani Syaikh Abdul Qadir selama 40 tahun, bersaksi bahwa sang waliyullah selalu melaksanakan shalat Shubuh dengan wudhu shalat Isya. Artinya, sepanjang waktu itu Syaikh Abdul Qadir hampir-hampir tak pernah tidur di malam hari, dan dalam keadaan suci.

Kisah lain yang mengungkapkan upaya penjagaan kesucian jasmani dan ruhaninya termaktub dalam kitab Lujjainid Dani fi Manaqibi Sulthanil Awliya’ Syaikh Abdil Qadir Al-Jilani, karya Syaikh Ja’far bin Hasan bin Abdulkarim Al-Barzanji.

Dikisahkan, pada suatu malam yang sangat dingin, ketika Syaikh Abdul Qadir tengah duduk bersandar pada salah satu tiang bekas reruntuhan istana Kisra, Persia, tiba-tiba ia terserang kantuk sangat hebat sehingga tertidur. Tak lama kemudian ia terbangun dan mendapati dirinya mimpi basah. Tak ingin berlama-lama menanggung hadats, ia pun segera bangkit dan mandi besar di salah satu anak sungai yang mengalir tak jauh dari situ.

Usai bersuci ia meneruskan dzikirnya sambil bersandar di tiang yang sama. Ternyata ia tertidur kembali dan mimpi basah lagi. Tanpa menghiraukan dinginnya cuaca dan derasnya angin gurun pasir di malam hari, ia mandi junub lagi di sungai, lalu kembali berdzikir.

Namun peristiwa yang sama terulang lagi, dan sang mursyid pun kembali mandi junub. Konon, peristiwa ajaib itu berulang hingga 40 kali dalam semalam hingga waktu fajar. Kemudian sang wali beranjak dari tempat itu.

Dalam beberapa buku manaqib Syaikh Abdul Qadir, pengalaman spiritual menyangkut mimpi basah sampai 40 kali dalam semalam itu terlalu ditonjolkan. Padahal, makna terpenting dari kejadian itu ialah sikap keistiqamahan sang wali yang tetap mandi junub walaupun dalam keadaan cuaca sangat dingin, sementara mimpi basah itu hanyalah sebagai sarana bagi Allah SWT untuk menguji kekasih-Nya. Adapun angka 40 kali merupakan simbol sangat seringnya suatu kejadian. 

Keseriusannya menunaikan syari’at dan mengamalkan tasawuf, akhirnya mempertemukannya dengan Nabi Khidhir AS. Uniknya, meskipun bersahabat selama tiga tahun, mereka tidak pernah saling mengenal. Dalam persahabatan ini pun keteguhan hati Syaikh Abdul Qadir kembali diuji.

Agar persahabatan mereka tidak terputus, Nabi Khidhir mensyaratkan agar sang wali tidak meninggalkan tempat duduknya sampai ia kembali. Maka selama tiga tahun Syaikh Abdul Qadir tidak meninggalkan tempat yang mereka sepakati, kecuali untuk bersuci.

Berbagai godaan menghampirinya, namun ia tetap bertahan. Nabi Khidhir AS hanya menjenguk setahun sekali, itu pun hanya sejenak.

Masih banyak kisah yang menceritakan kesungguhan mujahadah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani dalam membersihkan qalbu dan jiwanya. Perjuangan berat disertai sikap istiqamahnya mengantarkannya menjadi penghulu para awliya dan kaum sufi